9. Penyesuaian Diri
Rei mulai tahu bagaimana cara menikmati hidup. Ia belajar menyetir mobil dan mulai meninggalkan kebiasaan mengotak-atik motor. Ia belajar bagaimana cara merawat tubuh. Mulai dari facial, body treatment, hingga memperlakukan rambutnya dengan sangat istimewa. Membuat penampilannya sesempurna mungkin hingga mengkilap. Ia belajar bagaimana nada suara serta cara orang-orang kaya berbicara. Topik-topik yang selalu mereka perbincangkan mulai dari selebriti, pejabat, dan semuanya itu membuat ia merasa ingin muntah.
Ia belajar untuk bisa mengenali merek fashion terkenal dan membedakannya dengan yang palsu; seperti Prada, Jimmy Choo, Chanel, Hermes, Burberry, Louis Vuitton; dan semua hal yang mewah juga gemerlap. Ia belajar bagaimana cara menggunakan M-Banking―dan terkejut setengah mati ketika melihat jumlah saldo yang menakutkan. Oleh karena itu ia juga belajar bagaimana meniru tanda tangan Ema yang asli. Ia belajar―belajar membuat semuanya tampak sempurna dan sepuas mungkin. Menjelajahi kenikmatan hidup yang tak pernah terpikir sebelumnya.
***
Saat-saat makan merupakan momen terpenting bagi keluarga ini―acara yang harus direncanakan, diresapi, dan juga dinikmati. Makan malam mesti selalu hangat, dan dihidangkan dengan menu yang istimewa. Serta hiasan-hiasan di setiap sajian masakan untuk membangkitkan selera.
Ketika menaruh secentung nasi di atas piring, kenangan Ema kembali melayang pada keluarga terdahulunya. Ia ingat, bagaimana mereka hanya bisa makan dengan lauk seadanya. Daun singkong rebus dari ladang tetangga, ikan asin yang usianya sudah hampir berbulan-bulan, beras paling murah dengan kadar karbohidrat dan gula rendah, atau sekadar makan dengan ikan air tawar dan kecap manis. Astaga, pikir Ema. Ternyata sebegitu sulit hidupnya.
Namun kini, bersama keluarganya yang baru berusia dua minggu, ia bisa menikmati hidangan istimewa dan makan sepuasnya tanpa harus memikirkan: akan makan apa besok?
Ia bahkan hampir tak tahu bagaimana tata krama di meja makan. Vivi selalu menegur setiap kali sendoknya berdenting keras di piring (padahal menurutnya itu bukanlah suatu hal yang seharusnya tak perlu dilarang). Saat ini pun, sepertinya ia harus belajar lebih keras untuk bisa menguasai etika menjadi orang kaya.
Ternyata, itu lebih sulit daripada pelajaran matematika atau tenses bahasa Inggris. Bi Nah menghidangkan sajian lezat di depan matanya. Dan dalam hitungan detik, Ema berhasil menghabiskan tiga ekor ayam goreng dalam tiga puluh kali gigitan. Untuk yang satu ini, sendok dan garpu tak punya peranan penting dalam acara makan malam. Di tengah kelahapannya, tak sengaja ia bersendawa keras. Vivi dan Wirya langsung melempar tudingan menjijikkan padanya.
"Ema! Jorok banget sih!" tegur Vivi mendelikkan mata.
Sedangkan Ema―dengan senang hati menyengirkan gigi minta maaf. "Sorry! Mbak, Mas! Gak sengaja―" Ia bersendawa lagi.
Vivi menghela napas kesal. "Astagaaa... punya etika gak sih kamu? Cara duduk kamu itu! Bisa gak sih, gak pake gaya angkat kaki?"
Ema manyun, kemudian melanjutkan makannya kembali. "Huhhh ... hari gini Mbak tuh masih aja mikirin sopan. Yang namanya makan itu harus dinikmati, nabi Muhammad aja mengajarkan kita seperti itu." Vivi terdiam, sedangkan Ema tetap mengambil nasi dan meletakkannya kembali ke atas piring.
Sekilas, Vivi menyadari sesuatu. Ada sesuatu yang berbeda di sekitar jemari adiknya. Benda pemberiannya itu seharusnya ada di antara jemari lentik Ema. Ke mana cincin itu? Pikirnya dalam hati. Tanpa ragu, ia pun bertanya pada orang yang bersangkutan.
"Cincin yang Mbak kasih ke kamu mana? Kenapa gak kamu pakai?"
"Hah?" Wajah Ema tiba-tiba pucat, kalimatnya tergugup bingung. "Mmm ... cincinnya ...." Ia memutar-mutar pikirannya untuk mencari alasan yang tepat agar Vivi tidak curiga terhadap gerak–gerik anehnya. "Maaf, Mbak. Cincinnya lepas terus jatuh di kamar mandi masuk got, Ema udah berusaha untuk mengambilnya, tapi gak bisa. Ema minta maaf banget, Mbak. Bukan maksud Ema–"
"Cincin itu berharga lho, Ma ... kenapa gampang banget kamu menghilangkannya?" Nada suara Vivi sedikit menaik. Ia tampak semakin kesal pada adiknya yang hanya bisa tertunduk kikuk sambil melunakkan kunyahan di mulutnya. "Mbak lihat akhir-akhir ini sikap kamu tambah aneh tau nggak?"
Kini Rei menghentikan semua gerakkan anggota tubuhnya, bahkan napasnya pun hampir terhenti. Sedikit terkejut, ternyata selama ini Vivi menyadari perbedaan itu.
"Ya udah, kalau udah hilang mau diapakan lagi?" Wirya membela. Dan Ema sedikit lega "Gak usah marah-marah gitulah, Ema jugakan gak sengaja."
"Vivi bukannya marah, Mas. Vivi Cuma kasih tau ke Ema, supaya dia itu bisa jaga barang baik-baik." Kini kedua bola mata Vivi menyorot ke arah Ema. "Makanya lain kali kalau punya barang itu hati- hati."
Rei meneguk segelas air putih. Ia lega. Bisa melewati pertanyaan yang baru saja terlontar dari Vivi. Ia pun dengan cepat menyudahi makan malamnya. Setelah itu melarikan diri dari ruang makan sebelum mereka bertanya semakin jauh tentang banyak hal yang tak ia ketahui sama sekali. Setidaknya, kamar tidur adalah tempat yang paling aman untuk sementara waktu.
Langit gelap di atas sana terlihat tak bersahabat, beberapa awan membentuk suatu gelombang seperti ombak di pantai. Beberapa kali getaran halilintar kerap terdengar dan memekakan telinga. Semua orang bisa memprediksi kalau malam ini hujan akan turun sangat deras. Dulu sewaktu Ema berperan sebagai Rei, ia akan sibuk menyiapkan baskom-baskom dan ember untuk menampung air hujan dari atap yang bocor apabila udara sudah mulai terasa dingin juga gemuruh halilintar yang meraung-raung.
Rei sedang duduk bersandar di kasur empuknya. Ia berharap, keadaan di luar kamarnya kembali normal tanpa ada lagi prasangka-prasangka curiga yang diidap kedua saudaranya―terutama Vivi.
Di dalam kesendirian, kedua tangannya sibuk membolak-balik album foto yang terkadang membuatnya tertawa sendiri. Dilihat dari sudut mana pun, wajah Ema yang asli begitu mirip dengannya. Ia tak tahu, mengapa Allah merencanakan semua ini untuknya. Sesaat ia terpikir, bagaimana kalau Ema adalah saudara kembarnya yang terpisah dari mama dan papa Rhevan, atau sebaliknya. Akan tetapi, ia menyangkal hati kecilnya itu, ini semua hanyalah kebetulan baginya. Dan tak ada yang perlu diselidiki. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja selama ia bisa menjaga sikap dan menjauhi orang-orang yang pernah terlibat dengannya dulu sewaktu dirinya menjadi seorang Renata.
Tiba-tiba saja pikirannya mengingat peristiwa mengerikan dua minggu yang lalu. ia ingin tahu bagaimana nasib Ema yang terbunuh waktu itu, bagaimana reaksi paman dan bibinya ketika pulang dan mendapati gadis yang mereka kira adalah keponakannya tewas tak bernyawa lagi. Mereka pasti akan sangat terpukul dan kehilangan kalau saja Rei benar-benar meninggal, nisan di makamnya pasti tertulis nama Renata Rhevan. Dan semua orang yang mengira itu adalah jenazahnya, akan memanjatkan doa–doa atas nama Rei, bukan Ema. Itulah sebabnya, Rei selalu menangis ketika mendoakan keselamatan dan kelapangan alam kubur untuk Ema. Karena tak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk berdoa selain dirinya sendiri.
Ia membalikan lagi album foto di tangan. Ada foto Wirya dan istrinya, ketika mereka baru menikah. Dua bulan yang lalu, mereka bercerai dikarenakan ulah istrinya yang berselingkuh dengan pria lain. Dan Wirya memenangkan hak asuh atas Billy ketika ia masih berusia satu tahun dua bulan. Usia seorang bayi yang seharusnya masih bisa merasakan kasih sayang dari ibunya, mendapatkan ASI terbaik dari ibunya, kebahagaiaan yang utuh dari kedua orang tuanya. Namun kini, kasih sayang itu telah tergantikan oleh kedua tantenya yang sangat sayang padanya. Dan seorang ayah yang bijaksana juga tampan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro