Halaman Keempat Belas
November 2016
Aku memangku satu kardus besar berisi entah apa, tidak berminat kucari tahu. Di sebelah, Adonia juga melakukan hal yang sama sambil sesekali berbincang dan tertawa bersama Ayah serta Bunda. Hari ini, kami akan mengunjungi panti asuhan.
Kuulangi, kami. Itu artinya, aku juga ikut. Hari Minggu yang seharusnya menjadi jadwalku berduaan dengan ranjang, berganti menjadi hari sibuk. Ini salah satu syarat yang diajukan Bunda beberapa hari lalu saat Adonia pamit untuk pergi bersamaku ke pasar malam. Boleh, kata Bunda. Asalkan Adel ikut menyambangi panti asuhan untuk ikut memberi donatur pada anak-anak kurang beruntung tersebut.
Berkali-kali kuhela napas kasar. Sudah setengah berlalu, kami tak kunjung tiba. Adonia sudah lelap, sedangkan aku sejak dulu tidak mudah tidur jika sedang dalam perjalanan. Kuintip sedikit isi kardus, isinya tumpukan buku. Pantas saja berat. Pahaku sampai kebas rasanya. Jika bagasi tidak penuh, sudah dari tadi kupindahkan kardus ini ke sana.
Satu jam lebih sepuluh menit, akhirnya mobil berhenti tepat di depan bangunan krem bertingkat dengan halaman dipenuhi rumput hijau, terlihat begitu asri. Kubaca plang di depan pagar, Panti Asuhan Kejora.
Tanpa perlu dibangunkan, begitu mobil berhenti, Adonia langsung melek. Dia keluar mobil dan disambut riang oleh anak-anak. Astaga, apa aku juga harus begitu? Sungguh, aku tidak suka anak-anak, mereka berisik dan merepotkan.
Ayah turun, membuka bagasi dan mengeluarkan beberapa kardus sekaligus. Beliau tampak berbicara kepada Ibu Panti, sesekali menyapa ramah anak-anak yang berlarian. Ah, sepertinya Ayah dan Adonia termasuk orang-orang yang ditunggu oleh pihak panti. Mereka tampak begitu akrab.
"Turun, Del."
"Adel di sini aja ya, Bunda?" pintaku memelas. Bunda menggeleng.
"Bantuin angkat barang, sekalian kenalan sama Ibu Panti. Ajak main anak-anak juga. Nia udah sering ke sini."
Aku menggeleng cepat. "Males banget, Bun, Adel nggak suka anak-anak," protesku lirih.
"Nggak boleh gitu. Ayo turun, kita harus banyak belajar dari orang-orang yang nggak seberuntung kita."
Aku menurut jika Bunda sudah berbicara dengan nada halus dan sendu tersebut karena beliau jarang berbicara seperti itu padaku. Biasanya Bunda paling senang adu urat leher atau menggeram saat berhadapan denganku. Mendengarnya berbicara lirih jauh lebih mendebarkan.
Pertama kali menginjakkan kaki di luar mobil, anak-anak sempat menatapku bingung. Mereka mungkin tengah membandingkan kemiripan wajahku dengan Adonia. Sejurus kemudian, mereka bergerombol berlari ke arahku. Ah, tidak ... ya ampun, sekarang mereka sudah mulai menyapa dan saling sahut satu sama lain. Berisik.
Aku mencoba tersenyum ramah, tetapi aku yakin betul wajahku tidak tampak menyenangkan seperti Adonia. Namun, anak-anak itu tampaknya lebih betah berada di sekelilingku, membaca buku sesekali mengajakku berbicara. Astaga, lihat Adonia di sana. Dia tergelak melihat situasiku.
Aku baru akan melonjak girang ketika Adonia menghampiriku lima belas menit kemudian. Anak-anak sempat bersorak tidak terima saat kembaranku berkata bahwa aku ingin keliling panti, lihat-lihat bangunan. Namun, adikku itu pintar mengambil hati mereka.
Kata Adonia, panti ini menyimpan memori lama yang sangat berarti bagi Bunda. Sejak mereka kecil, Bunda dan Ayah sudah rajin ke sini, membawa Teh Aleya dan Teh Alin. Saat A' Aris sudah menginjak usia tujuh tahun pun, Ayah Bunda mengajak untuk mengunjungi tempat ini. Sebulan bisa dua kali, jika tidak sempat, hanya sekali dalam tiga puluh hari. Adonia saja yang terlalu rajin main-main ke sini.
Hanya aku yang menolak mengunjungi tempat ini, bersikukuh untuk cukup diwakili kehadirannya oleh Adonia saja. Toh, kami berdua mirip, anggap saja dua orang kembar ini adalah satu sosok. Mudah, bukan?
"Sebenernya Bunda udah pengen banget ngajakin lo ke sini, Lia, tapi lo nggak mau. Makanya pas mau ke pasar malam, gue sengaja minta izin ke Bunda, supaya Bunda ngasih syarat untuk lo. Ya, inilah syaratnya."
Adonia mengisyaratkan dengan tangannya untuk mengambil jalan kanan, aku menurut. Gadis di sebelahku betah sekali tersenyum, mengangguk formal saat beberapa penghuni panti menyapa. Sepertinya banyak dari mereka sudah mengenal baik seorang Adonia Anindya.
"Gue suka ke sini, karena dengan ke sini, gue jadi ngerasa kalau gue lebih beruntung dari mereka, Lia. Gue seneng saat gue nyadar kalau apa yang gue hadapi itu nggak seberat mereka. Setidaknya, gue punya lo, gue kenal orang tua dan saudara kandung gue."
Astaga. Aku benci mengatakannya, tetapi aku berhasil terhanyut oleh suasana sendu yang diciptakan Adonia. Memang apa yang dikatakannya tidak salah. Dilihat dari segi mana pun, kehidupan kami memang jauh lebih baik dari korban egoisme orang tua yang meninggalkan anaknya di panti ini.
Langkah Adonia membawa kami ke dalam satu ruangan yang berisi boks-boks bayi. Seorang wanita tambun sedang berdiri di depan jendela sambil memomong bayi perempuan yang menangis. Dua orang wanita berseragam sama tengah menemani batita bermain dengan mainan seadanya.
"Kasian banget, ya, Lia? Kasian banget mereka yang nggak tau siapa orang tua dan saudaranya. Kasian banget mereka yang dulu minta sama Tuhan untuk dilahirkan ke keluarga bahagia, tapi malah berakhir di tempat ini. Dibuang."
Kusikut lengan Adonia. "Jangan bicara kayak gitu, ih. Kalimat lo kayak menyedihkan banget. Awas aja lo kalau gue sampe nangis."
Adonia terkekeh. Dia mengusap sudut matanya yang berair—dia memang lebih sensitif daripada aku. Selanjutnya kembaranku itu melangkah masuk, menyapa pengasuh di sana. Mendekat pada boks bayi, kemudian Adonia mengambilnya, menggendong dengan telaten.
Aku menatap jerih ketika Adonia menyuruhku melakukan hal yang sama. Yang benar saja, menggendong bayi ini? Mereka masih kecil, jika salah cara menggendong, bisa-bisa anak kecil tidak berdosa itu cedera. Lagi pula, sejak kapan Adonia mahir memomong bayi seperti itu?
"Nggak apa-apa, Neng. Yuk." Aku menggeleng ketika seorang pengasuh tiba-tiba menarik lembut tanganku untuk meraih seorang bayi laki-laki dari dalam boks.
Bayi itu tertawa tepat ketika telunjukku menyentuh pipi tembamnya. Sejenak, dunia seperti berhenti bergerak. Kalimat Adonia, ironi yang disampaikan, berputar di telinga. Makhluk kecil ini, ditinggalkan tanpa tahu apa dosanya. Lantas, melihat orang lain yang menyapanya saja, dia bahagia.
Ah, ya ampun. Air mataku menitik tepat di atas pipi bayi itu. Aku tidak sadar sejak kapan bulir itu menggantung di pelupuk mata. Yang jelas, hatiku rasanya remuk saat ini. Begitu tiba-tiba, bukan? Ah, aku saja bingung.
Kuraih bayi itu, memosisikannya senyaman mungkin dalam rengkuhanku. Dia masih tertawa sambil menarik rambutku—jika dia bukan bayi, sudah kucubit tangannya atau kubalas dengan melakukan hal yang sama, menjambaknya balik. Hei, rambut ditarik asal-asalan itu rasanya sakit.
"Lia."
Aku membalikkan badan dan mendekat ke arah Adonia.
"Kaku banget, sih? Lucu."
Sialan. Dia menertawaiku. Suster tambun yang dari tadi menghadap jendela sudah membalikkan badan, tergelak saat melihatku. Dua pengasuh lainnya pun sama.
"Akhirnya gue nemuin hati lo di sini, Lia."
🌧
Bunda mengobrol panjang, menemani Ayah menyetir. Lagu jazz tahun 90-an menemani mereka yang saling bertukar cerita. Adonia sudah tertidur sejak sepuluh menit mobil melaju, sedangkan aku sibuk sendiri menghitung jumlah pohon di sebelah kanan jalan.
Rasanya mengantuk, tetapi aku tidak pernah bisa cepat tertidur seperti Adonia. Karena lupa membawa ponsel, tidak ada yang bisa kulakukan selain mengamati kendaran yang berlalu lalang. Awan hitam sudah menggantung, mungkin beberapa saat lagi akan turun hujan.
"Seru kan, Del, main ke panti?"
Aku mengalihkan pandangan dari jendela ke arah spion depan. Bunda menatapku dari sana.
"Nggak."
Tidak menyenangkan membayangkan anak-anak yang ditelantarkan. Tidak pernah menyenangkan mendengar kisah mereka dari pengasuh yang mendampingi tumbuh kembang bocah-bocah itu. Tidak asyik menguras air mata saat anak-anak tersenyum senang menerima benda dan perhatian dari orang lain.
"Loh, padahal tadi nampaknya bareng Nia kamu enjoy banget, loh," imbuh Ayah.
Aku meringis. Enjoy dari mana? Aku jarang menangis, tetapi tempat ini memancing air mataku untuk keluar ke permukaan. Hebat sekali.
Aku melirik Bunda dari spion depan. Wanita itu tampak sesekali menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri mengikuti alunan lagu jazz. Sesekali beliau menghela napas panjang, kemudian punggung tangannya dielus oleh Ayah. Hal kecil itu tidak luput dari pengamatanku.
Memangnya apa yang bisa kulakukan selain mengamati tindakan orang di sekitarku saat ini?
"Del, Bunda senang banget lihat kamu mau ke sini hari ini. Panti itu adalah sejarah, Del. Kamu harus pelajari itu."
🌧🌧🌧
Adonia ketemu anak-anak:
Adelia kalau ketemu anak-anak:
Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro