Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01. Halaman Pertama

Aku terpekur menatap tanah gembur yang dipenuhi kembang dan nisan bergantian. Air mata tak henti mengalir seiring tetesan rinai menyapa tempat kami berpijak. Makin lama, kurasakan bumantara mulai egois, menumpahkan tirta sederas-derasnya tanpa memedulikan kami, tujuh sosok tanpa atap untuk berteduh yang duduk berbaris menatap objek yang sama.

Adonia Fatheya Anindya.
binti
Fasya Ariqul Athas

Lahir: 23 Desember 2000
Wafat: 1 Januari 2017

Bunda sesenggukan dalam rengkuhan Ayah. Teh Alin menangis terisak di sebelah A' Aris yang mengelus pelan pundaknya. Teh Aleya berdiri dan menatap kosong pada tanah yang telah menimbun jasad. Di sebelahnya, berdiri sang suami yang juga diam seribu bahasa.

Aku? Tidak usah ditanyakan.

Adonia dulu pernah berkata padaku agar tidak lelah menjadi orang baik. Entah apa yang memotivasinya untuk selalu peduli terhadap apa pun. Dia juga tidak bosan mengulang-ulang alasan mengapa harus menjadi layaknya malaikat.

Menjadi baik memiliki banyak keuntungan. Disayangi, disenangi, dikenang, didoakan, dan dicintai oleh banyak orang, katanya.

Masih dalam balutan rintik, aku tersenyum miring.

Omong kosong. Lihat aja, kenapa sekarang lo terkubur di dalam sana? Karena lo terlalu baik, enggak bisa nolak kemauan orang lain, enggak bisa bedain yang salah dan benar hanya karena selalu berpikiran positif. Orang baik itu bodoh, Nia. Naif, persis kayak lo, batinku sendu.

Separuh jiwaku seakan pergi dan rasanya perih. Adonia memang orang baik, berlawanan dengan sifatku yang cenderung frontal, defensif, impulsif, dan memiliki sisi pemberontak yang lebih dominan. Banyak orang yang menganggapku layaknya parasit. Namun, hanya Adonia yang tidak pernah menghakimi.

Sayangnya, kini aku tidak memiliki lagi sosok yang membuatku merasa memiliki tempat untuk pulang.

"Adel, Bunda tau kamu betah di lingkungan itu, tapi enggak harus ngajak-ngajak Adonia juga, Nak. Karena kamu, Nia jadi begini," ucap Bunda lirih dengan napas yang masih tersendat.

Aku mendengkus, menatap nyalang pada Bunda yang mengelus jirat dengan ukiran nama Adonia. Kenapa hanya aku yang disalahkan?

Kenapa Bunda tidak menyalahkan Teh Alin yang tidak bisa menyelamatkan Adonia?

Kenapa tidak menyalahkan A' Aris yang biasanya selalu mengantar Adonia ke mana-mana, tetapi saat itu lebih memilih merayakan tahun baru bersama temannya?

Kenapa tidak menyalahkan Teh Aleya karena tidak dapat menganalisis perubahan sikap Adonia yang cenderung tertutup dua bulan sebelum insiden itu terjadi?

Kenapa tidak menyalahkan dirinya sendiri yang selalu memaksakan kehendak pada putrinya? Apakah Bunda tidak merasa bahwa Adonia mencari pelarian karena terlalu lelah dituntut olehnya? Harus begini harus begitu. Melakukan segala hal mesti berdasarkan standar yang diresmikannya sepihak.

Aku hanya membantu Adonia untuk keluar sebentar dari dunianya yang penuh tuntutan. Kuajak dia bermain, berkenalan dengan dunia luar, melepaskan tawa tanpa beban, meluapkan keluh kesahnya yang tertahan selama beberapa tahun.

Tidak ada alkohol, tidak ada seks bebas, dan obat-obatan terlarang. Hanya menikmati sebagian kecil dari gemerlap dunia, mencari hiburan untuk melepas penatnya. Aku menjaganya dengan baik, tidak ada yang berani mengusik saudari kembar seorang Adelia. Sungguh, apa yang terjadi tidak dapat kuprediksi. Untuk apa kucelakakan separuh jiwaku?

Ah, hendak melawan argumen tersebut pun, di mata Ayah dan Bunda, selalu aku yang salah. Adelia tidak pernah benar. Adelia terlalu keras, tidak dapat dipatahkan, dan Adelialah pembawa dampak buruk. Pada Adonia, A' Aris, sesekali bahkan pada Teh Alin dan Teh Aleya.

Bulir bening yang menggantung di pelupuk mata kini berhenti mengalir. Kantung yang sejak semalam mengurai isinya tanpa mau dihentikan kini seakan menarik segala likuidnya. Hujan masih membasahi wajah, tapi aku sudah bosan terus terlihat salah.

"Bunda sampai kapan, sih, mau terus nyalahin Adel? Teh Alin, Teh Ale, A' Aris, bahkan Bunda dan Ayah juga menjadi penyebab Nia pergi!" bantahku berlomba-lomba dengan deras suara hujan yang membentur tanah.

Dapat kudengar sedu sedan Teh Alin semakin sesak. Sempat tertangkap pula oleh atensiku kepala Teh Aleya yang tertekuk lebih dalam dan A' Aris yang menengadah.

"Astaga, ini kuburan, Adel! Jangan berteriak kayak gitu, apalagi sama Bunda! Bunda ngomongnya baik-baik, kok!" bentak Ayah yang sedari tadi diam di posisinya. Alisku menukik sebelah.

"Ngomong baik-baik dari mananya, Yah? Bunda yang mulai duluan, kan? Iya, kan, Teh, A'? Ayah juga lihat, kan? Kenapa cuma nyalahin Adel?"

Lihat, tidak ada yang membelaku. Semuanya mematung, enggan bersaksi walau semua orang tahu aku tengah berkata benar. Sesak? Ah, tidak. Aku sudah terbiasa.

"Udah, Del. Jangan ngebantah Bunda sekarang. Diam aja dulu," bisik Teh Alin.

Bungkam saja selalu mulutku.

"Ya mau gimana pun ini tetap salahnya Adel! Kenapa harus nyeret Nia ke duniamu? Bukan begitu cara bikin Nia bahagia, Nak. Nia anak yang baik, dia ... nggak pantas mati dengan cara ini."

Tolong katakan padaku, sekarang siapa yang kembali memulai? Aku tidak akan memungkiri bahwa Adonia memanglah anak baik kebanggaan seluruh keluarga. Namun, jauh daripada itu, hatiku terpaut oleh batinnya. Ada beberapa hal tak tersuarakan yang hanya dapat kurasakan bahkan oleh senyum Adonia sekalipun. Tanpa ucap, tanpa bicara.

Bahkan aku sudah lebih dulu berkomunikasi dengannya sejak dalam ruang kedap nan gulita. Sejak di dalam rahim, kami sudah berbagi cerita. Adonia adalah separuh diriku, mana mungkin ingin kucelakai.

"Kamu ... yang menyebabkan Nia mati, Del. Karena kecorobohanmu."

"Udah, Bun. Kasihan Adel," bisik Ayah yang sempat kudengar. Bunda akhirnya memalingkan wajah dariku dan mengalihkan pandangannya untuk fokus ke nisan, mengelusnya sepenuh hati.

Tuduhan yang baru saja terucap sungguh menyakitkan. Mungkin Bunda hanya berceracau sebab hatinya tengah patah, tetapi tidak bisakah wanita yang melahirkanku itu menjaga hatiku? Tidakkah dia sadar, batinku sama terguncangnya, bahkan lebih berat?

"Bunda udah bilang berkali-kali sama kamu, Nia. Kalau Adel ngelakuin kesalahan itu diingetin, bukan diiyakan apalagi sampai ikut-ikutan. Bunda cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa, Bunda sayang kamu. Sekarang, lihat! Apa yang Bunda takutkan malah terjadi," rintih Bunda lagi. Ayah makin mengeratkan rangkulan, telapak tangannya yang satu setia mengelus punggung Bunda, membisikkan untuk berhenti meratap.

Dalam hujaman air dari angkasa, aku memaksakan senyum yang mungkin terlihat miring. Bunda hanya menyayangi Adonia, tidak Adelia. Bunda menyayangi anak-anaknya yang tunduk patuh, bukan yang memberontak dan senang bikin rusuh.

Bahkan di situasi duka seperti ini pun, tidak ada yang berkutik sekadar untuk mengingatkan Bunda agar bisa mengontrol kata-katanya dan bersikap tenang. Entah karena sedikit peka anak gadisnya terisak dalam diam, Ayah memandangku sebentar dengan atensi teduhnya. Hanya itu, tapi sudah cukup, kok. Aku tahu ketika Bunda sedang kalut, ia akan menjadi sosok yang tak terbantahkan.

Aku berdiri patah-patah, urat-urat betis yang sudah dua jam dipaksa terus berjongkok ini seperti benang semrawut yang diluruskan paksa. Keram. Sempat kutatap sekali lagi nisan yang tertancap di sana, kuberi Nia senyum terakhir. Senyum luka.

Gue pergi dulu, Nia. Maaf karena enggak bisa lama-lama nemanin lo. Maaf, gue pergi duluan. Bukan gue enggak sayang, tapi mungkin untuk beberapa saat gue butuh menghilang. Bahagia di sana, ya. Lo orang baik, batinku, berharap ucapan itu menembus tanah dan sampai pada Adonia.

"Mau ke mana?" A' Aris lebih dulu menyadari posisiku yang setengah berdiri.

"Pergi."

"Pergi ke mana?"

"Enggak tau."

"Aa anterin."

"Nggak perlu. Aa di sini aja temani Bunda. Adel nggak sanggup kalau harus kehilangan Adonia sekaligus mental Adel di sini." Kini beberapa pasang atensi menjadikanku pusat perhatian. Tak apa, justru itu yang aku mau.

"Tunggu dululah, Del. Habis kita pulang bareng, baru kamu boleh pergi."

Aku tertawa sumbang. Teh Aleya ingin membiarkan aku menjadi objek yang selalu disalahkan Bunda? Kulirik Bunda yang masih tetap pada posisinya. Arah pandangnya masih menatap sendu objek yang menggurat nama putri bungsunya.

Sedikit dalam hati, masih kuharapkan Bunda menoleh lantas menahanku agar tidak pergi. Namun, aku menyadari bahwa pikiran yang sempat hinggap itu terlalu naif.

Tanpa membalas ucapan Teh Aleya, kuayunkan langkah menjauh. Baju hitam yang melekat di tubuh telah kuyup. Selendang yang tadi menutupi sebagian rambutku sudah tidak ada lagi, entah terbang dibawa angin atau jatuh lalu terinjak kaki sendiri.

Aku lelah dan rasanya bukan merupakan kesalahan jika mencari pelampiasan.

🌧🌧🌧

Bantu Yoru menumpas pandemi typo, bakteri tanda baca yang ga sesuai, virus pengulangan kata, dan tumor plot hole, ya!
Dipersilakan untuk membuat keributan dan kehebohan di sini dengan jejak emas kalian!!

Follow Tiktok Yoru juga: @nijinoyoru_ ya, untuk berbagai konten lainnya~
Kamsarigato~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro