Halaman Kesembilan Belas
Aku mengunyah sarapan dengan pelan, sesekali mengangkat pandangan sebab merasa bahwa Bunda mengamatiku. Benar saja, intuisiku selalu sensitif terhadap Bunda. Oh, ayolah, memangnya aku seorang buronan yang harus selalu dipantau, bahkan saat berada di sekeliling meja yang sama dengannya?
Mengapa tidak memperhatikan Ayah yang terkadang salah mengambil gelas karena hanya fokus pada koran pagi yang dibaca? Atau, setidaknya perhatikan A' Aris yang sibuk melirik ponsel berulang kali saat sedang sarapan. Oh, lihatlah Teh Alin yang matanya setengah terbuka, untung saja instingnya bisa membedakan mana lubang mulut dan hidung agar tidak salah memasukkan makanan. Entah apa yang dilakukannya semalam, tetapi ia tampak lelah.
"Ayo, cepat makannya. Bunda yang antar pagi ini."
Niscaya makin lambatlah kunyahanku.
"Nanti telat. Yuk, sekarang aja. Sisanya dibawa, makan di mobil," ucap Bunda kemudian meraih tisu untuk mengelap mulutnya.
"Nggak usah, Bun. Adel dijemput Eshaal," jawabku santai.
Bunda menatapku lama, matanya sedikit mengintimidasi. Namun, terhitung lima detik setelahnya, tatapan Bunda melunak.
"Udah akrab, ya, kalian?"
Aku mengangguk cepat. "Udah. Bunda nggak usah khawatir."
Bahkan kali ini, bukan hanya Bunda yang memfokuskan atensinya padaku. Ayah mengabaikan korannya, Teh Alin seketika wajahnya langsung segar, dan A' Aris ... apa dia baru saja tersedak air minum karena ucapanku atau karena habis membaca pesan di ponselnya? Intinya, mereka semua memerhatikanku sekarang.
"Bagus, lah. Eshaalnya udah sampai di mana?" tanya Ayah.
"Udah nyampe sini dari tadi, mungkin."
Bunda memelotot dan langsung melengang dari ruang makan. Dua menit kemudian, kembali ke hadapanku dengan sedikit berteriak, "Eshaal udah di depan dari lima belas menit yang lalu! Kirain motor siapa! Ya ampun, buru, Del! Kasihan anaknya, capek nunggu!"
Belum sempat aku meraih gelas untuk minum, Bunda sudah menarik pelan lenganku, buru-buru memakaikan tas ransel, dan mendorong punggungku. Astaga.
"Kalau dijemput, yang nunggu itu, ya, yang dijemput! Itu adab, Del, ingat!"
Aku tahu itu. Namun, ini tidak akan berlaku untuk Eshaal. Kalau perlu, aku akan membuatnya ikut terlambat agar ia kapok, tetapi hatiku masih terlalu baik untuk melancarkan aksi tersebut. Ingat, aku harus mulai berdamai dengan Bunda jika tidak dikekang seperti ini. Eshaal adalah jembatanku untuk hal ini.
Tidak perlu terkejut, aku tidak benar-benar benar meminta Eshaal untuk menjemputku hari ini. Ingat Vano akan datang pagi ini? Ya, aku seharusnya pergi sekolah bersamanya, tetapi tidak mungkin jika dia langsung yang mendatangi rumahku. Bunda akan mencak-mencak tidak jelas dan menyebabkan keributan, mengganggu tetangga.
Jadi, dengan penuh kerendahan hati dan sekuat tenaga menuruni ego, aku meminta—memaksa—Eshaal untuk menjemputku di depan rumah dan mengantarku sampai di depan kompleks saja. Vano menunggu di sana dengan damai. Tentu Eshaal tidak serta merta menyetujui hal itu. Katanya, aku harus membalasnya jika ia melakukan hal itu untukku.
Katanya, ia tidak akan tega membohongi Bunda jika melakukan permintaanku. Katanya, ia harus mendapat jaminan. Kuturuti saja sebelum ia menolak. Walau demikian, aku berhasil dibuat terkejut olehnya yang memintaku untuk rutin belajar dengannya. Kupikir ia hanya akan minta ditraktir, ternyata tidak. Dia menyiksaku. Membayangkan rumus logaritma saja, aku sudah mual.
Tidak apa, yang penting aku masih tetap memiliki waktu bersama Vano. Oh, ayolah, ini pertama kalinya aku berpacaran. Aku juga ingin merasakan kupu-kupu menggelitiki perutku seperti yang Friska katakan ketika sedang jatuh cinta.
"Hari ini sampai setengah enam, ya, Del," kata Eshaal ketika mulai menyalakan motornya. Aku menggeleng.
"Sampai jam empat."
"Kita baru pulang sekolah jam tiga sore, loh. Satu jam itu nggak cukup untuk belajar," bantahnya cepat. Aku mengedikkan bahu.
"Ya udah, pulang sekolah lebih awal kalau gitu. Berani?"
"Tapi, Del, di perjanjian kita—"
"Lo nggak nyebutin durasi belajar, ya. Lo cuma bilang syaratnya gue harus belajar bareng lo," potongku sebelum Eshaal melanjutkan perkataannya.
Eshaal hanya mendengkus samar. Aku tidak mengada-ngada, makanya dia tidak dapat membantah. Meski berandal begini, aku tetap loyal memenuhi janji, kok.
"Heh, lo ya, yang bilang ke A' Aris kalau gue pacaran sama Vano?"
"A' Aris itu abangnya kamu, kan? Vano? Orangnya yang mana?"
"Nggak usah pura-pura cengo. Lo yang aduin kalau gue baru jadian sama Vano, kan? Ngaku! Bohong dosa, masuk neraka."
Dapat kutangkap ekspresi Eshaal yang kebingungan. Dahinya terlipat, matanya menyipit.
"Aku nggak tau Vano, Del. Lagi pula aku pikir kamu udah punya pacar sejak lama."
Aku merotasikan bola mata. "Bohong pasti. Ntar kalau masuk neraka, jangan ajak-ajak gue, deh—aaa, itu Vano! Udah, berhenti di sini aja!"
🌧
"Del, besok-besok bisa nggak, sih, nggak usah dianterin dia?" ujar Vano ketika motornya telah berhenti di depan gerbang sekolahku yang mulai ramai. Aku menggeleng sembari melepaskan kaitan helm dan menyerahkan benda bulat itu padanya.
"Nanti ketahuan Bunda."
"Kalau kamu jalan dari rumahmu ke depan kompleks, bisa, kali, Del. Jaraknya cuma seratus meter, kan?"
"Bunda nggak percaya kalau aku jalan sendirian, Van, bakal dibuntutin ntar. Bunda cuma percaya sama Eshaal," balasku setelah menggeleng untuk yang kedua kalinya.
Vano mendengkus pelan. Ya, mau bagaimana lagi? Ia sudah tahu sikap Bunda dari cerita-ceritaku dan tentu ia harus menerima hal tersebut jika memutuskan berpacaran denganku. Karena itulah, kemarin, aku sempat terkejut ketika dia tiba-tiba menerima saja pinanganku.
"Ntar malam mau minum? Gue kangen momen kita."
Aku mengangguk cepat. "Ajak anak-anak sekalian."
🌧
"Gue belajar sama lo sampai jam setengah enam, tapi ada syaratnya!"
Eshaal yang sedang sibuk mengunyah ciki itu tersentak. Mungkin ucapan mendadak dan tepukan tangan keras dariku membuat jantungnya lari-lari sebentar sebelum kembali berdetak di tempat semula.
Aku sedang di rumahnya, menunggu Eshaal selesai dengan makanan ringan kemasan di tangannya. Katanya, untuk menambah energi. Apa dia tidak bosan? Maksudku, di sekolah saat istirahat, setelah jam makan siang, dan sekarang dia memakan ciki yang berbeda. Tetap saja, apa dia punya toleransi terhadap natrium glutamat dan kawan-kawannya?
Jika dia tinggal seatap dengan Teh Alin, sudah berkali-kali ditegur. Ah, bukan hanya itu. Apa Eshaal memang terbiasa minum soda di samping menenggak air mineral? Astaga, memperhatikannya hanya akan membuang waktu percuma.
"Apa syaratnya?"
"Anterin gue ke kelabnya Friska habis gue belajar sama lo, terus tungguin gue selama sejam aja."
Eshaal terbatuk.
"Apa-apaan itu? Memangnya anak seusia kita legal ke kelab, Del? Itu bahaya, nggak boleh. Aku nggak mau."
Sudah kuduga. "Gue belajar sampai jam tujuh!"
"Nggak, Del."
"Please, Eshaal. Kita ini partner, loh. Masa nggak bisa diajak kerja sama?"
"Oh ya? Kita partner-an sejak kapan?"
Wah, Eshaal ini benar-benar ....
"Sejak gue butuh lo."
"Untuk bohongin bunda kamu?"
Aku menggeleng. "Untuk menemukan kebahagiaan gue. Lagian ini juga untuk Bunda, kan? Lo ngelakuin ini—ngajarin gue, nganter gue sampai rumah, jemput sekolah pagi-pagi—biar Bunda senang, kan? Sumpah, Shaal, lo baik banget. Giliran gue minta tolong, lo menghindar. Ini sama-sama menguntungkan, Shaal. Lo pikir, deh, gue belajar dengan bahagia, lo tolongin gue dengan sukarela. Cocok jadi partner."
Eshaal melongo. Mungkin karena berusaha mencerna ucapanku yang lumayan cepat. Kata Nia, kalau aku sedang bicara panjang, terkesan seperti idol favoritnya saat nge-rap. Padahal, aku berbicara cepat agar tidak disela.
Menilik raut wajahnya, dia seperti tidak tertarik dengan penawaranku. "Gue belajar sampai jam tujuh?"
Dia menggeleng lagi.
"Sampai jam delapan, gue belajar sama lo sampai jam delapan."
"Gini, Del, gini, kayaknya kamu salah paham. Untuk poin pertama, aku oke-oke aja. Nggak apa aku jemput meskipun cuma sampai depan kompleks, setelahnya kamu berangkat sama Vano. Nggak apa-apa bohong sama bunda kamu tentang itu. Toh, kamu tetap pergi sekolah. Tapi, aku nggak setuju kalau harus nungguin kamu di kelab—bentar, Del, jangan dipotong dulu, nanti aku lupa mau ngomong apa."
Astaga, ternyata dia bisa mengimbangiku dalam berbicara cepat.
"Tempat itu bahaya. Aku bahkan nggak mau untuk sekadar nganterin kamu ke sana. Ini bukan demi bunda kamu, Adel. Ini untuk diri kamu sendiri. Aku menyetujui perjanjian itu biar kamu belajar. Aku berhenti kabarin Bunda kalau kamu bolos supaya kamu nggak begitu tertekan," jelasnya panjang lebar.
Aku tahu seharusnya aku terharu saat ini, tapi sungguh demi apa pun, aku tidak ingin diperhatikan olehnya. Lagi pula apa katanya tadi? Tidak baik untukku? Astaga, kebahagiaan orang itu berbeda dan ketika aku memutuskan bahagia dengan sesuatu, artinya aku percaya dapat bertahan dan siap dengan risikonya. Mengapa manusia tidak bisa berhenti untuk sok tahu tentang orang lain?
"Eshaal, gue nggak mau bertengkar sama lo, ya. Gue belajar sama lo sampai jam delapan malam, gue nggak akan bolos sekolah, tapi lo harus anterin dan nungguin gue di kelabnya Friska selama satu jam. Lagian gue nggak main tiap malam. Perjanjian pertama tentang antar-jemput sebelum dan sesudah belajar juga berlaku. Kalau lo nolak, gue akan berontak lebih banyak. Bolos setiap hari, dugem setiap malam, pulang larut. Gimana?"
"Nggak adil, Del!"
"Ya, namanya juga hidup, nggak ada yang adil. Mau atau enggak?"
"Del ...."
"Mau atau enggak? Kalau enggak, gue mulai berontaknya sekarang. Jangan buang-buang waktu."
Kusedekapkan tangan di depan dada, menatap lurus Eshaal yang mengernyit.
"Setengah jam."
"Apanya?"
"Kamu di kelabnya setengah jam aja."
Loh?
"Nggak bisa, dong, mana kerasa kalau cuma main setengah jam! Kok jadi lo yang ngatur, sih?"
"Ini bukan ngatur, Del. Ini negosiasi."
"Negosiasi apa? Lo malah ngerugiin gue kalau gitu. Lo pikir otak gue cuma butuh setengah jam untuk refreshing setelah gue belajar privat sama lo selama lima jam?"
"Nggak kebalik, Del? Aku juga merasa kamu rugikan di sini. Bunda kamu akan marah besar, aku kehilangan kepercayaan, buang-buang waktu buat nganter jemput kamu dan katamu tadi ... nungguin kamu ngelab selama sejam? Kamu pikir aku nggak punya PR?"
Sebentar, sejak kapan Eshaal mulai suka membantah perkataanku? Baru kali kulihat wajah Eshaal tampak serius dan dalam, seperti menghujam netraku. Biasanya atensi Eshaal seperti dipenuhi bintang, sekarang tampak gahar dengan alis yang sedikit menukik. Rahangnya juga makin tampak tegas, apa dia sedang menggertakkan giginya?
"Deal?"
Astaga. Bagaimana cara menolaknya?
"Oke."
"Wah, lagi pada belajar? Adel gimana kabarnya? Bunda bawain camilan, nih, buat teman belajar."
Bunda Rania kembali bersama seorang anak kecil dengan usia kisaran 3–4 tahun yang menenteng tas merah jambu.
"Cal! Tau apa? Kotoran wombat bentuknya kotak!" seru gadis kecil itu, langsung berhambur ke arah Eshaal. Eshaal berlutut, menyambut pelukan gadis kecil itu sambil tertawa.
Dibanding seruan antusias gadis itu yang cukup membuat bingung—maksudnya, hei, memangnya ada bentuk kotoran seperti kotak? Perhatianku malah tertuju pada wajahnya yang memang mirip Eshaal, tetapi versi perempuan dan lebih mungil. Dia saudara kandungnya Eshaal? Aku pikir Eshaal anak tunggal.
"Bunda seneng banget, loh, kalian udah akrab. Jadi teringat Adonia."
🌧🌧🌧
Negosiator ulung ternyata ini anak.
Adel: Mau ngambek ajalah gue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro