Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Halaman Kedua

Oktober 2016

Aku menggigit bibir bagian dalam ketika kerikil yang tadi kulemparkan memantul di jendela kamar. Meski suara pantulannya tidak begitu jelas, tetap saja Bunda memiliki kapasitas sensorik suara yang begitu besar. Jangankan kerikil memantul, aku berjalan jinjit saja bisa ketahuan.

Sudah sepuluh menit mondar-mandir di bawah atap balkon, tetapi Nia belum juga membuka jendela. Padahal biasanya ia selalu cepat memberi respons pada isyaratku. Apa mungkin sudah tidur? Ah, biasanya Adonia selalu belajar sampai larut dan sekarang masih pukul sebelas malam. Lagipula ia tidak akan bisa lelap sebelum aku pulang dengan selamat.

Kulemparkan lagi batu kecil ke jendela kamar. Mungkin tadi kembaranku itu sedang berada di kamar mandi hingga tidak mendengar panggilan.

Tiga kali melakukan hal serupa sambil takut-takut, tetapi hasilnya nihil. Adonia tidak juga muncul. Masa aku harus masuk lewat pintu depan? Bunda pasti akan lelah membuka mulutnya untuk menceramahiku yang tak bosan-bosan pulang malam.

Barangkali Adonia memang telah tidur. Ya sudahlah, mungkin memang jatahku kena omel malam ini.

Sebelum masuk-setiap kami memang memiliki kunci serep-kutarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Riasan berupa lipstik biru gelap kuhapus dengan kasar menggunakan kain lengan jaket denim yang kukenakan. Mungkin sudah hilang-atau tidak-kuketuk pintu sambil merapal ayat kursi. Semoga Bunda tidak dirasuki setan yang gemar marah-marah.

"Adelia!" Langkahku terhenti seketika, berjengit kaget mendengar suara nyaring nan tidak indah tersebut.

Ayat kursi yang kubaca tidak berpengaruh.

Bunda melangkah satu-satu, tangannya bersedekap di depan dada dengan wajah yang dibuat mirip tokoh antagonis dari ibu tirinya Cinderella, atau Bawang Putih, atau ... ibu tiri siapa lagi yang memiliki peran antagonis sejati? Oh, cukup. Tidak lucu, aku malah bergidik. Intinya, wajah Bunda yang memang memiliki raut tegas kini memerah.

"Dari mana aja jam segini baru pulang?"

Aku menelan saliva susah payah. Rasanya seperti menelan bola kasti melewati kerongkongan yang sesempit pori-pori hidung. Padahal sudah lumayan terbiasa ditegur seperti ini, tapi saat merasakannya kembali, tetap saja mengerikan.

"Dari luar, Bun," jawabku sambil terkekeh canggung.

"Iya dari luar, enggak mungkin dari dalam! Ngomong yang jelas, dari mana?" Astaga, suara ini seperti akan menyaingi toa masjid yang dipakai untuk mengumandangkan azan ke satu penjuru kampung. Aku heran kenapa Ayah, Teh Alin, dan A' Aris tidak terbangun.

"Anu ... habis main sama temen-temen, Bun."

"Di mana? Diskotik? Pub? Kelab? Mabok, ya, kamu?"

Aku mengangguk sebentar, lalu menggeleng. Bunda mencebik kemudian menggertakkan gigi.

"Sekali angguk, sekali geleng. Yang bener apa? Angguk atau geleng?"

"Bingung, Bun. Soalnya Adel beneran ke kelab, tapi enggak mabok. Makanya tadi angguk dan geleng." Aku benar, bukan?

Kudengar Bunda beristigfar entah berapa kali, menghela napas berat lalu atensi tajamnya menghujam netraku, seakan hendak memvonis hukuman apa yang pantas didapatkan anak gadisnya yang masih kelas dua sekolah menengah tapi sudah berani menyambangi tempat hiburan malam.

"Anu, Bun. Friska ulang tahun, dirayain di sana karena tempat itu punya keluarganya. Adel enggak ngapa-ngapain, kok. Cuma minum sirup Marjan sama makan kukis aja."

"Temen cowokmu juga ada di sana?"

"Ya ... ada, Bun."

"Kenapa mereka ada di sana?!"

Aku melengos pelan. "Mereka, 'kan temennya Friska. Lagian yang ngundang itu dia, bukan Adel," celetukku, lagi-lagi membuat Bunda urut dada.

"Itu wajah kenapa biru-biru? Kelopak mata biru, bibir biru. Habis berantem?"

"Enggak, Bunda. Ini make up."

"Make up bikin cantik, bukan bikin wajah kayak abis dipukulin orang sekampung. Hapus! Besok pulang sekolahnya Bunda jemput. Kebiasaan kalau dikasih pulang sendiri malah keluyuran."

Sepertinya ayat kursi yang tadi kurapal berhasil. Bunda tidak terlalu meledak malam ini, juga tidak ada hukuman menyikat enam kamar mandi pakai sikat gigi seperti malam-malam sebelumnya saat aku tertangkap basah telat pulang. Besok-besok mungkin aku harus menambahkan daftar doa sebelum masuk rumah.

Dengan isyarat mata, Bunda menyuruhku untuk naik ke kamar yang langsung kuangguki.

"Pulang sekolah besok, bersihin semua kamar mandi di rumah pakai spons cuci piring!"

Apa yang salah dari ayat kursi yang kubaca? Kenapa efeknya cepat hilang?

🌧

"Lo ngapain aja, sih? Dari tadi gue lemparin jendela malah enggak dibuka-buka!"

Kuletakkan tas di sebelah meja belajar, menyangkutkan jaket denim, berkacak pinggang pada Adonia yang baru saja keluar dari kamar mandi. Adikku itu nyengir seperti biasa, sembari menurunkan piyama bagian lengannya yang tadi terlipat hingga siku.

"Kurang kencang, Lia. Lo lemparnya pakai sayang, ya?"

Aku mendengkus. Biasanya juga kulempar sekali, Nia langsung gerak cepat untuk membuka jendela dan menurunkan tali yang biasa kugunakan untuk kabur turun ke bawah.

Aku berderap menuju kamar mandi, menghapus make up yang kata Bunda kayak habis dipukuli orang sekampung. Membersihkan wajah, menyikat gigi, dan memakai krim malam. Saat hendak mengambil baju di gantungan, netraku terfokus pada salah satu titik dekat gantungan handuk. Hatiku terasa nyeri tiba-tiba, lenguhan lolos dari bibirku.

Kuselesaikan ritual malam secepatnya lalu bergegas menghampiri Adonia yang tengah duduk sembari membaca buku paket matematika perminatan. Keningnya berkedut lalu beberapa saat kemudian buku itu diletakkannya di atas nakas.

"Nia, lo-"

"Eh, tadi kena marah Bunda gara-gara gue, ya? Maaf banget. Sumpah deh, enggak kedengaran dari kamar mandi. Gue diare juga, jadinya agak lama. Dihukum apa?" Belum kuselesaikan kalimatku, Adonia sudah lebih dulu memotong.

"Enggak apa-apa, santai. Disuruh bersihin semua kamar mandi pake spons. Gimana caranya, coba?" gerutuku saat mengingat kembali hukuman yang diberikan bunda. Adonia terkikik sebentar.

"Mau gue bantu? Tapi gue bisanya cuma dua kamar mandi aja. Hari ini gue pulang agak sore, ada bimbel."

"Mau, dong! Tapi jangan bilang-bilang Bunda, ya!" Adonia mengangguk, tak lupa menunjukkan dua jempolnya.

Setelah hening beberapa saat, aku baru ingat bahwa tadi ada sesuatu yang ingin kupastikan. Sebelum Adonia merebahkan badan dan menutupi diri hingga kepala menggunakan selimut, lekas kutarik lengan kirinya, menyingkap piyama merah marun dan mencelos ketika mengetahui bahwa hipotesisku benar.

Adonia yang tidak sempat menghindar terlihat pasrah.

"Kenapa gini lagi, sih? Udah gue bilang, 'kan? Kalau capek, cerita. Jangan sayat-sayat tangan kayak gini."

Adonia mengembuskan napas pelan.

"Ya udah, gue mau cerita. Gue capek," ucapnya sambil menatap kosong jam weker di atas nakas.

Aku tahu adik kembarku itu lelah dan selalu menahannya seorang diri. Malam-malam panjang jika tidak mampu mengerjakan soal fisika, ia akan menangis. Atau ketika pikirannya penuh memikirkan nasib anak-anak panti, ia akan berkeliling kamar sembari memikirkan solusi. Selalu baik dan berusaha terlihat tidak apa-apa.

Aku tahu ia memiliki banyak tekanan. Bunda tidak pernah mengizinkannya memiliki pacar sebab takut nilai pelajaran Adonia menurun. Bunda menargetkan jurusan yang akan diambil oleh adikku jauh-jauh hari sebelum ia menginjakkan kaki di sekolah menengah atas. Ikut les, akselerasi. Adonia harus sempurna, melebihi Teh Aleya dan Teh Alin.

"Nilai gue turun terus, Lia. Kayaknya makin hari bukan makin membanggakan, tapi mengecewakan. Gue capek, tapi gue bingung harus ngapain. UN juga udah makin deket, tinggal beberapa bulan lagi."

Ah, iya. Adonia memang berhasil mengikuti program akselerasi. Saat ini ia duduk di kelas akhir SMA, sedangkan aku masih kelas dua.

Dia lelah, tapi tidak pernah mengutarakan hal tersebut pada Bunda. Tidak ingin bunda sakit hati, katanya. Semua yang bunda lakukan pasti untuk kebaikan, hanya dirinya saja yang cengeng dan tidak terlalu tangguh untuk memenuhi ekspektasi bunda, begitu pula ujarnya.

"Capek banget gue ikutan bimbel, tambah lagi kegiatan OSIS. Pas weekend juga ikut Bunda ke panti buat kunjungi anak-anak---ya, memang gue suka anak-anak, sih. Seneng juga lihat ekspresi riang mereka nerima donasi dari kita. Enggak ada liburnya. Pasti waktu nilai gue rendah, Bunda kecewa---walaupun bunda selalu bilang enggak apa-apa, masih bisa belajar lagi untuk semester depan."

"Mungkin Bunda perlu tau, Nia. Kalau disembunyiin terus, Bunda akan mikir kalau lo baik-baik aja."

Adonia menggeleng. "Gue enggak mau unda ngerasa bersalah. Lagian memang gue aja yang lemah. Ini semua juga untuk gue, bukannya gue harus berterima kasih?"

Aku mencebik. Terkadang, aku heran dengan sikap Adonia yang selalu memandang positif segala hal walaupun ia dalam kondisi lelah. Apa salahnya sesekali mengatakan pada dunia bahwa ia keberatan dikekang? Semua orang akan memaklumi hal itu. Ia terlalu takut menyakiti orang lain dan membiarkan diri sendiri terluka. Naif memang, untung kusayang.

"Habisnya lo, sih. Dulu Bunda pernah tanya lo maunya gimana, malah bilang pengen jadi dokter spesialis, lah, pengen ikut kelas akselerasi, lah, pengen bisa bermanfaat buat orang banyak, lah. Kenapa sih, enggak jawab kayak gue? Pengen bebas."

Adonia tersenyum miring. "Karena ada hal tentang Bunda yang enggak orang tau, tapi gue tau. Kita nggak boleh selalu bareng juga, tau, Del."

"Itu lagi! Cerita kenapa, sih? Perasaan dari beberapa bulan yang lalu lo selalu bilang itu tapi enggak mau cerita! Terus, emang apa salahnya bareng sama gue? Kita, kan, kembar." Aku mendengkus, membuat Adonia tergelak.

"Jadi lo enak banget, ya, Lia? Enggak perlu banyak mikir, bisa bebas milih, enggak punya rasa takut. Kadang, sesekali gue pengen kayak lo yang bisa mengekspresikan diri."

Gue kadang pengen kayak lo yang dibanggain Ayah dan Bunda setiap ada pertemuan keluarga atau di depan teman-teman mereka. Sesekali, gue pengen ada di posisi di mana orang-orang merasa beruntung memiliki gue, tapi gue enggak bisa.

Kalimat itu hanya tergantung di hati, tidak terucap oleh lisan. Karena aku tahu posisiku kapan harus berucap dan kapan harus cukup menjadi pendengar.

"Mau ikut gue?"

"Ke mana?"

"Main, ketemu teman-teman gue. Kafe, pasar malam, atau ke kelab, kita karaokean?"

"Boleh?"

"Kenapa enggak?"

"Tapi nanti gue-"

"Sesekali lo butuh udara segar. Tenang, gue yang jagain lo. Enggak ada yang berani macam-macam sama gue."

"Minta izin ke Bunda gimana?"

Aku tergelak mendengar pertanyaan Adonia. "Mana ada sih gadis yang pergi ke sana izin sama ortu? Lo ngaco."

Adonia terlihat menimbang-nimbang sekejap sembari memainkan jari dan menekuk kepala.

"Kalau Bunda marah gimana?"

"Baca ayat kursi. Mungkin kalau yang baca itu anak baik kayak lo bakal mempan, deh."

🌧🌧🌧

Bantu Yoru menumpas pandemi typo, bakteri tanda baca yang ga sesuai, virus pengulangan kata, dan tumor plot hole, ya!
Dipersilakan untuk membuat keributan dan kehebohan di sini dengan jejak emas kalian!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro