Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Halaman Keduapuluh Sembilan

"Sakit apa, sih, Cal? Perasaan minum obat itu mulu," celetukku ketika lagi-lagi untuk yang ke sekian kalinya mendapati Eshaal menenggak kaplet.

"Nggak sakit," jawab Eshaal seadanya. Ia meletakkan gelas yang bahkan tidak sampai seperempat isinya diminum. Ia lantas meraih spidol lagi, mencoret papan tulis kecil yang di sana terdapat bermacam rumus trigonometri.

"Nggak sakit kok minum obat?"

"Emangnya orang minum vitamin itu sakit semua?" Eshaal menatapku apatis.

Aku mengedikkan bahu. "Ya, enggak, lah, kalau vitamin mah. Vitamin sama obat pereda nyeri itu beda, Cal. Lo pikir gue nggak bisa bedain? Obat yang sering lo minum itu, kan, pereda nyeri."

Eshaal mungkin lupa bahwa aku punya Teh Alin yang selalu siap sedia mengantarkan obat ketika sedang tidak enak badan. Di rumah pun, di lemari khusus terdapat kumpulan obat untuk persediaan kalau-kalau anggota keluarga sakit. Aku sampai sudah hafal nama-namanya.

"Aku memang sering sakit kepala, makanya minum obat. Keganggu emang? Kalau iya, nanti aku minumnya nggak di depan kamu."

"Minumnya nggak pakai resep dokter, gitu?"

"Memangnya obat ginian perlu resep? Dijual bebas, juga."

Benar, sih. "Bunda tau lo sering minum obat kayak gitu? Gue tebak, sih, nggak tau."

Eshaal menggeleng. "Kayaknya nggak tau. Kalau tau, udah dari kapan aku dibawa ke rumah sakit. Bunda suka khawatir berlebihan."

Memang seperti itu. Bunda Raina kedapatan beberapa kali menasihati Eshaal saat hendak mengantarku pulang, menyuruhnya berhati-hati dan tidak mengebut. Tidak lupa mengingatkan untuk memakai jaket, takut anak sulungnya masuk angin. Ketika Ashila terantuk pun, reaksi Bunda Raina terkadang berlebihan.

"Oh iya, Del, dua hari yang lalu habis ketemu Vano, kamu nangis, kan? Ada masalah?"

Aku memicingkan mata menatap sosok Eshaal yang kini memusatkan atensinya padaku. Sebenarnya aku masih terlampau kesal saat membicarakan Vano. Apa ia pikir hanya dirinya yang menderita? Malam itu, aku bahkan menangis lama di mobil Eshaal. Tuntutan Bunda dan aduan Vano bercampur aduk mengitari kepala.

Kulirik lamat-lamat wajah blasteran Tionghoa itu hingga akhirnya menghela napas pelan.

"Sebenernya siapa yang salah, sih, Cal? Gue bingung banget," celetukku, "semua orang kayak nuntut gue banget. Pertama, Bunda. Gue nggak mau masuk Kedokteran, tapi Bunda malah bawa-bawa Nia. Katanya, gue harus nerusin impian Nia yang mau masuk jurusan itu. Padahal selama ini Nia menderita karena dituntut untuk masuk Kedokteran," cerocosku panjang. Untungnya, Eshaal tidak menyela.

"Bunda ngomong seakan paling mengerti Adonia, padahal nggak pernah tau kalau Nia sempat self harm beberapa kali. Nggak capek nutup mata terus? Apa yang dikejar, sih, sebenernya?"

Eshaal menyodorkan keripik kentang yang langsung kutolak. Ia melahapnya sendiri seperti orang yang tengah fokus menonton drama sambil menyemil.

"Terus, Vano juga nyalahin gue. Katanya gue nggak berprinsip. Yang gue lakuin seakan-akan mengindikasikan bahwa gue mau nurut sama apa yang diinginkan Bunda. Gue belajar lama, katanya gue kayak mau-mau aja disetirin Bunda. Padahal, gue belajar lama itu biar bisa ngumpul bareng mereka.

"Dia nyalahin lo juga, asal lo tau. Katanya lo itu cupu sewaan Bunda. Apa, sih, maksudnya? Dia juga nyalahin karena gue dianter jemput sama lo, bukan sama dia. Katanya, dia ngerasa kayak nggak lagi pacaran. Dia juga nuduh gue, Cal! Dia bilang gue main belakang sama lo. Padahal, ketemu lo aja gue juga ogah."

Tadinya aku merasa Eshaal sangat memperhatikan tiap kata yang kusalurkan, tetapi tidak. Sekarang ia malah tertawa. Bagian mana yang lucu? Harusnya dia mengajakku tertawa bersama. Sialan, tidak ada manusia yang tepat diajak curhat selain Adonia.

"Lo ketawa lagi, gue laporin Bunda kalau lo suka minum obat! Nggak ada yang lucu, ya!"

Akhirnya kekehannya reda. "Kamu kalau ngomong panjang lebar kayak gitu lucu, Del."

"Gue aduin. Bunda di dapur, kan?"

"Eh, jangan, jangan, jangan! Iya, maaf!" Eshaal menarik pergelangan tanganku ketika posisiku sudah setengah bangkit. Alhasil, bokongku kembali terhempas di atas sofa.

"Makanya kalau cewek curhat itu didengerin!"

"Aku denger, ya! Kamu kalau cerita panjang lebar kayak tadi, mirip Nia."

"Oh ya? Nia sering curhat ke lo juga?"

"Lumayan. Mirip banget pokoknya."

Eshaal mengumpulkan spidol dan kertas soal yang berceceran kemudian diletakkan di sebelahnya.

"Nia juga sering nanya siapa yang salah, persis kayak kamu. Bedanya, habis nanya siapa yang salah, dia malah sering nyalahin diri sendiri. Padahal kalau dilihat-lihat, nggak ada yang sesalah itu untuk disalahkan.

"Vano yang salah, Del. Kamu bukan nggak punya prinsip, tapi kamu menghadapi semuanya dengan berani. Kamu punya pilihan untuk lari-kabur, kayak yang Vano bilang, tapi kamu milih untuk pelan-pelan meyakini bundamu kalau kamu bisa. Kamu nempuh jalan yang berat supaya Bunda akhirnya percaya sama kamu. Kamu itu pemberani, Del."

Ya, benar. Itu benar. Apa tidak ada orang yang mampu menilaiku dari sudut pandang Eshaal? Mulia sekali rasanya diriku kalau dilihat dari perspektif Eshaal. Aku pemberani, kata siapa tidak punya prinsip?

"Bunda kamu ... sebenarnya aku nggak tau, sih, Del. Kadang kita nggak bisa menilai orang hanya dari apa yang dia lakukan. Dulu Nia bilang kalau Bunda sebenarnya selalu punya alasan untuk melakukan sesuatu, tapi dia nggak bilang alasan apa itu. Kamu nggak tau?"

Aku mengedikkan bahu. "Dia juga pernah bilang kayak gitu, tapi nggak pernah ngasih tau secara gamblang."

"Sebenarnya alasan kamu pacaran sama Vano itu apa, sih, Del? Apa bagusnya dia? Kamu harus cari orang yang lebih baik dari dia, Del. Feeling aku nggak bagus buat dia. A' Aris-katamu-juga pernah bilang supaya nggak pacaran sama dia, kan?"

Aku memainkan pulpen, memutarnya di antara jari tengah dan telunjuk. Atensiku beralih menatap langit-langit, memikirkan alasan mengapa harus menyukai Vano. Tidak ada, sebenarnya. Ia hanya tampan, tipeku yang selalu muncul saat orang bertanya manusia sepertia apa yang kusukai.

"Apa, ya? Dia ganteng, Cal. Memangnya gue bisa nolak pesona ciptaan Tuhan yang kayak Vano?"

"Orang ganteng mah banyak, Del. Yang spesifik, yang bikin kamu suka sama dia dan bisa jadi alasan untuk memihak dia kalau orang jelek-jelekin dia." Eshaal merapikan buku-buku dan ditumpuk menjadi satu. Kacamata belajarnya masih bertengger di hidung piramidnya.

Oh, aku belum pernah memikirkan itu. Jadi, mari renungkan sebentar. Vano itu temanku sejak kelas satu SMA. Teman seangkatan selalu memantau gerak-geriknya karena memang pesonanya sekuat itu. Ia bahkan dengan mudah mendapatkan Teh Risma yang semua orang sepakat bahwa ia terlampau cantik dan pintar untuk dimiliki oleh adik kelas seperti Vano.

"Dia suka motoran."

"Emangnya itu bagus?"

"Ya, bagus, lah. Lo cupu, mana tau selera cewek SMA kayak gimana."

"Kasih pembelaan, dong, Del. Masa langsung nyerang aku? Itu artinya alasan kamu belum cukup kuat. Ganti!" Eshaal bersungut-sungut.

Oh, jadi ceritanya ia sedang mengujiku?

"Jiwanya bebas. Dia nggak takut apa pun. Dia baik, gue tau banget karena udah dua tahun temenan."

"Kalau baik, kenapa kalian bisa sampai berantem?"

"Orang baik juga punya sudut pandang sendiri, sih, Cal. Menurut gue dia lumayan juga bisa nahan emosinya selama sepuluh bulan."

Begini, sebenarnya aku bukan hendak membela Vano, tetapi kalau dipikir-pikir, sepuluh bulan bukanlah waktu yang lama untuk merasa lelah menyimpan resah. Tetap saja, tindakannya tempo hari yang mengeluh dengan menyalahkan orang lain tidak dapat kubenarkan. Jangan salah sangka.

Eshaal menggeleng. "Orang baik tau caranya berbenah, Del, bukan malah menyalahkan orang lain atas kondisi di luar kontrol mereka. Lagi pula kamu nangis habis ketemu sama dia tempo hari. Kamu pasti sakit hati banget."

Aku benci mengakui kalau Eshaal benar.

"Ya udah, ayo belajar lagi."

"Bosen. Bentar lagi juga makan malam kayaknya selesai, kan? Nanggung. Hibur gue, kek, jiwa gue lara." Aku cengengesan.

"Aku nyanyiin, mau?"

"Jangan, lo kalau nyanyi vibe-nya sendu terus."

"Jadi apa? Kamu mau aku ngapain?"

Aku menatapnya sebentar, kemudian berujar, "Gue mau lihat lukisan lo. Lukisan yang semuanya lo balik, seakan-akan nggak ada yang boleh lihat dan nikmati apa yang lo gambar."

Oh, ayolah. Terhitung sudah lima kali aku masuk ke ruangan yang satu itu, menikmati nyanyian Eshaal dan genjrengan gitarnya yang menawan. Namun, ia seperti tidak berniat sama sekali memperlihatkan gambar di balik kanvas-kanvas di sisi kiri ruangan.

Eshaal sempat mengernyit kemudian mengedikkan bahu. "Nggak ada yang istimewa."

🌧🌧🌧

Eshaal: Kamu itu pemberani, Del.

Adel: Mulia banget gue di mata Eshaal.


Yoru lupa kalau kemarin hari Sabtu! 😭
Jadi, maaf telat update, yaa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro