44. Momen Terbaik
Alloha... maaf kalau update chapter terakhirnya kelamaan. Semoga kalian masih ingat alur cerita ini, hahahha. Selamat membaca. Cerita ini telah tamat dan semoga kalian suka secara keseluruhan.
---------------------------------------
Hari persiapan...
Sore datang terasa lebih cepat dari biasanya. Setiap detik tak terhitung menanggalkan momen penting dari kecekatan. Ini adalah waktu. Setiap orang bergelut dengannya demi mencari kesempatan dan kebahagiaan. Namun bagi Arya, kesempatan dan kebahagiaan bukan hanya ada pada waktu, tetapi lebih cenderung pada sebuah kejernihan cara berpikir dan menggunakannya untuk mengolah waktu agar tak tersisa percuma.
Ini adalah hari terakhirnya dia melajang, persiapan yang tidak terlalu banyak menguras tenaga akan mengantarkannya pada tanggung jawab besar yang akan segera ia peroleh mulai esok. Rei akan menjadi miliknya hingga akhir hayat. Ada kebahagiaan besar yang meluap-luap di dadanya.
Ada senyum melepas begitu saja. Rei masih sanggup mendampingi langkah kaki Arya yang bahkan kalah cepatnya dengan laju kursi rodanya. Lelaki itu sedang sibuk berbicara dengan ponsel melekat di telinga seraya menelusuri jalanan sepulang mereka dari toko bakeri setelah calon mertuanya mengatakan kalau mereka sedang berselera mencicipi brownies kukus.
"Udah, mama dan papa udah sampai di Jakarta dari tadi pagi. Katanya kamu mau nyusul," tanya Arya pada gadis di balik ponsel.
"Iya, Ichi pasti nyusul. Ujian di kampus udah selesai kok. Ichi udah beli tiket buat ke Palembang besok pagi. Emang acaranya mulai jam berapa?" tanya Ichi kemudian sembari sibuk memilih pakaian di sebuah toko busana.
"Insya Allah, jam Sembilan pagi. Besok kamu langsung ke rumah Rei aja, udah tahu, 'kan?"
"Tau dong ..."
"Jadi nggak perlu dijemput lagi, ya?"
"Oke, Kak Arya tenang aja, Ichi pasti datang on time. Soalnya besokkan hari terpenting kalian, Ichi nggak mau melewatkannya gitu aja." Ichi mengembalikan baju kemeja baru itu ke tempatnya semula, setelah melihat harganya yang terlalu mahal.
"Pokoknya, kamu harus datang sebelum ijab qobul." Ari menekankan.
"Insya Allah... salam buat kak Rei dan juga papa mama disana, ya?"
"Oke, kamu hati-hati ya dirumah." Sebentar Arya mengusap-usap rambut Rei yang hangat. Mereka telah sampai di rumah Arya. Di halaman depan, papanya terlihat sangat senang menyirami tanaman yang hampir mengering.
"Iya, Kak. Assalamu'alaikum!" ichi menutup telepon setelah mendengar salam balasan dari Arya.
Ichi menjatuhkan ponselnya ke dalam tas, memutar badanya hendak pergi ke kasir untuk membayar pakaian yang sudah ia pilih untuk acara penting besok. Namun jantungnya terkejut seketika, tatkala melihat seorang wanita berdiri diam di belakang punggungnya. Ichi hampir menabraknya. Wajah wanita itu menunjukkan ekspresi keterkejutan yang sama, perutnya buncit dan dari mukanya terlihat ratusan pertanyaan yang menyala-nyala. Darah Ichi berdesir, mulutnya hampir tak bisa berkata apa-apa kecuali menyebut nama wanita itu.
"Mbak Vivi?"
***
Jari-jarinya melembab, Rei benar- benar gugup menghadapi hari terpenting dalam hidupnya. Dalam waktu sepersekian detik, kehidupannya akan berubah total. Cermin di hadapannya seolah berkata―apakah cara seperti ini akan berhasil? Seminggu yang lalu, mereka memohon kesediaan penghulu yang bersangkutan untuk menjadi wali hakim di pernikahannya. Syukurlah penghulu itu setuju.
Namun, yang menjadi kekhawatirannya saat ini, apakah cara seperti itu akan sah menurut agama. Ia memang tidak paham betul bagaimana hukum pernikahan dalam Islam, dia bukan ahli fiqih atau sunnah, namun salah seorang ustadz yang ia kenal ketika mendengarkan safari ramadhan bulan lalu, menggunakan wali hakim juga bisa menjadi syarat sah dalam akad pernikahan. Ia terpaksa melakukan itu lantaran tak punya siapa-siapa kecuali: Wirya, kakak laki- lakinya yang berstatus tak jelas dan tak perlu diharapkan lagi kehadirannya dalam kehidupan Rei. Bahkan mungkin terkesan munafik bila Rei meniadakan nama tersebut―mana mungkin pria itu bersedia mengakuinya lagi sebagai adik setelah setahun lamanya menghilang tanpa jejak.
***
24 Oktober 2023, Pukul 09.05
Para tamu, saksi nikah, calon mertua dan penghulu―dia bukan penghulu yang seharusnya menikahkan mereka saat ini, kenapa ganti orang? Tapi itu tidak menjadi permasalahan, barangkali penghulu tersebut sudah tahu apa yang harus diperbuatnya untuk kedua mempelai tersebut. Mereka telah menunggunya di ruangan yang sudah tersusun rapi dengan bangku-bangku berhias kain putih. Para tetangganya telah berniat baik membantunya menghias ruang tamu rumahnya jadi seindah mungkin kemarin. Dan hal yang terpenting: calon suaminya telah ada di sana, duduk manis di depan penghulu dengan setelan jas dan kopiah hitam. Tak pernah Rei melihat pria tersebut setampan dan semempesona itu.
Namun, kekagumannya tak mampu mengalahkan ketercengangan Arya saat melihat pengantin wanitanya muncul dengan dandanan yang sungguh luar biasa cantik dan indah. Beno mendorongkan kursi rodanya, dan para tamu pun tersenyum bangga tatkala mempelainya melintas di antara mereka. Matanya berbinar cerah, bibirnya selaras dengan lesung pipi yang muncul saat Rei tersenyum penuh kecerahan. Tubuh eloknya terbalut apik oleh kebaya putih berhias payet-payet kemilauan. Bersinar gemerlap akibat pantulan cahaya yang turut memancarkan aura kegembiraan tak terhingga.
Subhanallah... gumam Arya dalam hati. Dia cantik sekali, benar- benar cantik. Dan dia―dia yang saat ini ada didekatku, akan menjadi istriku dalam waktu beberapa menit lagi. Menjadi milikku, wanita yang akan mendampingiku di sisa umurku.
Beno duduk dibelakang penghulu―bertatap muka dengan si mempelai pria yang sudah tak sabar untuk segera mengucapkan ijab qobul. Kedua orang tua Arya menyaksikan dengan degupan jantung yang sama gugupnya karena disertai dengan kekhawatiran mereka―mencemaskan anak bungsunya yang tak kunjung tiba hingga saat ini. Sedangkan penghulu telah bersiap-siap untuk membuat mukadimah seiring dengan kasak-kusuk para tamu yang mulai menunjukkan keheningan dalam khidmat.
"Mana wali dari mempelai wanitanya?" Rei langsung bingung ketika penghulu itu bertanya. Apa dia belum tahu? Pikirnya. Mereka semua pun terdiam, terlebih lagi Arya yang hanya bisa menyerahkan jawaban kepada calon istrinya.
"Apa Bapak belum tahu? Kalau saya tidak punya wali nikah, justru saya meminta pak penghulu yang Bapak gantikan untuk menjadi wali hakim saya."
Penghulu itu memasang wajah heran dengan kerutan dalam di dahinya. "Kebetulan beliau memang ada halangan mendadak, jadi beliau meminta saya untuk menggantikannya. Dan dia tidak mengatakan apa-apa tentang wali Anda."
Kedua pasang mata itu saling berpandangan. Ada kecemasan yang mulai hadir, Rei pun berusaha memberi pengertian. "Maaf, Pak. Saya sudah jelaskan sebelumnya bahwa saya tidak punya siapa-siapa lagi. Ayah saya sudah meninggal dan saya tidak punya sanak saudara."
"Loh? Lalu bagaimana saya bisa menikahkan kalian?"
Kasak- kusuk para tamu undangan mulai terdengar di belakang punggung mereka.
"Itu sebabnya kami minta Bapak untuk menjadi wali hakim di pernikahan ini," pinta Ari memohon.
Pernikahan ini menjadi sulit!
"Bagaimana mungkin Anda bisa menikah tanpa wali?" Kedua mempelai itu langsung memasang rupa bingung seperti terdakwa yang kena fitnah.
Bisik-bisik para tamu di belakang punggung mereka kian jelas terdengar. Calon mertua temanten wanita duduk dengan kegelisahan yang sulit dimengerti. Rei menatap mata penghulu itu lekat-lekat, andai saja ia bisa menghipnotisnya, pasti pernikahan ini akan menjadi lancar seketika. Padahal sudah dua hari yang lalu calon suaminya meminta penghulu untuk menyepakati pernikahan dengan menggunakan wali hakim. Tapi kenapa penghulu yang sebelumnya harus absen dan meminta orang lain untuk menggantikannya tanpa menceritakan terlebih dahulu seluk beluk calon pengantin. Yang ini benar- benar keras kepala, pikir Ari.
"Pernikahan ini tidak bisa diteruskan, saya tidak bisa menikahkan kalian tanpa ada wali yang sah dari mempelai wanita," katanya tetap bersikeras.
"Pak, calon istri saya ini tidak punya siapa-siapa, lalu harus bagaimana? Apa Bapak tega membiarkan kami tertekan dalam situasi seperti ini?" Ari menarik napas, menolehkan pandangannya ke arah Rei beberapa detik. "Kami saling mencintai. Tolong jangan mempersulit keadaan kami."
Penghulu itu menundukkan kepalanya lantas bangkit berdiri. "Maaf, Mas. Saya juga tidak bisa membiarkan kalian menikah dengan cara seperti ini. Tidak baik untuk rumah tangga kalian kelak."
Kini Arya ikut bangkit, disertai dengan orang-orang terdekatnya yang tak bisa membiarkan penghulu itu pergi begitu saja. Mereka membantu Arya untuk memberikan pengertian pada penghulu itu. Arya meraih tangan orang itu, memohon dengan sangat. Jika memang harus, saat ini pun Arya rela berlutut di kaki penghulu yang kini malah senang meliarkan matanya tepat ke arah perut Rei dengan pandangan tak mengenakkan. Tanpa bertanya pun, Rei tahu apa maksud tatapan itu.
"Tolong jangan berpikir yang macam-macam, Pak! Kami tidak mungkin melakukan perbuatan sekeji itu. Bapak harus percaya sama saya..." Suara Rei mulai tercekat.
Ia begitu khawatir, bagaimana jika penghulu itu tidak juga bersedia menikahkan mereka, bagaimana jika pernikahan ini batal. Kenapa ia harus mengalami kesulitan untuk bisa bahagia bersama orang yang ia cintai. Untuk meraih kebahagiaan saja ia harus melewati rintangan seberat ini. Apakah Allah belum menempatkan Arya sebagai jodoh untuknya? Itukah sebabnya halangan ini terjadi.
Sepasang mata indah itu mulai menitikkan air mata, ia bisa merasakan harapannya akan segera pupus. Sebab penghulu itu masih saja memasang ekspresi berat hati.
"Saya mohon, Pak. Apa bapak tega membiarkan kami hidup dalam hubungan yang seperti ini? Kami juga ingin bahagia seperti pasangan yang lain."
"Maaf, Mas. Berusahalah untuk mencari wali nikah yang sah terlebih dahulu, saya tidak yakin calon istrimu itu tidak punya siapa-siapa. Dan kalau memang dia tidak bisa menemukannya, barulah saya akan kembali dan menikahkan kalian berdua."
"Tapi, Pak!" Arya, Rei, dan Beno berusaha menghambat orang itu hampir bersamaan. Begitu juga dengan calon mertua Rei dan semua orang yang punya hubungan dekat dengan mereka tiba-tiba berbaik hati dan mau mengerti keadaan mereka. Ikut meributkan situasi rumit ini. Sedangkan Ari terus menahan tangan penghulu itu, berusaha mencegah agar dia tidak pergi.
"Pernikahan ini harus ditunda..."
Pernikahan...
Sebuah kata yang sedari dulu diimpikan pasangan muda itu kini tak jelas prosesnya. Rei tidak lagi memiliki orang tua, sanak saudara atau―saudara laki-laki? Ia tak akan pernah lupa kalau ia pernah punya saudara laki-laki yang telah berubah statusnya menjadi kandung. Dalam situasi sekarang ini, sangatlah tidak mungkin bila ia melibatkan pria itu. Satu tahun yang lalu, pria itulah yang membuat ia mengalami saat-saat peristiwa dramatis hingga menggulingkan posisi palsunya. Lalu, apalagi yang ia punya sekarang selain reputasi tak berharga.
Namun kini, detik-detik kebahagiaan yang sempat menghantui setiap sudut pikirannya tak lagi tahu ke mana arah akan berakhirnya. Rei hanya sanggup bersikap pasrah, ia memang tak punya apa-apa untuk dijadikan sebagai kekuatan demi mempertahankan semua ini. Ia hampir putus asa, kehilangan kemampuan berbicara, kemampuan untuk berpikir secara jernih dan logis, dan lagi- lagi―ia harus mengalami peristiwa dramatis untuk yang kesekian kalinya. Tanpa lelah. Sementara penghulu yang menjadi satu-satunya harapan mereka malah tetap berniat meninggalkan acara. Diselingi oleh hiruk pikuk omongan para tamu yang tak tahu apa-apa, menuding mereka dengan berbagai cemooh tak beralasan.
"Jangan ditunda, Pak!" Sebuah suara mendadak terdengar di telinga mereka dan meredam kasak-kusuk yang seketika bungkam. Pria itu bertubuh tinggi, kulit putihnya bercahaya akibat sorotan matahari. Ia tersenyum, berdiri di muka pintu.
"Mas Wirya?"
Rei terkejut setengah mati begitu menyadari lelaki tersebut hadir di depan matanya. Disusul dengan kemunculan seorang gadis bertubuh kurus―itu Ichi, ia juga tersenyum penuh keceriaan saat memasuki ruangan. Kemudian datang lagi seorang wanita. Wanita yang muncul dengan senyum berseri penuh kerinduan sedang memegangi perutnya yang buncit.
Dia hamil! Tebak Rei dalam hati. Wajah Rei yang tadinya bersimbah tangis kini menegang kaku sanking kagetnya. Ia tak pernah menyangka mereka akan datang, tak pernah terpikir sekalipun di benaknya kalau kedua kakaknya itu akan datang dan menemukan tempat persembunyiannya dengan cara seperti ini. Pasti Ichi yang membawa mereka turut serta, semua orang yang mengenalnya berpikir seperti itu.
"Rena!" Vivi membentangkan tangan dan langsung menghamburkan diri ke arah adiknya yang telah setahun menghilang. Vivi merangkulnya dengan air mata membanjiri kedua pipi. "Alhamdulillah, ya Allah... akhirnya Mbak nemuin kamu." Vivi semakin erat memeluk. "Maafin Mbak selama ini, Mbak terlalu bodoh dengan membiarkan kamu pergi gitu aja. Seharusnya Mbak mencegahmu waktu itu, Rei."
Dalam pandangan kabur akibat air mata, Rei bisa melihat Danu datang dan berdiri di samping Wirya. A mei juga ada di sana, menggandeng tangan Billy yang sudah terlihat semakin tinggi. Calon suaminya melihat Wirya dengan tatapan penuh terima kasih. Masih ada secercah harapan ternyata―Wirya pun segera mendekati penghulu, meminta agar pernikahan itu dilanjutkan.
"Lanjutkan pernikahannya, Pak. Saya adalah saudara laki-laki kandung dari mempelai wanita." Matanya beralih pada kedua wanita yang kini sudah saling melepas pelukan. "Saya, yang akan menikahkan adik saya Renata."
Ada pukulan menghujam jantung Rei hingga membuat seluruh darah di tubuhnya seakan menyendat begitu saja.
Saya yang akan menikahkan adik saya.
Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Wirya seolah menjadi kekuatan dahsyat yang memberikan energi luar biasa buatnya. Dalam waktu beberapa detik Rei sempat tercengang tak percaya. "Mas Wirya?" Bibirnya gemetar gugup. "Adik?" lirihnya.
Vivi meluruskan pandangan, mempertemukan kedua pasang mata yang basah. "Mas Wirya sudah memaafkanmu, Rei. Dia justru ingin meminta maaf karena sudah menyia-nyiakan kamu. Kami semua sangat menyesal, sayang."
Puluhan pasang mata memperhatikan peristiwa sedih itu. Sebagian dari mereka menangis. Kedua orang tua Ari dan adiknya menyaksikan mereka dengan penuh rasa haru disertai kebahagiaan. Rei mengeringkan air matanya dengan tisu, ia sudah tak tahu lagi bagaimana bentuk rupanya setelah riasan di wajahnya meluntur akibat air mata.
"Baiklah, sekarang semuanya sudah jelas," kata penghulu yang sudah meluluh itu. "Wali nikah dari mempelai wanitanya sudah ada, dan marilah kita mulai saja acara ini dengan harapan, semoga semuanya berjalan dengan lancar."
Aminnnn...semuanya mengucapkan secara serentak. Beno mempersilahkan Wirya duduk di sebelah kiri penghulu tepat di hadapan Arya yang sudah bersiap-siap setelah menarik napas kegugupan. Vivi, Danu, dan yang lainnya juga mengambil posisi duduk mereka di bangku-bangku yang telah disediakan. Sedangkan Rei, berusaha menenangkan dirinya sendiri untuk berhenti mengisak tangis yang belum juga mereda. Ia pun mengambil napas dalam-dalam sampai dadanya membusung kemudian mengeluarkan karbondioksida perlahan. Perasaan nyaman merangkul tubuhnya sedemikain rupa.
Sang penghulu memimpin acara dimulai dari pemeriksaan saksi-saksi, mas kawin, hingga kesiapan wali untuk mengijabkan hingga kesiapan mempelai pria untuk qobul, serta syarat rukun nikah yang telah terlengkapi dengan baik. Kemudian sang penghulu membacakan khutbah nikah dalam porsi yang tak terlalu lama, dan meminta salah seorang tokoh masyarakat untuk segera memimpin bacaan istighfar juga syahadat secara bersama-sama. Sesuai aba-aba dari penghulu, Wirya pun menjabat tangan Arya. Pria itu menggenggam tangan Arya tegas dan kuat, lalu mengucapkan kalimat ijab dengan lafal sempurna dan ketegasan penuh arti. Seolah berhasil mengirimkan sinyal keberanian pada Arya untuk menjawab ijab-nya dengan perasaan bernaluri lelaki.
Arya menarik napas gugup, matanya menyorot jelas pada tatapan Wirya. "Saya terima nikahnya, Renata binti Firman adik bapak untuk saya sendiri, dengan mas kawin yang telah disebutkan tadi, tunai."
"Bagaimana para saksi? Apakah sah?" Penghulu itu melemparkan tanya kepada para saksi yang kemudian menjawab SAH secara serentak dan keyakinan utuh.
"Alhamdulillah...!!!" semua orang yang hadir mengucapkan puji syukur atas terlewatnya proses ijab qobul yang menegangkan. Penghulu langsung membacakan doa dengan khidmat. Setelah itu semua orang tersenyum lebar.
Rei menyalim tangan pria yang kini telah resmi sebagai suaminya dengan penuh perasaan haru dan bahagia. Serta ciuman lembut di kening yang ia terima dari suaminya. Cahaya blitz dari kamera- kamera digital orang yang mengambil foto persis seperti paparazzi yang tak mau ketinggalan momen dalam bentuk seringai lebar senyuman.
Vivi kembali memeluk adiknya, semua orang mengerumuninya memberikan ucapan selamat sekaligus keterharuan mereka atas apa yang baru terjadi. Arya memeluk kedua orang tuanya yang menangis bahagia lantas memeluk abang iparnya dengan tangis kebahagiaan. Lalu membiarkan Wirya menghampiri Rei yang sedang sibuk meladeni orang-orang yang menyayanginya, melepas kerinduan sekaligus melontarkan kata maaf dengan air mata tak terbendung.
Mereka merumpun seolah membentuk sebuah panorama keajaiban. Ada senyum kegembiraan menyertai sisi ketulusan mereka. Rei merasakan kebahagiaan yang begitu sempurna saat ini, ia bahkan tak pernah bermimpi akan mengalami momen seperti ini. keadaan yang tadinya hancur terlontar ke sana kemari kini telah kembali utuh tanpa ada yang harus ditutupi. Tak akan ada lagi sandiwara kecuali sebuah kenyataan jujur, tak ada kekecewaan yang dulu pernah merajainya karena kini, semuanya akan hadir dalam wujud kelengkapan sebuah keluarga. Terjaga, bersama dengan ucapan rasa syukur pada Allah tanpa henti.
Arya bisa menyaksikan wajah istrinya kini dilumuri air mata kebahagiaan dan tersenyum tatkala menyadari bahwa ia yang sedang berdiri itu, memandangi wanita tersebut dengan senyum seindah malaikat. Tuhan telah membawanya dalam dunia baru yang lebih membahagiakan dan penuh cinta.
Lihatlah gadis kita, Zacky. Kini ia sudah dewasa, dan sekarang ia telah menjadi istriku! Terima kasih karena telah memintaku untuk menjaganya, aku bisa melihat, betapa sangat bahagiannya ia saat ini. Zacky, Aku telah menepati janjiku padamu. Dan aku, sampai kapan pun akan terus berusaha membuatnya selalu bahagia―sampai ajal memisahkan kami. Percayalah!
Rei tertawa lepas, tatkala tubuhnya kini telah berada di antara kedua tangan kekar sang suami dan memboyongnya dengan hasrat penuh cinta.
Yup, akhirnya HAPPY ENDING. Nggak nyangka bisa publish cerita ini sampai tamat. terima kasih sudah mengikuti cerita ini sampai selesai. Biar bikin Thorjid tambah semangat lagi, bolehlah kasih kesan dan pesan untuk cerita ini ------>
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro