Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Halaman Ketigapuluh Dua

Aku berjongkok tepat di sebelah jirat bertuliskan nama Adonia. Kucabut rumput-rumput halus di sana walau aku pun tahu, hujan lebat ini pasti akan menumbuhkan tanaman itu tidak lama lagi.

Langit sudah kelabu, hampir magrib, tetapi aku tidak tahu harus pergi ke mana. Dulu, kamu selalu ada, Nia, saat aku pulang hujan-hujanan dalam keadaan kuyup. Kamu selalu menunggu di ruang tamu hingga ketiduran. Saat itu, aku merasa memiliki tempat pulang, Nia. Namun, sekarang tempat itu hilang. Dulu, aku merasa selalu ada orang yang menungguiku, sekarang tidak. Tidak ada, Nia.

Nia, kamu pernah bilang kalau Bunda tidak jahat. Isi pesan yang kamu tulis malam tahun baru itu masih kusimpan dengan baik di tangkapan layar ponselku. Ah, kali ini sepertinya kamu berlebihan. Bunda mungkin tidak jahat menurutmu, tetapi bagiku, Bunda kejam.

Nia, aku ditampar lagi. Rasanya sakit. Lebih sakit daripada saat aku ditampar di sini, di pusara kamu. Nia, orang baik itu selalu mendengar sebelum bertindak, bukan? Sepertimu, Ayah, Teh Alin, dan Eshaal. Namun, Bunda tidak begitu. Orang baik tidak akan mengungkit masa lalu yang menyakitkan, bukan? Tetapi Bunda melakukan itu bahkan berulang kali.

Nia, sepertinya perjuanganku selama ini salah. Semuanya sia-sia. Bunda tidak melihat itu sebagai sesuatu yang bagus. Yang Bunda simpulkan selalu saja hal-hal buruk. Padahal ... padahal aku betulan belajar, Nia. Tanya saja pada Eshaal. Eshaal bilang, nilaiku juga naik pesat. Eshaal bilang, kemungkinan aku bisa lulus UN dengan nilai baik.

Nia, kamu tahu rasanya dihakimi berulang kali? Bahkan kini, aku dituduh menjadi penyebab Eshaal sakit. Bunda bilang, Eshaal sakit gara-gara aku. Bunda bilang, kalau tindakanku begini terus, aku mungkin ... akan membuat Eshaal pergi, nyusul kamu. Nia ... Bunda jahat sekali. Aku tidak pernah membunuhmu, Nia.

Aku tahu, selama ini kamu selalu memintaku untuk bahagia dan jangan menangis. Namun, setelah kamu pergi, kenapa yang datang padaku semuanya hal pahit? Kenapa, Nia? Apa karena selama hidup, kamu menanggung takdir burukku dan aku menanggung takdir baikmu dan ketika kamu pergi, takdir buruk itu akan kembali padaku? Jika benar, bangun, Nia. Aku yang seharusnya ada di bawah sana. Bukan kamu.

Nia ... aku bingung harus apa. Aku lelah. Aku ingin berbaring di sampingmu, menikmati elusan jemarimu di kepalaku. Katamu dulu, Tuhan tidak akan pernah membiarkan kita selalu sedih sendirian. Saat itu, aku merasa perkataanmu benar. Sebab Tuhan mengirim kamu, kebahagiaanku. Bahkan saking baiknya Tuhan, Dia membuat kita saling bertaut sejak di dalam rahim Bunda.

Namun, Nia, sekarang aku sendirian. Kebingungan, lelah, dan kehilangan arah. Aku harus ke mana?

Nia, aku ... aku boleh tidur di sini? Di sampingmu? Karena sepertinya, hidupku menjadi beban banyak orang. Aku, ingin bersamamu saja.

🌧

Aku tidak mengerti mengapa berada di depan kediaman Friska sekarang. Kepalaku sakit, rasanya hujan yang menghantam rambut, menembus ubun-ubun. Ngilu sekali. Aku masih memakai seragam dan sekarang tubuhku sudah kuyup. Pagar besi tinggi itu kudorong pelan, menimbulkan derik khas di tengah rinai yang terus turun.

Tidak kuhiraukan satpam yang seperti hendak menahanku agar berhenti sejenak. Setelah melihat wajahku, ia mengizinkanku lewat tanpa banyak bicara. Terus berjalan menunduk, kulewati meter per meter, hingga tibalah di depan pintu putih tinggi.

"Adel!"

Belum lagi mataku melihat siapa yang berteriak memanggil namaku, kurasakan hangat tubuh Friska merengkuh badanku yang sudah basah. Erat sekali pelukannya.

"Lo kenapa hujan-hujanan gini, sih? Mana udah malam juga."

"Fris ... gue capek. Capek banget."

"Minum dulu, Del. Lo di sini aja, tidur di kamar gue. Boleh sampai kapan pun, kok. Anggap aja kamar sendiri."

Kuraih cangkir teh di atas nakas, menyesapnya pelan. Bak magnet, air keruh itu menarik atensi untuk melihat pantulan diriku sendiri di sana. Riak pelan yang ditimbulkan oleh pergerakan mulai perlahan hilang.

"Gue capek, Fris. Capek banget. Gue ...."

"Iya, gue tau. Lo capek." Ketika tenggorokanku tercekat, Friska dengan cepat melanjutkan ucapanku. Ia membawaku ke dalam pelukannya lagi, mempersilakan menumpahkan segala air mata di sana.

"Gue capek dikatain pembunuh, Fris. Gue capek dicurigai setiap hari. Gue capek dianggap pembohong, padahal di saat yang sama, gue lagi berusaha memenuhi ekspektasi Bunda. Gue capek, Fris. Gue capek!"

Di luar, hujan makin rapat jarak turunnya. Guntur susul menyusul, menyambar tanpa ampun. Di sini, aku seperti kehilangan arah. Marah atas apa pun yang telah terjadi. Menyesal karena seperti kata Vano, aku tidak punya prinsip. Saat ini, aku membenarkan hal itu. Jika sejak dulu memutuskan untuk berontak, tidak akan berakhir seperti ini.

Vano benar. Eshaal salah.

Kata Eshaal, aku pemberani karena mau mengambil risiko dan menghadapi masalah.

Tidak, sekali lagi, Eshaal salah. Ia mengatakan hal itu sebab berpihak pada Bunda. Aku bodoh sekali pernah bergantung pada setiap afirmasi yang ia berikan.

Kepalaku masih terus merutuki kebodohanku hingga perlahan, rasanya kesadaranku hilang. Aku mengantuk.

🌧

Subuh baru saja menyinsing, tetapi mataku terbuka bukan oleh alarm Friska, melainkan nada dering telepon yang susul menyusul muncul di layar gawai. Entah sudah berapa panggilan tidak terjawab, aku malas menghitung. Yang pasti, dari semua nama yang memanggil, tidak ada Bunda di sana. Muak dengan hal itu, kulepaskan kartu sim dari ponsel.

Ah, ini sudah hari ketiga sejak kuputuskan untuk hirap. Telepon dari guru bahkan tidak sekali dua kali masuk, ikut mencari tahu kabarku. Untung saja orang tua Friska sangat jarang di rumah sehingga gerakku cukup leluasa.

Pagi kembali sepi. Ponselku diam dari bisingnya dering. Aku tidur lagi ketika Friska bangun dan bersiap untuk sekolah. Namun, ketenanganku terusik kala tiba-tiba suara seorang lelaki memanggil namaku sembari mengetuk pintu. Itu suara A' Aris. Astaga, aku sudah tertidur berapa lama?

Siapa yang memberi tahunya tentang keberadaanku di rumah Friska? Temanku yang satu itu tidak menyimpan nomor A' Aris, setahuku begitu.

"Del, buka pintunya. Yuk, pulang."

Aku bergeming.

"Del, bicara sama Aa, ya? Buka pintunya, ya?"

Masih dengan posisi yang tidak berpindah, kutarik selimut hingga menutupi wajah.

"Del, jangan kayak gini. Semua orang panik cari kamu."

Biar saja.

"Del, terakhir kali Nia pergi sendirian, dia nggak balik-balik lagi sampai sekarang. Ngomong sama Aa, yuk? Kamu nggak mau bikin Aa nyesal untuk kedua kalinya, kan?"

Suara A Aris melemah, seiring dengan mata yang kupaksa untuk ditutup rapat-rapat. A' Aris mencoba membujukku dengan bawa-bawa Adonia? Ah, sudahlah. Aku tidak senaif itu sekarang. Aku tidak selemah Adonia dan A' Aris pikir, aku sedang di mana? Ini rumah sahabatku, jelas di tempat ini aku aman.

🌧


Kepalaku masih berat ketika sore menjelang magrib ini kuputuskan untuk melangkah ke rumah Vano. Aku tidak membawa uang banyak, saldo di ATM pun sedikit. Ah, ingatkan aku agar sering menabung, berjaga-jaga jika nanti berhadapan dengan situasi darurat seperti beberapa hari ini.

Sebenarnya Friska menawarkan untuk meminjamkan uangnya padaku, tetapi kutolak. Ah, bilang saja harga diriku cukup tinggi. Dia sudah kurepotkan dengan keberadaanku di rumahnya. Aku tidak ingin berutang banyak padanya.

"Tedamang, Neng?"

"Henteu, Mang." Malas sekali menjawab basa-basi kang ojek itu, apalagi ucapanya malah menarik banyak atensi yang juga berpusat padaku.

"Bade kamana?"

Sepertinya tukang ojek itu menyadari ketidaknyamananku. Kusebutkan alamat Vano dan naik perlahan ke boncengannya. Ojek konvensional memang relatif lebih murah dibanding ojek online walaupun untuk sampai ke pengkolannya aku harus berjalan seratus meter dari rumah Friska. Untung saja cuaca tidak sedang terik.

Sepuluh menit lamanya waktu yang dibutuhkan untuk tiba di rumah Vano. Seperti biasa, kediaman itu tampak sepi. Aku menghela napas sebelum menekan bel. Aku ingin meminta maaf, sekaligus mengatakan bahwa kini aku sudah memiliki keputusan baru. Aku ingin mandiri tanpa harus ikut kemauan Bunda. Vano harus tahu itu.

Tiga kali kutekan belnya, tetapi tidak kunjung berbunyi. Saat iseng membuka pintu, aku terkekeh kala menyadari pintu itu tidak dikunci. Vano memang ceroboh sesekali. Aku masuk saja dan langsung naik ke atas, tempat kamarnya berada.

"Van—"

Napasku tercekat. Apa-apaan ini?

"A–Adel? Del, k–kamu kok d–di sini? Ah, lepasin dulu, Van!"

Kakiku rasanya menegang, tidak bisa bergerak dan beku di tempat. Dua manusia tengah bergemul di sana, di depan mataku. Dua orang itu adalah Vano dan Friska. Aku berharap salah lihat, tetapi tidak. Itu memang mereka.

Nyeri di kepalaku makin hebat, bahkan kini kakiku ikut lemas.

"D–Del? Ini nggak kayak yang k–kamu p–pikir. A–aku jelasin nan—"

Aku membuang wajah. "Pakai baju lo yang bener."

"D–Del, k–kamu bukannya udah dijemput A Aris?" Friska sepertinya tidak lagi memiliki rasa malu. Ia mendekat ke arahku, bahkan seragamnya belum terkancing sempurna.

"Terus kenapa kalau gue masih di sini? Lo ngapain, Fris? Ngapain berduaan sama Vano? Kehed, sia! Lo mau jelasin apa lagi, hah? Tindakan lo udah menjelaskan semuanya! Gila, gila lo! Lo—"

Aku tidak tahu mengapa sekarang rasanya duniaku runtuh. Kakiku merosot hingga badanku jatuh terduduk. Rasanya kini oksigen seperti diambil dari sekitarku hingga untuk bernapas pun aku kesulitan, melanjutkan ucapan pun terasa begitu berat dan menyakitkan.

"Lo orang yang paling gue percaya, Fris! Orang yang gue pikirin pertama kali untuk jadi tempat curhat gue, tempat pelarian gue! Itu elo, goblok!"

"Adel—"

"Kenapa? Kenapa harus lo yang khianatin gue? K–kenapa ... kenapa harus kalian?" Tenggorokanku sakit sekali, sama dengan kepalaku yang berdentum hebat.

"Keluar dulu, Fris. Biar gue yang jelasin ke Adel."

Aku menatap nyalang ke arah Vano. Ia sudah berpakaian lengkap. Friska menoleh dan mengangguk, ia menurut, segera keluar, dan menutup pintu.

"Lo sinting! Lo setan, Vano! Lo bilang gue main di belakang lo sama Eshaal, tapi nyatanya apa yang gue temukan di sini? Bangsat! Anjing lo!"

Vano tersenyum miring. Ia menatapku intens hingga kurasakan aura mencekam dari tatapannya yang mengintimidasi.

"Lo tau kenapa gue main sama Friska?"

Ia benar-benar gila. Masih berani bertanya hal seperti itu?

"Karena lo nggak bisa gue mainin, Del. Nggak kayak Friska dan nggak kayak Adonia."

Apa?

🌧🌧🌧

Hayo ... gimana gimana?
Vote komen juseyo~
Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro