°DELAPAN BELAS°
Jangan lupa tinggalkan jejakmu, bintangmu, dan kesanmu.
[Play This]
Ale mengoleskan krim pereda nyeri pada seluruh permukaan tangannya. Membalut kulitnya dengan kain putih panjang bersimpul ketat. Dua minggu dilalui untuk latihan ketat, dan di sisa satu minggu terakhir benar-benar harus memforsir seluruh tenaga. Babak delapan besar ini harus ditaklukan Ale, untuk babak empat hingga final nanti. Karena dengan prestasi itu Ale bisa meraih mimpinya jadi seperti ayah dan mendiang kakek.
Ale memutar lengannya, terasa seperti otot dan urat besar di bahunya tertarik hingga ke tulang punggung. Ale mengulum bibirnya, menekan geram kuat-kuat saat bunyi retak terdengar oleh inderanya. Tangan Ale merabai pangkal belikatnya. Tetiba Marino menyambar tepat di sebelah Ale, merangkul pemuda itu dengan erat. Setipis udara berembus dari celah bibir Ale yang terkulum rapat-rapat. Bola mata Ale membulat, sudut bibirnya agak naik dengan dahi mengkerut. Ale meneguk ludahnya, kemudian memuat lehernya pelan.
“Ada apa, Mar, kok senang banget?” tanya Ale ramah. Kemudian memegangi lengan dan memijat-mijat bonggol bahunya yang terasa semakin berdenyut.
“Ada yang mau bagi-bagi makanan,” sahut Marino dengan senyum secerah matahari kini di antara awan putih. “Kak Dema sama bang Daeng. Katanya ada resto baru, dan kita bakal makan-makan di sana. Secara lo nggak pernah datang karena makan bareng Hira.”
Ale tersenyum ringkas. Tangannya masih memijat-mijat bonggol bahu diam-diam. Di seberang Hira berjalan dengan sempoyongan, tangannya terlihat gemetaran hebat. Ale berlari secepat kilat saat Hira semakin terlihat kehilangan keseimbangannya. Tubuh Hira jatuh menimpa tubuh Ale, keduanya terhempas ke tanah tepian lapangan. Anak-anak langsung membantu Ale membawa tubuh Hira yang memerah, berkeringat panas; namun kulitnya sedingin es. Dibantu Marino, Faiza—anak paduan suara, dan Divas—temen sekelas yang aktif di PMR. Tubuh Hira dibawa ke UKS.
Lorong disesaki anak-anak untuk membantu Ale dan lainnya. Dibaringkan tubuh Hira di ranjang, segelas air hangat diberikan Divas pada Hira. Jeriko datang membawa ice bucket, vitamin dan alat bantu napas pasalnya Hira mengalami sesak napas. Bagian bibirnya pun membiru. Tangannya terkulai lemas, beberapa anak yang hendak masuk ditahan oleh Ale dan ibu guru. Kini dalam ruangan hanya ada Ale, Divas dan dua ibu guru. Ale memegangi tangan Hira yang dingin masih gemetaran akibat tremor. Sedangkan ibu guru memberikan minyak aroma terapi di sekitar pelipis juga kening gadis itu.
“Hira, mau pulang?” tanya salah seorang guru. Gadis itu menggeleng tak berdaya. “Hira, Sayang, kita ke klinik, ya?”
Bola mata Hira terkatup, dengan segera Ale berlari ke luar, menuju kelas. Mungkin Hira lupa minum obat. Dengan lajur penuh getir Ale menjajaki anak tangga, menabrak teman-teman yang terasa menghalangi, sayangnya, Hira tidak membawa obat. Ale menggebrak meja. Diraihnya telepon Hira yang biasa disimpan di kolong meja. Panggilan dibuat untuk Nanda. Wanita itu tampak gelisah dari suaranya. Namun, akhirnya mau datang ke sekolah untuk menjemput Hira setelah bernego dengan atasannya.
Ale duduk dengan tangan menyangga wajah, Ralle mengusap-usap puncak kepala Ale. “Hira baik-baik aja, kok. Jangan khawatir,” kata pemuda itu menenangkan. Tetapi Ale malah salah terima, dia menepis tangan Ralle. Mencari ruang untuk kegelisahannya. Marino menolehkan kepalanya agar Ralle pergi dari sisi Ale. Bu guru datang membawa kabar jika kakak Hira sudah datang dan siap menjemputnya. Ale ikut sang guru mengantar kepulangan sahabatnya tersebut. Mobil yang Nanda pesan lewat aplikasi sudah menunggu. Dibukanya pintu mobil tersebut oleh Ale. Tangan Ale spontan mengusap kepala Hira.
“Istirahat, ya. Hari ini gua ada latihan. Maaf nggak bisa nemenin lo,” ucapnya lirih. Belum sempat Ale menutup pintu untuk Hira, Nanda mendahului pemuda itu dengan tatapan mata berang. Mobil tersebut meninggalkan halaman depan sekolah.
Jam menunjukkan tepat pukul satu kurang lima belas menit, anak-anak kembali ke kelas masing-masing setelah istirahat jam kedua selesai dengan waktu agak maju. Ale menuju anak tangga dengan langkah lunglai. Bola matanya amat kosong dan sepi. Padahal, Ale tak pernah ingin meninggalkan Hira, tetapi hari ini karena latihan terpaksa Hira sendirian. Kelas dimulai dengan penuh sepi, para siswa mengerjakan tugas masing-masing dalam sunyi. Termasuk Ale yang membagi fokusnya di antara pulang untuk menemui Hira atau berlatih untuk membanggakannya. Selagi Ale bergelut dalam perasaan kalang kabutnya, radar-radar itu dengan jelas ditangkap oleh Marino, Aaron, Radian dan sahabat lainnya. Mereka saling melempar tatapan bimbang.
Waktu terus berlalu, suara denting jarum jam membuat Ale menggenani pikirannya tentang Hira. Punggung Ale ditepuk oleh Dema yang sudah memakai pakaian khas latihan. Bola mata Ale berpedar, tampaknya lamunan itu benar-benar membuat Ale terperosok. Seluruh anak-anak kelas sudah menghilang dalam sekejap mata. Dan kini jam menunjukkan pukul tiga lebih lima puluh sore. Dema menggulurkan tangannya pada Ale. “Ayo, anak-anak udah nunggu lo!” ajak Dema tidak diindahkan oleh Ale.
Dema duduk berhadapan dengan Ale. Senyum pemuda keturunan Jepang itu berseri-seri membuat Ale pasrah menerima ajakannya. Sebab, Ale pun pernah berjanji jika tak boleh menyia-nyiakan kepercayaan orang-orang akan dirinya. Ale menerima tangan Dema sembari tersenyum irit. Kedua pemuda itu menuruni anak tangga. Sementara Dema ke lapangan, Ale ke kamar mandi untuk mengganti seragamnya dengan seragam latihan yang selalu disimpan di loker khusus anak ekskul.
Ale mengamati bahunya yang agak menonjol, dipegangi bahu itu kemudian dioles krim pereda nyeri. Lagi-lagi karena ayahnya, Ale harus selalu menanggung rasa sakit sendirian. Ale menghentakkan kakinya sembari melemparkan seragam ke dalam tas dengan kesal.
“Gua benci ayah, gua ingin banget bunuh ayah, sama kayak ayah bunuh kakek dan bunda! Gua ingin dia mati aja!” teriak Ale memaki seluruh loker yang mengamatinya secara diam. Menjadi saksi bisu kemarahannya yang sudah tak bisa ditahan lagi. Sakit fisik dan batin yang membuat dunia menjadi objek paling Ale musuhi, jika bukan karena kehadiran Hira. Mungkin Ale akan memeranginya dengan cahaya kelam. Bukan dengan sinarnya yang ternyata hanya rasa sakit saja. Sinar gulita yang dipoles senyum dan segudang prestasi untuk merasa lebih baik. Sayangnya, persetan dengan perasaan itu. Ale muak.
“Gua harap kita mati malam ini!”
“Kalau ayah lo mati, nggak akan lo bertahan sejauh ini, jadi Ale yang kuat!” lontar seseorang yang tak lain adalah Dema. Pemuda itu berdiri dengan senyum hangat semu berbelas kasihan. Kedua tangan Dema terlipat di depan dada dengan dagu tak lebih tinggi dari pandangannya.
“Kakak ….” Kaki Ale bergetar lemas, selemas bisikan dari suaranya.
“Nggak ada yang boleh mati, kecuali kalau Tuhan menghendaki. Langkah lo itu bisa lebih jauh dari setiap home run yang lo buat sendiri setiap kali main. Nggak masalah ayah lo nggak bangga, tapi kita bangga sama lo. Nggak apa bunda lo nggak sayang , tapi Hira sayang sama lo. Dia nunggu waktu lo senyum bangga sama diri lo sendiri.”
Dema mendaratkan tangannya di pusat kepala Ale sedangkan pemuda itu hanya menunduk meresapi perkataan sang senior. Ale mendesah parau. “Tapi … gua muak!” ucap Ale dingin, kepalanya mendongak berhadapan dengan Dema yang menatapnya hangat.
Tongkat berbahan metal dengan ban karet putih bertanda tangan emas mendarat di tangan Ale. Dengan sebuah deham berat Dema mengangguk. “Jangan muak sekarang, masih ada kesempatan mukul bola. Itu buat lo!”
“Kenapa?”
“Waktu gua jadi atlet sejak enam tahun. Itu nggak mudah, mengalahkan orang-orang yang Tuhan percaya punya bakat alami itu beban. Sampai akhirnya gua mau nyerah aja. Tapi, kakak gua bilang semua pekerjaan di dunia itu emang susah. Kalau gampang nggak akan ada orang gagal. Gua gagal jadi atlet kriket, gagal seleksi masuk tim futsal junior untuk sekolah, gagal juga di karate.” Dema menarik napasnya panjang. Senyum terukir lagi di wajahnya
“Sampai akhirnya gua sadar kalau hidup gua kayak permainan bisbol. Nggak semua pemain bisa langusng mukul bola terus lari gitu aja. Ada yang mengalami strike, foul, or ball bahkan dead ball. Menuju home plate nggak semudah kelihatannya di video gim. Dan gua lihat semua kerja keras gua ada di dalam diri lo,” sambung Dema bungah nan lega.
Mendengar ucapan sang kakak asuh, Ale menitikan air mata. Melupakan segala rasa sakitnya dengan meremas tongkat berbahan metal tersebut sekuat tenaga. Ale menangis sejadinya. Dia bahkan melupakan siapa orang di hadapannya. Tak peduli juga jika dirinya adalah seorang anak laki-laki.
“Kadang perlu gugur untuk mendapatkan dahan dan kelopak yang baru.”
Mendengar kalimat itu Ale sontak mendongak, tersenyum bibirnya dengan mata sedikit berbinar. Tatapan sendu, kosong yang redup itu kini tampak sedikit hidup. Ale mengangguk setuju. Dipeluknya tubuh Dema dengan erat.
Bab 18. Nggak kerasa, ya. Kuota udah mau abis lagi. Masih ada beberapa bab yang bakal kutabur bawang goreng biar gurih. Sedih, sih sama Ale. Tapi, i trusted him, he can do everything best.
Publikadi 180921
#ExclusiveLovRinz
#ExclusiveWritingChallenge
#LovRinzWriringChallenge
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro