Halaman Kesepuluh
Friska menemaniku duduk di warung nasi uduk. Masih dengan seragam basah dan jaket milik Eshaal, aku menyeruput teh hangat. Di luar, hujan turun makin deras, membuatku sesekali bergeser lebih ke bagian dalam agar tidak terkena tempiasnya.
Tadi, beberapa saat sebelum bel berbunyi, kuputuskan untuk pergi tepat ketika mendengar Eshaal menyebutkan namanya. Entahlah, rasanya aku ingin cepat-cepat melarikan diri saja dari sosok jangkung berkacamata tipis itu. Perkataan Bunda tadi pagi membuatku meninggalkan Eshaal tanpa pertimbangan apa pun.
Untungnya Friska tidak keberatan untuk bolos di saat Ghea dan Tamara punya seribu satu alasan demi menghindari keluar di jam-jam sekolah.
"Coba aja dulu, Del. Ini belum juga sehari lo masuk, udah kabur aja," celetuk Friska setelah hening beberapa saat mendengar ceritaku.
"Enggak. Denger nama Eshaal aja udah merinding, perasaan gue nggak enak."
"Lo kan, bisa nego dia. Pasti maulah."
Aku mencebik. "Males deket-deket sama dia."
"Males deket-deket, tapi jaketnya lo bawa juga. Dasar." Friska mencibir. Aku melengos. Kalau bukan dia yang memaksa untuk kupakai jaketnya, aku juga tidak akan mengambilnya.
"Lo masih suka sama Vano?"
Aku mengangguk cepat-cepat. Siapa yang tidak menyukai lelaki itu? Dia nyaris sempurna dalam segala hal, kecuali akademisnya. Sayangnya, Vano memiliki pacar yang tengah berkuliah di Australia. Jelas-jelas merebut pacar orang bukanlah keinginanku, itu hal hina.
"Lagi renggang, tuh, sama Teh Risma. Kayaknya di sana, Teh Risma udah dapet gebetan baru. Bisa deh, lo bebas deketin Vano. Kayaknya dia juga suka sama lo. Kemarin itu aja, pas lo sakit dia nanya-nanya terus."
Dari sekian kabar buruk belakangan yang kualami, hal ini adalah kabar terindah yang hinggap ke telingaku. Bahkan rasanya darahku menghangat di tengah angin dan hujan. Peluangku makin besar, bukan?
Sebenarnya, sedikit mengherankan hubungan Vano dan kakak tercintanya renggang. Mereka sudah berpacaran selama tiga tahun dan Teh Risma yang dua tahun lebih tua dibanding Vano memiliki sifat dewasa. Aku sampai kagum ketika berjumpa dengannya. Vano juga terlihat begitu perhatian.
Ah, tapi jika memang sudah bukan jalannya, bukankah lebih baik mereka putus saja? Dengan begitu, aku akan lebih bebas dekat dengan Vano.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" Aku terperanjat ketika Friska menggeplak meja. Apa tidak bisa mengingatkan pelan-pelan?
"Eh, kalau Vano sama Teh Risma beneran putus, kabarin gue, ya."
Tidak heran, di antara kami berenam memang Friska yang paling update tentang berita apa saja. Kujamin, perkara hubungan Vano yang sedang retak itu belum diketahui siapa pun kecuali dia dan aku. Friska mengangguk malas, kemudian menyeruput lagi teh hangatnya.
"Sebentar lagi Bu Gani masuk, kayaknya gue mesti balik. Tau sendiri kalau Bu Gani hobi ngasih laporan ke nyokap kalau-kalau gue bolos."
Oh, tidak. Jadi, siapa yang akan menemaniku di sini?
"Lo juga balik, gih. Gue anter."
Balik? Bertemu Eshaal, belajar giat, menjadi ajang perbandingan antara aku dan Adonia lalu apa?
"Enggak mau. Lo duluan aja."
"Yakin?"
"Kenapa enggak?" Aku mengedikkan bahu.
"Maksud gue, lo yakin kalau si Eshaal-Eshaal itu nggak ngadu ke nyokap kalau lo bolos?"
Eh?
🌧
Eshaal sialan.
"Nah, kan! Apa gue bilang? Itu nyokap lo, 'kan?"
Iya, yang tengah berteduh di pos satpam itu adalah Bunda. Mobil A' Bayu—suami Teh Aleya—berada tidak jauh dari gerbang sekolah. Baju serta hijabnya yang bewarna marun itu terang saja langsung menarik perhatianku. Bahkan dari mobil Friska di seberang jalan, aku sudah dapat mengidentifikasi bahwa sosok yang bersandar dengan tangan bersedekap itu adalah Bunda.
"Putar, gih. Males banget gue," ucapku pada Friska. Ah, ketika dia menggeleng, rasanya ingin kuputar leher itu sampai tidak bisa bergerak lagi.
"Masuk aja. Ngehindar sekarang, ntar juga ketemu di rumah. Lagian gue udah hampir telat, ketahuan guru piket nanti."
Ya sudahlah.
Masih dengan jaket Eshaal, aku keluar dari mobil Friska yang langsung melaju tanpa aba-aba. Aku sedikit menggeram kesal, untung saja genangan air yang dilewatinya tidak membasahi rokku.
Satpam tergopoh-gopoh berlari untuk membukakan gerbang. Apa dipikir aku akan kabur? Tidak perlu buru-buru, aku justru kasihan dengan perut buncitnya yang terlihat sesak dililit tali pinggang. Wajah Bunda? Jangan tanyakan. Sudah seperti penjagal yang kesal sebab pisau pemotong dagingnya tumpul.
"Belum juga sehari udah berani berulah! Apa harus ditungguin setiap hari biar kamu enggak bolos, hah?"
Ah, sial. Apa ucapan Bunda lebih deras dibanding hujan hingga dari lantai dua, para siswa tampak melongok ke arahku? Aku mencebik.
"Bunda ngapain di sini?"
"Ya nyusulin kamu, lah! Pake nanya lagi."
"Yang bilang Adel bolos siapa?"
"Eshaal. Udah, masuk sana. Bunda tungguin sampai pulang!"
Ingin rasanya mengumpat di hadapan Bunda. Eshaal itu siapa hingga berani-beraninya menghuhungi Bunda, mengadu bahwa aku raib dari sekolah, dan pergi sesaat? Bahkan guru BK saja belum berkenalan denganku, sedangkan Eshaal sudah mengambil langkah untuk mencari masalah denganku.
"Bunda bilang masuk!"
Apa tidak bisa berbicara normal? Tidak perlu menyaingi suara petir, membuatku mendapat tatapan aneh dari beberapa siswa. Aku tahu, sisanya berbisik entah mengenai hal apa. Karena kesal sebab tidak bisa meluapkannya, kuhentakkan kaki sebelum benar-benar masuk kelas.
Kulepas jaket milik Eshaal, peduli amat pada pakaian yang menerawang. Masuk kelas, seorang guru paruh baya sedikit tersentak melihatku, mungkin mengira Adonia telah hidup kembali dari mati surinya. Kulayangkan tatapan nyalang agar guru berwajah galak itu menyadari bahwa aku bukanlah Adonia. Aku Adelia.
Sempat kulihat wajah Eshaal yang menerbitkan senyum tipis. Apa dia bangga setelah Bunda mengetahui melaluinya bahwa anak gadisnya bolos? Mulai saat ini, aku mendeklarasikan untuk membenci senyuman itu.
"Perlu kenalan? Gue Adelia. Mirip Adonia? Iya, gue kembarannya. Nggak perlu nyari kemiripan, i'm totally different dan gue enggak suka dibandingin," ujarku ketus. Tidak kupedulikan tatapan tak suka dari guru paruh baya yang berdiri di sebelahku.
"Itu bajunya kenapa?"
"Kenapa? Saya pakai seragam yang bener."
"Kenapa basah?"
"Kena hujan."
"Itu jaket dipake! Apa enggak malu itu badan kamu kelihatan semua?"
Aku mengedikkan bahu. Badan ini badanku, kenapa dia harus sibuk mengurus?
"Saya duduk di kursi belakang—yang kosong itu, 'kan?"
"Tolong sikap dan attitude kamu diperhatikan, ya. Saya nggak suka sama murid-murid berandalan yang ngomongnya nggak ada etika kayak kamu!"
"It's okay, saya nggak minta Ibu buat suka sama saya."
Meski samar, aku dapat mendengar guru itu menggeram. Tangannya terkepal dan sepertinya geraham miliknya beradu.
"Adonia ngelakuin dosa apa sampai punya kembaran kayak kamu?"
Apa tadi katanya?
"Ibu punya dosa sebesar apa sampai dapat murid kayak saya?"
Jika wanita paruh baya berkacamata itu muak, begitu juga denganku. Lihat saja, wajahnya memerah sempurna dengan rahang yang saling beradu, mengatup rapat. Dia kalah, aku lebih mampu menahan emosi dan tidak memperlihatkan ekspresi takluk.
Tanpa merasa harus meminta maaf—sebab menurutku beliaulah yang salah karen sudah singgung-singgung perkara Adonia—aku melangkah menuju bangku pojokan, di sebelah seorang cewek yang tampilannya sebelas dua belas denganku. Ah, menarik. Sejak tadi dia tidak menghiraukan keberadaanku.
"Berani juga lo," ucapnya tanpa memalingkan wajah dari novel yang dibaca ketika aku baru saja mendaratkan bokong di atas kursi. Aku mengedikkan bahu.
"Ngomongin good attitude, tapi mulutnya lemes. Sampah," cibirku kemudian menopang dagu dengan tangan.
"Yah, hipokrit," sahut cewek itu dengan nada sedatar tembok.
"Adelia! Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang? Pindah ke depan!"
Depan? Ah, aku tidak pernah suka posisi itu. Terlebih, hanya bangku di belakang Eshaal yang kosong. Itu artinya aku hanya akan banyak berurusan dengannya. Astaga.
Ingin rasanya membantah, tetapi mengingat Eshaal ada di sana dan siap mengadu kapan saja, aku urung. Saat hendak bangkit, lenganku ditahan cewek pendiam di sebelahku.
"Pilihan lo tanggung jawab lo. Kalau enggak mau ke sana, enggak usah. Enggak wajib ikutin maunya orang," serunya lirih dan dingin.
Ah, benar juga. Aku kembali duduk.
"Kamu enggak bisa dengar, ya? Pindah ke depan!"
Aku tersentak. Ya Tuhan, apakah dia tidak bisa memelankan suara sedikit saja? Hujan sudah sedikit reda menyisakan rintik dan suara itu menusuk telingaku.
"Saya mau di sini aja. Memilih mau duduk di mana itu hak saya, 'kan?"
Setelah mengucapkan kalimat itu, kulihat guru paruh baya tersebut membereskan buku di atas meja lantas berjalan cepat keluar. Marah? Mungkin. Padahal menurut jadwal pelajaran yang kutahu, belum waktunya untuk istirahat. Ah, sudahlah.
Gadis di sebelahku tahu-tahu sudah menghilang, keluar tanpa pamit sebelum sempat kutanyakan hendak ke mana. Tidak ingin memikirkan hal itu, kuhampiri Eshaal yang tengah sibuk membaca buku paket Bahasa Indonesia. Jaket yang dipinjaminya kutaruh di atas meja.
"Sama-sama," celetuknya tiba-tiba.
"Gue enggak ngucapin makasih."
"Iya, sama-sama."
Anak ini sakit apa? Ah, sudahlah.
"Lo yang ngadu ke nyokap kalau gue bolos?"
"Hu'um, bunda kamu yang nyuruh."
Aku sudah menyiapkan diri kalau-kalau dia berbohong dan berkelit, nyatanya tidak. Secepat dan sesantai itu mengaku dan perhatikan kalimatnya, seperti anak kecil yang mengaku telah melakukan kesalahan tetapi tidak ingin dimarahi.
"Denger, ya. Gue enggak mau lo berurusan sama nyokap gue lagi dan ngadu-ngadu. Enggak usah ngurusin hidup gue!"
Aku menggeplak meja sebab geram dengan ekspresinya yang tampak santai. Beberapa siswi bahkan kebanyakan sedang berbisik-bisik, mungkin membicarakan sikapku. Sayangnya, aku tidak peduli mereka hendak berkata apa.
Eshaal tersenyum tipis lalu menggeleng. "Enggak bisa, Adel."
🌧🌧🌧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro