Halaman Kedua Puluh
Desember 2016
Aku tengah fokus mengejar peringkat di gim ponselku ketika Adonia masuk tiba-tiba tanpa mengetuk pintu. Awalnya kuabaikan saja, tetapi saat ia menutup wajah dengan selimut, aku mulai curiga. Makin lama, isaknya kian mengudara, membuatku tertegun sesaat sampai kudengar makian teman sekelompokku di dalam gim. Katanya, kami kalah karena aku.
Sebab sudah kalah, tanpa memedulikan cacian mereka kututup ponsel dan duduk di sebelah Adonia. Kusentuh pelan pundaknya yang naik turun, mengindikasikan bahwa napasnya tidak teratur di dalam sana. Namun, dia tidak bergeming. Tidak kutuntut untuk bercerita, kubiarkan saja dia larut dan mempersilakannya untuk menangis lebih kencang.
Tanpa mendengar ceritanya pun, hatiku rasanya seperti diremas oleh tangan-tangan gaib, ngilu. Entah apa pasalnya, tiba-tiba air mataku ikut mengalir, padahal aku sedang tidak mengalami masalah. Maksudku, hei, bahkan beberapa menit yang lalu aku asyik memainkan gim dengan antusias.
Kuusap air mata itu kala kudengar isak Adonia memudar. Kian samar, hingga ia memanggil namaku. Setelahnya, ia duduk bersandar dengan menekuk lutut, meraih tisu dan mengelap jejak anak sungai yang mengalir di pipinya.
"Bunda marah, Lia."
"Kenapa? Lo bikin salah apa?"
Adonia menunduk, menyembunyikan kepalanya di antara lutut dan tangan yang ditekuk.
"Lo bilang ke Bunda pengen pindah jurusan?"
Meski samar, aku dapat menangkap anggukannya. Kudekap dia dari samping. Meski tidak yakin dapat membantu, kuharap Adonia tahu bahwa dia tidak sendiri. Jujur, di kondisi seperti ini, aku bingung hendak berkata apa.
Sangat wajar jika Bunda terkejut, sangat wajar pula bila Bunda marah karena ketidakkonsistenan Adonia. Namun, di satu sisi, menyalahkan Adonia juga bukanlah pilihan yang baik, bukan? Adikku itu berhak memilih. Lagi pula, dia tidak menuntut apa-apa selain restu.
"Bunda bilang apa?"
Kali ini, dia menggeleng dan hal tersebut membuatku bertanya-tanya.
"Nggak mau cerita?"
Adonia mengangguk. Baiklah, tidak apa.
Belum reda isak samar Adonia, Bunda tiba-tiba muncul dari balik pintu. Aku sampai terperanjat karena terkejut. Adonia lebih parah, dia sekarang merapatkan tubuhnya dengan tubuhku. Kudekap bahunya kuat-kuat. Tatapan intimidasi Bunda kali ini benar-benar tajam.
"Nia, Bunda pengen kamu tegas sama keputusan yang kamu ambil sejak lama. Masuk ke jurusan Kedokteran, apa pun yang terjadi. Kamu udah janji."
"Maaf, Bunda. Nia memang udah janji, tapi ...." Kalimatnya terjeda sebab napasnya masih tidak beraturan.
"Mau jadi apa kamu kalau masuk jurusan Sastra? Tulisan nggak bisa nyembuhin orang. Tulisan nggak bisa bikin kamu dipandang lebih baik oleh orang lain. Hidup kamu bakalan disia-siakan. Apa untungnya, Nia? Jawab Bunda!"
Rahangku beradu walau beberapa kali kutahan. Bagaimana Adonia dapat berbicara jika terus diserbu dengan kalimat tuntutan yang penuh penekanan? Bahkan, Bunda tidak terlihat ingin mendengar jawaban adikku, lantas untuk apa bertanya?
Tangan kiriku mencari jemari Adonia kemudian menggenggamnya erat, mengisi celah-celah di sana, menyalurkan sedikit keberanian. Sungguh, tangannya dingin seperti habis memegang es batu. Dia ketakutan.
"Ayo, jawab! Kenapa diam? Tadi pas bilang mau pindah jurusan yakin banget kamu! Sekarang giliran ditanyain malah diam! Kenapa? Perkataan Bunda benar, kan? Makanya kamu nggak bisa bantah!"
Tuhan, aku ingin memaki, tetapi sejak kecil Ayah selalu mengajarkan sopan santun kepada orang tua.
"Bunda, jangan ditekan kayak gitu. Kasih dia waktu untuk bicara lebih te—"
"Bunda nanya sama Nia, bukan sama Adel. Kamu diam."
Kulepaskan genggamanku dari tangan Adonia, lantas bangkit dari kasur, berdiri berhadapan dengan Bunda. Aku tidak ingin durhaka, tetapi salahkah mengharapkan hubungan timbal balik yang sehat? Salahkah berharap Bunda dapat bersikap demokratis alih-alih otoriter seperti tadi?
"Bunda jangan bentak-bentak gitu, dia jadi nggak berani ngomong."
"Kalau dia ngomongnya ragu kayak gitu, gimana mau percaya?"
Astaga.
"Dia jadi ragu karena ditekan terus, Bun."
"Loh? Kata siapa Bunda tekan Nia? Bunda kasih dia kesempatan untuk bicara, tapi kamu lihat sendiri, kan? Dia aja nggak cukup percaya diri untuk meyakinkan Bunda, gimana Bunda bisa percaya?"
"Ya itu karena kata-kata Bunda nyerang dia tanpa henti, Bun! Bunda seakan-akan memblokir jalan Nia dengan mengeluarkan asumsi-asumsi buruk untuk nakut-nakutin dia. Gimana dia mau bicara?"
"Karena kamu keseringan main sama Adel belakangan ini, makanya kamu jadi plin-plan. Makin labil kamu."
Loh? Sebentar ....
"Nggak ada hubungannya sama Lia, Bunda."
"Nggak ada hubungannya gimana? Jelas-jelas belakangan ini kamu juga lebih sering nggak nurut sama Bunda. Evaluasi nilai kamu turun karena keseringan main. Kamu pikir Bunda nggak tau?"
"Jangan ngalihin topik, Bunda. Jangan bawa-bawa Lia. Semua yang Nia bilang ke Bunda tadi murni keputusan Nia tanpa campur tangan Lia," bantah Adonia cepat, tanpa jeda setelah Bunda berucap.
Aku bahkan tidak dapat berkata-kata menanggapi topik yang diputar segitu jauhnya. Konyol sekali cara Bunda memalingkan obrolan. Dari sekian banyak hal yang harus didengar, mengapa Bunda lebih memilih untuk melimpahkan semua kesalahan padaku?
Kulirik Adonia yang membalas tatapan Bunda datar. Dia mengepalkan tangan, posisi duduknya tidak lagi meringkuk, tetapi menyila.
"Nia tetap pada pendirian Nia, Bunda. Nia nggak mau jadi dokter."
Bunda menarik salah satu sudut bibirnya, tersenyum miring. "Memangnya kamu yakin?"
🌧
"Lain kali jangan gitu, Lia. Kalau lo ikut-ikutan, Bunda bakal nyalahin lo," celetuk Adonia setelah menyeruput sodanya.
"Lo pikir gue bisa diam lihat lo ditekan terus sama Bunda? Bunda nyuruh lo ngomong, tapi dia kayak nggak mau terima apa yang lo omongin," balasku cepat, beradu dengan dentuman musik dan lampu bekerlap-kerlip.
Aku mengajak Adonia ke kelab malam ini. Sudah hampir satu jam kami duduk menikmati gemerlap di sekitar tanpa ikut memeriahkannya. Aku tidak memberitahukan teman-teman, hanya aku dan Adonia saja. Pasalnya, di rumah, dia terus menangis tanpa henti dengan selimut yang menutupi sampai rambut. Melihatnya saja membuatku engap.
Adonia menyandarkan punggungnya, pandangannya tampak kosong beberapa kali. Terkadang wajahnya mengerut ketika musik yang diputar terlalu kuat dentumannya, tetapi ia tidak banyak bicara, tidak protes.
"Lo sebenarnya niat, nggak, sih, Nia? Kenapa lo nggak bicara pas Bunda suruh? Lo cuma ngelihatin diri lo yang tanpa daya, ragu-ragu, dan pasrah. Padahal lo punya amunisi, tapi pas diserang, lo diam aja. Kenapa?"
Jujur, melihatnya seperti itu membuatku geram. Setelah kupikir-pikir, memang Bunda cenderung memojokkan Adonia, terkesan seperti memaksa Adonia untuk mengakui kebenaran dari serangan fakta dari Bunda. Dia juga seakan disuruh berbicara untuk kemudian dibantah dengan opini Bunda yang lainnya, lagi dan lagi.
Walau begitu, aku merasakan bahwa Bunda tidak sepenuhnya marah. Entah mengapa, aku merasa bahwa Bunda ingin Adonia menjawab tegas tanpa ragu, tidak goyah. Saat adikku itu gemetar, maka Bunda akan terus menyerang. Agak aneh mengatakan hal ini, sebenarnya. Katakanlah aku tidak bersimpati atau sok tahu, tetapi tidak mungkin seorang Bunda bersikap terlampau otoriter seperti itu.
Namun, Adonia tetaplah Adonia. Dia akan diam jika disuruh diam. Saat dibentak, dia akan gemetar, melarikan diri ke kamar, bersembunyi di balik selimut, kemudian menangis sesenggukan. Saat menjelaskan mimpinya padaku, matanya berbinar, tetapi ketika berhadapan dengan Bunda, nyalinya ciut sedemikian rupa.
"Gue niat, kok, Lia. Gue udah bertekad sekuat tenaga juga. Tapi, kayaknya memang rantai di kaki gue susah dilepas, ya? Gimana cara ngehancurin besi yang mengikat kaki gue?"
Jika kali ini Adonia sedang beranalogi, aku dapat memahami perkataannya. Alih-alih menyebutkan hujan bernyanyi, ucapannya kali ini lebih masuk akal.
Aku menggeleng lalu tersenyum miring. "Kenapa harus dihancurin saat lo punya kuncinya?"
Pandangan Adonia yang tadinya lurus kini beralih kepadaku.
"Kuncinya ada sama lo, Nia. Di tangan lo, selalu lo pegang. Lo bisa buka rantai itu kapan pun lo mau. Lo cuma takut sama apa yang bakalan terjadi di luar sana, lo nggak berniat ngumpulin kekuatan untuk menghadapi apa yang ada di sana. Ujung-ujungnya lo ngunci diri lo lagi, sendiri, bersama ekspektasi orang yang juga lo rawat sedemikian rupa."
Entahlah penjelasanku masuk akal atau tidak, yang jelas aku hanya mengatakan apa yang ada di pikiranku. Adonia melenguh samar di antara hiruk-pikuk manusia yang berseliweran. Ia meraih gelas sodanya, meneguk beberapa tetes.
"Gitu, ya?"
Kutatap wajah Adonia yang tengah memperhatikan buih soda dalam gelas. Melihat responsnya, aku mendadak jadi kurang yakin. Entahlah, tiba-tiba seperti bimbang mendadak. Apa aku baru saja menyinggungnya?
"Lia, gue pengen berjuang. Gue pengen keluar, gue pengen mencari diri gue sendiri alih-alih jati diri gue dibentuk oleh orang lain. Gue pengen, Lia, tapi kalau Bunda nggak dukung, gue bisa apa?"
"Stop asking 'gue bisa apa?' Lo bisa melakukan semua hal, Nia! Lo punya daya, punya kekuatan, punya kekuasaan atas diri lo. Lo tuh—heran, ya, gue. Gue nggak paham kenapa lo terjebak dalam lingkaran pikiran sempit lo mulu."
Adonia terkekeh ketika aku menggertakkan gigi sebab geram, tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Aku tidak suka mengulang perkataanku, lama-lama akan terasa hambar. Namun, ada waktu di mana ketika berbicara dengan kembaranku itu, aku harus mengulang ucapan untuk beberapa kali.
"Iya, iya, gue yang salah. Harusnya gue memilih untuk bebas dari awal, ya, Lia?"
Aku mengangguk cepat, tentu saja.
"Gue bakal pilih itu kalau gue egois. Tapi, gue nggak bisa egois karena mempertimbangkan banyak hal."
"Hal apa yang lebih penting dipertimbangkan melebihi diri lo sendiri?"
Di antara pendar remang lampu ruangan, aku menyaksikan senyum lebarnya lagi. "Lo, Lia."
🌧🌧🌧
Follow Tiktok Yoru: @nijinoyoru_ untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro