5. Dua Bersaudara Tolol
Selama di perjalanan pulang, mereka melanjutkan pertikaian dengan mempertahankan argumen masing-masing. Rei tetap bersikeras memberitahu; menceritakannya dari awal―bagaimana mereka bertemu sampai terakhir kali ia mendapati Ema sekarat meregang nyawa. Namun tetap saja, Wirya tidak percaya dan malah menganggap adiknya mengalami penyakit sejenis syndrome.
Wirya sampai tak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk membuat anak itu berhenti bicara selain membentaknya dengan kasar hingga anak itu terbungkam kaku tak berkutik.
Rei pun bersikap pasrah ke mana pun pria itu membawanya pergi. Ia linglung, tanpa mau bicara apa-apa selama perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam. Bagaimanapun caranya ia harus bisa mengungkapkan kebenaran, ia tak ingin meninggalkan kedua orang tua angkatnya dengan cara seperti ini, bahkan ia terlalu takut untuk tinggal bersama orang asing yang tak diketahui asal-usul atau perilakunya. Laki-laki ini bisa saja membawanya ke rumah sakit jiwa atau bahkan lebih buruk dari itu karena melihat perilaku yang sangat tampak jelas berbeda dengan adik kandungnya yang asli.
Rei membenamkan diri di kursi penumpang, tak mau mengalihkan pandangannya dari kaca pintu mobil yang membawanya semakin jauh dari rumah, tempat ia dilahirkan. Sembari pikirannya melayang tak tentu, akan ada kejutan apa lagi didepan?
***
Sementara itu, ada kegundahan besar menyelimuti hati seseorang. Seseorang yang menantikan sebuah mukjizat datang dan membawa kembali harta paling berharga yang pernah ia miliki selama hidupnya. Yang tak ingin sesuatu terjadi padanya. Kegelisahan membuat ia tidak bisa tidur semalam suntuk. Perasaan-perasaan galau tak bisa luput dari otaknya ketika memikirkan nasib adiknya di luar sana. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu hasil usaha kakak laki–lakinya, dengan harapan bisa membawa Ema kembali dalam pelukannya.
Vivi terus mondar–mandir tak keruan di serambi depan rumahnya. Rasa lapar yang melilit perutnya tak terasa lagi. Dari bibirnya terujar doa–doa pengharapan agar Ema bisa sampai di rumah dalam keadaan baik. Hingga akhirnya doa itu pun terjawab.
Mobil marcedes milik Wirya telah tiba dihadapannya. Tak lama kemudian, seorang gadis yang ia kenal keluar dari dari dalam mobil dengan pandangan linglung. Air mata Vivi merebak mengucap rasa syukur berulang kali saat melihat adiknya kembali ke hadapannya dalam keadaan sehat.
Vivi dengan cepat merentangkan tangan dan memeluk Ema erat-erat dengan air mata kekhawatiran yang masih menderas. Ia tidak menemukan aroma rose seperti yang sering ia cium setiap kali mereka berpelukan, bau kali ini lebih berbeda, dan terasa seperti aroma baju kotor yang tersimpan lama di dalam lemari pakaian. Namun ia senang bahwa kenyataannya―ia masih bisa merasakan denyut jantung adiknya menyatu dengan dentuman detak jantungnya. Kerinduannya perlahan- lahan hilang hingga ia merelakan untuk melepas rangkulan tangannya. Memperhatikan wajah adiknya yang tak semulus seperti terakhir kali ia melihat Ema belajar memakai skin care. Garis wajah yang tak terlalu berbeda―setidaknya ia bersyukur bibir itu masih terlihat klasik.
Wirya menarik tubuh Vivi menjauh sebentar dari Rei bermaksud untuk memperingatkan sesuatu. "Kurasa kita harus hati- hati, Ema sudah bersikap aneh waktu aku menemukannya. Dia terus-terusan bilang kalau dia bukan Ema. Aku nggak tau kenapa dia jadi begitu."
Vivi sedikit tidak menggubris kata-kata Wirya, lebih baik ia kembali untuk menginterogasi adiknya.
"Mbak bener-bener khawatir sama kamu, Ma. Kenapa kamu pergi dari rumah? Apa Mbak sama Mas kamu punya salah?" Vivi memegang bahu Rei dengan kuat, membelai rambut adiknya yang terlihat agak sedikit pendek. Mungkin ia memotongnya beberapa hari lalu dan Vivi tidak menyadari hal itu lantaran kesibukanya mengurusi usaha ayahnya serta tugas kampusnya beberapa hari terakhir.
Rei memegangi kedua tangan perempuan itu, sedangkan Wirya ada di sana―disampingnya―bersiap siaga siapa tahu adiknya berbicara ngelantur lagi seperti yang dialaminya beberapa menit yang lalu.
"Maaf, gue bener- bener nggak kenal siapa kalian." Ia melihat ke arah Wirya. "Udah gue bilang gue ini bukan Ema. Memang wajah kami sama, gue juga nggak tau kenapa ini bisa serba kebetulan. Tapi kemarin sore gue ketemu sama Ema secara nggak sengaja, dan kami sendiri juga terkejut. Kayaknya kalian perlu ngenalin gue baik- baik, deh."
Vivi melemparkan pandangan penuh tanya ke arah Wirya. "Sudah kubilang, kan?" kata Wirya, bahunya naik ke atas.
"Kamu kenapa, Ma? Apa ada yang salah sama kamu?"
Rei membuang napas. Dasar orang- orang tolol! Celetuknya dalam hati. "Gue harus bilang berapa kali, Mas? Ema yang asli, adik kalian... tadi pagi dibunuh sama perampok yang mencuri motor di bengkel aku. Gue gak tau lagi gimana keadaannya sekarang, bisa aja dia tewas di sana tanpa sepengetahuan kalian." Suaranya menyentak membelah udara. "Gimana sih cara gue ngomong supaya kalian percaya?"
Vivi mengusap wajah dengan telapak tangannya yang hangat. Sulit dipercaya adiknya bisa berkata seperti itu. Ini sama halnya seperti orang yang baru terjun ke alam mimpi dan lupa pada dunia nyata yang sebenarnya. "Ema yang Mbak kenal sekarang ada di sini. Di hadapan Mbak. Gimana mungkin kamu mengatakan diri kamu sendiri dibunuh sama perampok. Kenyataannya, Ma... kamu ada bersama kami sekarang. Memangnya ada berapa Ema di dunia ini?'
"Mana gue tahu kenapa bisa jadi kayak gini―"
"Apa Mbak perlu bawa kamu ke dokter?"
Ya, mungkin itu adalah satu- satunya cara yang harus dilakukan Vivi untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada adik tunggalnya itu. Dia bisa saja menelepon dokter ahli jiwa atau psikolog untuk memeriksa keadaan Ema.
"Nggak perlu bawa gue ke dokter! Gue nggak sakit, cuma gak ngerti sama kalian berdua. Emangnya kalian nggak bisa bedain gue sama Ema? Adik kalian sendiri?"
Dari segi mana? Vivi memperhatikan keseluruhan tubuh Ema. Gadis ini punya ukuran kaki yang sama, tiga puluh delapan. Dan jenjang kaki yang terbentuk sempurna, meskipun tampak sedikit belang antara bagian mata kaki ke bawah dengan betis, tapi mungkin itu karena Ema terlalu lama berjalan di bawah sinar matahari. Ia punya dada yang bagus, Vivi ingat pernah memuji Ema dan mengatakan bahwa ia punya bentuk dada yang akan terlihat semakin seksi jika ia dewasa nanti. Kulit gadis ini memang tampak sedikit gelap, tapi lagi-lagi Vivi berpikir barangkali ini akibat dari efek sinar matahari yang membakar kulitnya ketika Ema menelusuri jalananan di siang hari yang panas. Suaranya masih terdengar sama, dan poni yang tersibak ke kiri itu juga masih berada di sana.
Lalu, apa yang berbeda? Pikirnya.
"Udah, berhenti ngomong ngaco kayak gitu!" Suara Wirya menyembul di antara mereka. "Mas rasa kamu perlu istirahat, Ma. Supaya pikiran kamu jernih lagi. Ayo, sebaiknya kita masuk ke dalam dan sarapan. Mudah- mudahan setelah sarapan kamu bisa sadar."
Wirya menarik tangan Rei dengan paksaan yang sama seperti cara ia memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. Rei menurut saja. Barangkali ia memang butuh istirahat sejenak, sembari berusaha untuk meyakinkan mereka kembali bahwa ini semua adalah kesalah pahaman yang harus diluruskan. Betapapun kedua orang tolol ini tetap bersikeras mempertahankan persepsi mereka, Rei tak akan membiarkan semua ini terjadi. sedangkan Wirya terus menarik rangannya paksa, mengucapkan salam dan masuk ke dalam rumah yang―
"Waw! Sialan, nih rumah gede banget kaya istana!" gumam Rei dalam hati dengan pandangan yang penuh kekaguman.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro