43. Anugerah Tak Tertandingi
Setahun kemudian...
Aku pernah diberi kesempatan untuk hidup. Namun aku tak pernah tahu, apa arti hidup itu sebenarnya. Apakah menunggu keajaiban datang itu merupakan bagian dari mimpi daripada kehidupan? Impian yang sesungguhnya tak akan pernah muncul begitu saja tanpa keterlibatan orang yang dicintai. Masa-masa indah telah membantuku melupakan ketidakadilan dari takdir.
Ku hujat diriku sendiri ketika aku mengatai ― Tuhan tidak adil.
Manusia sepertiku tak pantas mengatakan hal semacam itu. Allah telah membuka mata hatiku, melepaskan dosa yang selama ini bercengkrama hebat di jiwaku tanpa mau mengalah. Dia telah membantuku untuk dapat berdiri sendiri pada batas kemampuanku. Menciptakan penopang yang lebih kuat dari apa pun yang pernah kumiliki sebelum ini. Puing-puing yang lama runtuh itu kini kembali kokoh bersamaan dengan kepercayaan. Cintaku pada pria itu adalah sebuah anugerah tak tertandingi. Meski aku hanya sebatang kara, meski aku bukan wanita sempurna. Namun, setiap cinta yang ia tumpahkan kepadaku, laksana penyembuh luka di batin. Dia tak pernah mengeluh ketika aku membuatnya kelelahan, menangis pun tak ada artinya lagi. Aku tak pernah tega menunjukkan wajah kesedihanku di hadapannya, sebab aku tak mau hatinya perih lantaran melihatku terpuruk.
Dengan segala macam kekuatan, aku selalu mencoba bangkit ketika rasa sakit menjejalkan kepedihan, ketika aku terperosok jauh ke dalam ketidakwajaran, saat mata-mata kepicingan memandangi setiap sudut diriku tak berdaya, aku mafhum. Lambat laun mereka pun bersikap bak malaikat penaung cinta. Di tempat asing yang tak pernah kukenal. Aku memperoleh makna lebih dalam di tempat ini. Tempat yang tadinya sungguh sangat asing bagiku.
Bersamanya, aku telah menemukan kehidupan baru. Aku tahu Arya sangat mencintaiku, sama seperti cintaku yang tak bisa melebihi apa pun. Segala kesedihan dan juga kepedihan masa lalu perlahan menghilang seiring dengan makna baru. Kini aku bisa merasakan kebahagiaan itu, utuh terjalin dalam fenomena kehidupan.
Riuh rendah mewarnai hari-hari kelabuku dulu. Aku tak pernah lagi merasakan itu. Saat ini aku berada pada bayangan maya sebuah mimpi. Mereka merangkulku dengan penuh keselarasan cinta, mengelilingiku dengan iringan tawa ceria, suara mungil tak teredam di telingaku. Sentuhan lembutnya menusuk setiap butir sanubariku, dia begitu sempurna di pangkuanku. Sang ayah menggendongnya dengan kedua tangannya yang kekar, memainkannya dengan penuh keistimewaan. Anak itu tak mau berhenti tertawa selama ibu dan ayahnya masih ada bersamanya. Aku mengambil anak itu dari tangan Arya, lalu memeluknya penuh kasih sayang. Wajah berseri polosnya seolah mengajakku untuk bermain, ia menarik tanganku, dan kami pun berlari bersama-sama di sebuah padang rumput hijau yang dikelilingi oleh bunga-bunga matahari mekar di pinggiran danau berkemilau.
Kehangatan mentari menyelimuti kabahagiaan kami. Si mungil terus menarikku, membawaku berlari di atas kedua kakiku sendiri tanpa lelah. Lantas aku menghadang langkah kakinya. Kuangkat tubuh kecilnya dengan kedua tanganku, wajahnya yang sangat indah menawan hampir membuatku tak bisa berkata apa-apa selain tersenyum. Aku dan Ari memeluknya penuh cinta, menjaganya dalam dekapan kebahagiaan. Aku terbuai kedalam bonanza tak terbatas. Suara tawa mungilnya menggelitik telingaku, aku pun tersenyum geli. Mereka membisikkanku sebuah kalimat penuh kelembutan. Hingga aku pun terbawa ke dalam wujud jelas kentara. Sesungguhnya aku tak rela membiarkan mereka pergi dari dekapanku, namun suara itu terus saja manggangguku―tak mau diam.
"Rei ... bangun, sayang." Ari berbisik tepat di telinga Rei. Perlahan-lahan Rei pun membuka mata dan mendapati dirinya kini ada di dalam kehidupan nyata.
Mana padang rumput itu? Mana bayi mungil itu?
Rei mengerjap-ngerjapkan kedua mata. Kenyataannya dia kini ada di atas ranjang empuknya, di dalam kamar dengan cahaya silau lantaran sinar matahari pagi yang masuk lewat jendela kaca. Sayangnya, masih tetap sama. Ia masih belum bisa merasakan apa pun dari kedua kakinya. Padahal, bisa berlari seperti di dalam mimpi tadi adalah sesuatu yang sangat didambakan.
"Selamat pagi, Sayang?!" Suara merdu Arya pertama kali menyapanya.
Ia bersyukur―lelaki yang sedang berada sangat dekat dengan wajahnya bukanlah mimpi, tapi kenyataan. Dia pasti membuka pintu dengan kunci cadangan dan kini Arya berlutut di samping ranjangnya, membelai rambutnya yang sedikit berantakan. Pakaiannya telah rapi dengan setelan kemeja hitam dan gaya rambut undercut. Tak ada lagi poni yang mengganggu matanya. Dan aroma parfumnya lagi-lagi menyeruak seperti bau embun di subuh hari.
"Pagi..." Rei balik menyapanya. "Kenapa harus membangunkanku? Gara-gara kamu mimpiku jadi rusak."
"Masa? Memangnya kamu mimpi apa?"
Rei merangkul leher Arya sembari tersenyum. "Aku memimpikan seorang bayi, dia mungil, dan benar-benar lucu. Kita berlari dan bermain bersamanya. Dan saat itu aku bisa merasakan, berlari di atas kedua kakiku."
"Berlari?" tanya Ari. Dan Rei pun mengangguk.
"Kita benar-benar bahagia, sangat bahagia." Rei bangkit dari tidurnya. Kini wajah mereka saling betatapan.
"Kamu tahukan? Mimpi itu sebentar lagi akan jadi kenyataan."
"Tapi enggak pada poin dimana aku berlari."
Arya meringis pelan. "Dan itu bukan masalah buatku. Yang penting aku bahagia bersamamu kelak. Kita tinggal dalam satu rumah, kucium keningmu setiap aku pergi kerja dan saat aku pulang kamu menyambutku dengan berbagai macam masakan lezat. Anak-anak bakal mengerubungi, dan kitamain sama-sama. Persis skaya mimpi kamu."
"Waw... itu impian paling menyenangkan yang pernah kudengar darimu, cowok sembrono."
"Hei! Jangan panggil calon suamimu kaya gitu." Arya berdiri tegak, memasang dasi warna merah bercorak bola-bola pada kerah bajunya.
Rei tertawa. "Aku cuma ingat satu julukan buatmu." Tangan kirinya mencoba meraih benda yang sudah terlalu akrab dengan tubuhnya. Dan dengan gerakan terbiasa cepat, Rei sudah berada di kursi rodanya. "Empat hari lagi kita menikah, dan kamu masih pergi ke kantor? Bukannya kamu udah cuti?"
"Aku mau beresin kerjaan. Cuma setengah hari aja kok." Ia mengibas-ibaskan pakaiannya yang telah tampak rapi. Sejenak Rei tertegun melihat penampilan tampan calon suaminya yang mempesona. Sungguh beruntungnya aku bisa memiliki pria seperti dia, gumamnya dalam hati. "Hari ini kamu nggak ke galeri?" tanya Ari. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.
"Mungkin nanti siang."
"Kalau kamu mau ke galeri telpon aja, aku pasti mengantarmu." Tangannya dengan cepat meraih tas kerja eiger yang semula tergeletak di kasur. Bibirnya meluncur tepat di guratan bekas luka kening gadis itu. "Oke, aku berangkat dulu. Assalamu'alaikum!"
Rei pun menjawab salamnya bersamaan dengan langkah Arya yang mendadak berhenti.
Arya memutar badannya. "Oh, iya! Aku udah siapin sarapan buat kamu di meja makan. Jangan bilang kamu nggak suka, oke? Bye... love u!"
"I love you too."
Detik itu juga, Arya menghilang dari pandangan. Rei mengikuti jejaknya untuk menghampiri meja makan. Senyumnya merekah penuh kebahagiaan ketika melihat dua buah roti gandum yang diolesi selai kacang bergambar smilley. Disampingnya ada sebuah kertas bertuliskan tangan Ari.
Sarapan sederhana untuk calon istri tercantikku.
Pada saat yang sama, Rei pun melesatkan senyum terlebar. Pagi ini, jadi terasa lebih indah dan menyenangkan. Nuansa kesederhanaan dapat ia temukan dari bilik rumah kontrakan. Ia tak pernah merasa sepi meskipun hanya tinggal seorang diri, karena ia punya tetangga yang selalu bermurah hati, para perempuan lajang yang bersahabat menemaninya di kala sore ataupun malam, pedagang kaki lima yang menunjukkan keramahtamahan mereka setiap kali berkeliling komplek, tawa canda anak-anak ketika bermain, membuat suasana perumahan sederhana jadi semewah real estate. Warga yang bertempat tinggal di bagian selatan kota Palembang itu telah menjadi salah satu bagian hidup Rei sejak Arya memutuskan untuk tidak tinggal di rumah kontrakan yang ditawarkan perusahaanya sebagai salah satu fasilitas bagi para pemegang jabatan penting. Sangat tak etis bila dia harus tinggal serumah dengan Rei yang belum berstatus apa pun. Maka Arya pun lebih memilih untuk mengalokasikan dana tunjangannya dan mencari kontrakan yang lebih sederhana. Selain lingkungannya yang aman dan strategis, Arya lebih mengutamakan permintaan Rei untuk tinggal di rumah yang tak jauh dari pusat perbelanjaan. Mereka pun tinggal bersebelahan.
Suatu hari Arya mengenalkan Rei pada salah seorang pria berusia empat puluhan. Mereka biasa memanggilnya dengan sebutan Beno. Seorang pria baik hati yang ia kenal di sebuah tempat tukang cukur. Seperti para pria pada umumnya, mereka suka sekali bila mengobrol dengan orang yang belum pernah mereka kenal. Membicarakan hal-hal yang sedang menjadi topik hangat di kalangan masyarakat. Seperti politik, bola kaki, wanita, dan juga pekerjaan. Ketika pembicaraan mereka menyudut kepada pekerjaan, Ari bercerita tentang bagaimana ia mengembangkan karier setelah tamat dari Universitas Sydney hingga ia mendapat posisi sebagai marketing manager di sebuah perusahaan teknologi. Dan ternyata, Beno menceritakan hal yang sangat membuat Ari terkagum. Darahnya bergejolak liar ketika mendengar pria itu bercerita mengenai profesinya sebagai seorang fotografer.
Arya langsung kepikiran Rei. Gadis itu pasti akan sangat senang jika berkenalan dengan seorang fotografer ahli seperti Beno. Yang namanya sudah sangat terkenal di Indonesia, dan memiliki sebuah galeri foto. Beruntungnya, galeri itu tak jauh jaraknya dari rumah kontrakan mereka. Beno banyak memuji hasil karya bidikan Rei yang lebih konsisten pada bidikkan terfokus. Dan sejak saat itu, Beno bersedia menerima Rei sebagai salah satu rekan kerja dan memperbolehkannya untuk menghiasi dinding galerinya dengan beberapa foto hasil karyanya. Rei terperangah, selama ini tak pernah terpikirkan olehnya bisa membangun semuanya dari nol. Sejak ia memutuskan untuk berpisah dari kehidupannya yang mewah, ia menjalani hidup seperti robot, mengikuti arus hidup seperlunya saja.
Namun kini, Rei punya studio sendiri dan dapat memperoleh keuntungan enam puluh persen untuk setiap fotonya yang terjual. Setidaknya, hasil pendapatannya lebih dari cukup untuk membayar kontrakan dan membayar satu orang asistennya.
Kali ini Rei baru bisa merasakan hidup yang sesungguhnya. Warna-warna dalam hidupnya tidak lagi kelabu suram. Ia tak perlu bersandiwara seperti yang pernah ia lakukan ketika hidup dengan kedua saudaranya. Menjadi sebatang kara ternyata tak sesulit yang ia bayangkan, semuanya jadi terasa menyenangkan apabila ada cinta dan keselarasan. Ia justru bersyukur akan segala peristiwa traumatis yang pernah dialami. Kalau bukan karena terbongkarnya rahasia besar itu, ia tak akan bisa hidup lebih dekat dengan Arya dan membangun sendiri karirnya dengan usaha kemandirian. Dan kalau bukan karena ia mesti berjuang, mungkin Rei masih menganggap dirinya hanya sebagai gadis cacat yang pesimis, malu, tak bahagia dan takut keluar rumah.
Tak ada lagi telepon dari tukang kartu kredit, tak ada lagi tabulasi angka-angka rumit yang hampir membuat isi kepalanya pecah, karyawan yang menjengkelkan, rapat penting yang membosankan, tetangga yang sombong, dan penglihatan sumpek lantaran mobil kotor dan tidak dicuci. Ia benar-benar menghapus identitasnya dulu sebagai Ema dan menghilangkan jejak dari benda apa pun yang berbau: Ema. Ia sadar bahwasannya masih ada kehidupan yang lebih normal yang masih bisa dijalaninya.
Satu tahun menjalani kehidupan bersama Arya.
Ia berharap, bilangan satu tahun berubah menjadi bilangan tak terhingga. Mereka akan membuat komitmen baru, yaitu sebuah keluarga. Dan empat hari lagi, mimpinya akan menjadi sebuah kenyataan.
----------------------------------
Huwaaa ... 1 bab lagi menuju Ending.
yang bilang cerita ini cepet banget tamatnya, total bab sampe 44 Masih dianggap sedikit kah? Hahaha padahal 1 bab rata-rata 1600 words, kurleb 70ribu kata loh, bisa lebih 300 halaman kalau dibukukan :D
tapi makasih sejauh ini yang udah ikutin TDP tunggu endingnya yah ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro