6. Tawaran yang Menarik
Rei, benar-benar terkejut melihat rumah yang begitu mewah bagaikan istana. Bibirnya menganga lebar, sulit mengatup saat melihat setiap sudut ruangan yang berinterior eksklusif. Ia tak pernah melihat rumah yang semewah itu sebelumnya. Ia pikir, rumah-rumah mewah seperti ini cuma ada di film sinetron, yang pemilik rumahnya adalah seorang pengusaha besar, direktur utama, atau pejabat penting pemerintah. Namun kini ia ada di sini, di rumah yang berinterior luar biasa dan―ini bukan sinetron!
Dalam waktu beberapa detik, ia pun hampir lupa dengan misinya.
Beberapa sofa Orlando berwarna mocca tertata rapi di ruang tamu, dengan dinding granit massif melayang dengan sedikit bukaan di bagian tepinya, mencuatkan pemandangan luar ruangan yang sangat indah, menampakkan halaman samping rumah yang bergaya klasik pada aspek dekoratif yang kaya akan warna, kaya arsitektur, dan bentuk. Melihatnya dari dalam membuat Rei seolah berada di dalam villa mewah.
Sebuah tangga dengan konsep melingkar membatasi ruang keluarga yang memiliki pencahayaan uplight bernuansa feminim pada dekorasinya yang kaya detail ornamental. Sofa morocco green yang nyaman menghadap audio visual sekaligus home theater. Ia bisa merasakan betapa menyenangkannya bila menonton TV sambil relaks di sofa itu.
Vivi menuntun Rei ke ruang makan bersuasana alami di mana salah satu dindingnya dilapisi oleh bilah-bilah kayu oak, aksen unik tampil berupa lampu gantung dari flos. Sedangkan dapur di sebelahnya di desain bergaya modern techno yang pintu-pintu lemarinya terbuat dari kaca berwarna (tinded glass) dan terisi oleh peralatan-paralatan dapur yang serba modern. Menurutnya ruangan ini tidak terlalu pantas disebut sebagai dapur, karena ia tak mungkin berani menyentuh dapur yang super duper clean seperti itu. Semut atau kecoa saja bisa terpeleset.
Vivi menarikkan kursi yang biasa di pakai untuk adiknya, dan Rei pun duduk di situ dengan kelelahan kaki yang sedikit-demi sedikit hilang. Ia butuh makan. Di atas meja makan itu ternyata sudah tersedia seteko susu dingin serta sekotak sereal gandum rasa coklat. Beberapa potong roti bakar yang diolesi margarine dan beberapa toples selai rasa moka, kacang, dan strowberi.
Wirya duduk tepat di hadapannya, sedangkan Vivi sibuk membuatkan kopi untuk Wirya. Itu adalah minuman pembuka hari yang biasa diminum Wirya sebelum pergi kerja atau sekadar santai. Vivi menuangkan air panas dari teko atas kompor yang baru saja dimatikan. Suara gemercik airnya begitu nyaring.
"Mbak pengen tahu alasan kenapa kamu sampai kabur dari rumah," tanyanya. Vivi mengaduk kopi itu setelah memasukkan dua sendok gula, lantas memberikannya pada Wirya.
"Apa lagi yang harus aku jelasin? Kalian juga pasti gak bakal percaya sama semua omongan aku sebelum kalian menyaksikan yang sesungguhnya." Ia meletakkan kedua tangannya yang terkepal di atas paha. Mantel berbau apek itu―yang ikut berperan dalam keterlibatannya di situasi ini―masih melekat di tubuhnya. Bau darah yang sudah mengering sedikit tercium di hidungnya.
Vivi berdiri di samping Rei, kemudian menuangkan susu ke dalam mangkuk berbahan melamin dengan hati-hati. Ia sangat tahu takaran susu yang biasa Ema tuang di mangkuknya sendiri, tapi kali ini, entah kenapa ia ingin melakukan itu untuk adiknya. Rei hanya diam menyaksikan aksi perempuan itu yang menurutnya, cukup perhatian.
"Mbak dan Mas Wirya memang gak tahu apa yang membuat kamu jadi bertingkah laku seperti ini. Mbak ngerasa kaya ketemu sama orang asing yang gak Mbak kenal. Mbak merasa ini bukan kamu, Ma."
"Aku kan udah bilang, kalau aku memang bukan Ema." Vivi telah selesai menuangkan sereal coklat kesukaan adiknya ke dalam mangkuk berisi susu. Biasanya Ema langsung memainkan sendoknya di sana dan menyantapnya dengan penuh rasa nikmat tanpa memedulikan jam keberangkatan sekolah.
Wirya menaruh cangkir kopinya di tatakan, menyeruputnya hingga separuh. "Apa sebenarnya yang kamu pengen? Kalau kamu perlu apa-apa, kamu tinggal bilang, Ma. Kamu mau keluar negeri menghabiskan liburan? Ke Singapore misalnya, Italia, Jepang, Sydney atau Alexandria? Mas pasti bakal izinin kamu, tapi jangan pakai acara kabur seperti ini. Lihat akibatnya, kamu jadi aneh seperti ini."
"Keluar negeri?"
"Iya, Mas minta maaf kalau kemarin Mas gak jawab permintaan kamu, tapi sekarang Mas sadar, Mas bakal turuti keinginan kamu. Kita bertiga bisa pergi bareng. Bersenang-senang."
"Aku rasa kita juga butuh liburan," sambung Vivi.
Keluar negeri? Benarkah? Apa aku bisa?
Rei membisu beberapa saat sementara kedua orang asing di dekatnya itu sibuk memperhatikan gelagatnya. Pikirannya dengan cepat membayangkan sebuah Negara yang sejak dulu, sejak kecil ingin ia singgahi. Ia ingin pergi ke sana untuk ke tiga kalinya. Ia ingin mencari kedua orang tuanya yang dengan begitu gampangnya meninggalkan ia ketika ia masih sangat membutuhkan sebuah keluarga―meskipun berakhir dengan pertemuan dramatis. Tapi ia ingin melihat tulisan nama kedua orang tuanya di batu nisan.
Irlandia. Apakah ia bisa pergi ke sana? Sering kali Rei bermimpi, pergi menaiki pesawat dan turun di bandara internasional Belfast kemudian melakukan perjalanan mencari sebuah makam yang sangat ingin diketahuinya. Namun itu mustahil bagi ukuran seorang Rei yang sehari-harinya cuma bisa hidup dengan segala macam hal yang bernama pas-pasan dan tak bisa menabung. Kehidupannya yang sewaktu kecil―bahkan lebih kaya dari kedua orang itu―seperti istana emas yang terkena gempa tektonik maha dahsyat dan mengubur semua harta kekayaannya tanpa tersisa. Ia menjadi miskin sejak orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Sesungguhnya ia rindu dengan semua kejayaan itu.
Namun saat ini, rasanya seperti ada sesuatu yang berbisik di telinga kirinya. Menyerukan bujukan-bujukkan yang tak mampu ia lawan. Keluarga yang bahagia: tampaknya akan sangat menyenangkan bila memiliki dua orang saudara yang sangat menyayanginya, meskipun mereka tak memiliki orang tua―sama seperti dirinya. Dan ia terbiasa hidup tanpa orang tua.
Hidup mewah: gadis seumuran dia, biasanya adalah masa di mana mereka menikmati hidup yang serba terkabul. Dan itu tak akan pernah didapatkannya bila ia tetap berperangai sebagai seorang Rei.
Masa depan yang terjamin: Rei pernah membaca sebuah buku motivasi yang mengatakan ―hiduplah dengan menyandang uang, karena ia akan menjadi pendamping kedua untuk masa depanmu setelah kerja keras. Dan Ema, punya segalanya atas uang.
Pergi keluar negeri: salah satu obsesinya sejak kecil adalah bisa mengelilingi dunia. Tapi satu- satunya Negara yang ingin ia kunjungi saat ini adalah kampung halaman papanya. Irlandia.
Rei ingin pergi ke sana. Bahkan kalau bisa sekarang juga. Ia rela jika harus capek membawa koper- koper berisi baju- baju hangat yang berat dan berlari mengejar pesawat yang hendak lepas landas. Asalkan ia bisa pergi ke negara itu dengan segera dan menemukan apa yang selama ini ia cari.
Suara entakan cangkir kopi Wirya seperti pemecah waktu, menyadarkan khayalannya yang―mendadak merubah persepsi, niat baik, jati diri, dan perilaku yang sesungguhnya.
"Ema!" Tangan kanan Vivi yang lembut menyentuh buku-buku jari Rei yang tergeletak diam di atas meja.
Rei membiarkan mangkuk berisi sereal itu berada di antara kedua tangannya, memandanginya―sedikit berselera―namun pikirannya sibuk bermain di antara rencana-rencana serta siasat yang barangkali akan mengubah hidupnya untuk selama-lamanya.
"Kenapa kamu diam? Apa sebenernya yang kamu inginkan?"
Rei menarik tangan kanannya yang disentuh lalu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Aku―aku nggak tau apa yang sebenernya terjadi sama aku. Tapi, aku juga merasa... ada yang berubah sama diriku sendiri." Oh, ya Tuhan. Rei hampir tak percaya dengan apa yang ia katakan barusan. seperti ada dorongan yang memaksanya untuk lari dari kenyataan. "Apa kalian bisa membawaku ke Irlandia?"
Dua pasang bola mata itu mendadak membundar. Rei tahu mereka pasti akan memasang ekspresi seperti itu.
"Bukannya kemarin kamu minta ke Alexandria?" Wirya mengoreksi.
"Aku berubah pikiran."
"Tapi kenapa?" tanya Wirya lagi.
"Tolong jangan tanya apa-apa lagi, Mas. Tadi Mas bilang mau menuruti kemauanku, nggak mesti pakai alasan, kan?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro