Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42. Ikut Bersamamu


Kedua tangannya tanpa lelah memutar roda meski terasa berat. Ia tk tahu ke mana arah dan tujuannya untuk menenangkan diri. Tak jauh di belakang, Ari berlari mengejarnya hingga berhasil mencapai.

"Ema!" teriaknya sembari menghadang laju gerak gadis itu.

"Jangan panggil aku dengan nama itu! Aku bukan Ema!" Suaranya menghentak keras mengejutkan.

"Oke... aku minta maaf. Aku nggak tau harus panggil kamu dengan nama apa?!"

Ada sesuatu yang tiba-tiba membelenggu Rei dalam kebisuan rintih. Lagi-lagi tangisannya mengisak, menelangsakan diri di hadapan Ari. Mereka menyudut mencari tempat yang baik untuk bicara meskipun cuma bisa berteduh di bawah pohon. Sejenak Ari membiarkan Rei menangis sendiri, ia belum berniat untuk bicara karena bisa saja itu malah membuat gadis itu tertekan dan melahirkan emosi kembali. Berharap agar angin bisa membawa kesedihannya, hangat matahari mengeringkan air matanya, dan udara menyumbangkan oksigen ke dalam paru-parunya yang menyesak.

Kedua makhluk itu seolah saling mengerti, tanpa tahu jalan keluar yang harus dibuat. Suara tangis terdengar sendu di telinga Ari.

"Buat apa kamu ada di sini? Pergilah, aku bukan Ema seperti yang kamu kenal selama ini."

Ari menghela napas, suara gadis itu terdengar lirih di telinganya.

"Ini memang nggak ada hubungannya denganku." Rei tak mau menatap mata kesungguhan itu. "Tapi aku tahu seperti apa orang di sampingku ini. Aku nggak peduli kamu sebagai apa. Bagiku kamu tetap sama."

"Aku ini penipu, Ri. Kamu tahu itu!"

"Udah kubilang aku nggak peduli kamu penipu atau siapa pun, karena aku nggak pernah merasa ditipu sama kamu." Ia mendapat tatapan masam dari Rei. "Lagipula, apa bedanya aku sama kamu? Aku juga pernah berpura-pura, membohongi semua orang. Aku dan kamu itu sama, dan aku sama sekali nggak punya masalah dengan semua itu."

Logikanya menahan asumsi bahwa―barangkali dia akan kehilangan segalanya, hancur sehanur-hancurnya. Tapi ternyata, pria itu sama sekali tak menyalahkannya, ataupun ikut menghujat seperti yang barusan ia diterima. Setidaknya, ia masih punya seseorang yang benar-benar bisa memahami dan memedulikannya. Ari bisa menganggap ia sebagai manusia tak bersalah.

"Enggak, aku nggak mau melibatkan kamu dalam masalahku. Kamu dengar kata mas Wirya tadi? Aku ini manusia terkutuk, nggak akan bisa bahagia. Kalau kamu dekat sama aku, bisa-bisa kamu juga menderita." Ia menangis lagi. Ari menyentuh wajahnya mencoba menghapus air mata menderas. Lalu memeluknya erat, memberi dekapan penuh arti pada gadis itu.

"Aku juga nggak menyangka mas Wirya bisa bicara sekasar itu sama kamu. Padahal kamu jugakan adiknya."

Rei menyibakkan beberapa helai rambutnya yang menutupi sebagian wajah basahnya. "Aku nggak punya siapa-siapa lagi, Ri... mereka nggak mungkin mau menerima aku sebagai bagian dari keluarga mereka."

Ia melepaskan dekapan, lalu menatap mata Rei penuh syahdu. "Hei, kamu masih punya aku. Aku akan selalu ada disamping kamu." Rei menggigit bibirnya yang bergetar. Tatapan mata pria itu semakin membuatnya tenang. "Ikutlah denganku, aku akan bawa kamu ke Palembang. Kita bisa hidup berdua di sana dan memulai hidup baru."

Rei tercenung mendengar tawaran Ari. Setiap kali dia ingin berkomentar, Ari melarangnya.

"Ari, aku nggak mau menyusahkanmu."

"Cuma ini jalan satu-satunya. Kamu harus ikut sama aku."

"Tapi, Ri..."

"Kamu nggak mau ketemu sama mereka, 'kan? Aku tahu, kamu pasti takut kalau sampai mereka menemukan tempat persembunyianmu." Ari bangkit berdiri dan masih memegang lengan kekasihnya. "Ayo! Kita pergi sekarang. Lebih cepat lebih baik."

Ada pemahaman seolah menelusup ke dalam pikiran Rei. Ia pun menghadiahkan satu pelukan lagi untuk Ari. Setelah itu, dengan seluruh keyakinan dan juga keharusan, Rei ikut dengannya. Ia memang harus pergi secepat mungkin dari kehidupan kedua kakaknya, agar bisa terbebas dari rasa bersalah yang bertubi-tubi. Mungkin ini adalah tindakan pecundang yang penakut, mencoba lari dari masalah rumit. Tapi menjadi pecundang adalah pilihan terakhirnya saat ini. Untuk menahan malu, menekan rasa kecemasan dan rasa sakit hati yang telah menelannya.

Dengan cepat, Ari menyetop sebuah taksi yang kebetulan lewat kemudian membawa Rei pergi dari tempat itu secepat mungkin. Sepanjang jalan, Ari selalu meyakinkan gadis itu. Memberi ketenangan sebisa mungkin agar kecemasannya hilang. Sedangkan rasa takut terus-terusan mengiringi setiap napasnya, khawatir kalau-kalau kedua kakaknya itu masih belum bisa terima atas perlakuannya selama ini lalu bisa saja mereka mencarinya untuk membuat suatu balasan, menjebloskannya ke dalam penjara, atau terjadi hal yang lebih buruk dari itu. Yaitu, mengasingkannya ke tempat terpencil.

Ya Tuhan, Rei tidak akan bisa membayangkan jika itu semua terjadi padanya. Ia sadar siapa dirinya, namun perlakuan seperti itu hanya akan membuatnya mati perlahan-lahan secara menyedihkan. Tentu saja itu tidak boleh terjadi, ketakutan seperti itu hanya akan membuat ia tidak bisa berpikir secara rasional.

Untung saja ada seseorang yang siap melindunginya, mengayominya dengan penuh kasih sayang. Ari menyertakan kalimat-kalimat yang selalu bisa membuat hati Rei lebih nyaman dan tentram. Di dalam taksi, Ari memesan tiket penerbangan daring. Syukurnya masih ada dua seat kosong untuk jadwal yang sama malam ini meski harga lebih mahal. Sesampainya di rumah Ari, langsung memberitahu mamanya dan Ichi mengenai keterdesakan yang harus mereka lakukan saat itu juga.

Ari begitu sibuk memasukkan baju-baju dan semua perlengkapannya kedalam koper. Ichi membantu Ari mengemasi barang-barangnya, bertanya apa saja yang perlu dibawa. Namun tetap saja kakaknya itu tidak memberi tahu maksud kepergian mereka yang sangat mendadak, padahal pesawat baru akan berangkat enam jam lagi.

"Arya sebenarnya ada apa sih? Kenapa kalian terburu-buru begitu?" Mamanya tiba-tiba masuk ke kamarnya dengan rasa penasaran. Sedangkan anaknya masih sangat sibuk memenuhi isi koper.

"Mama, kami harus pergi sekarang juga."

"Kami? Kami siapa?" Tanyanya berprasangka.

"Aku dan..." kalimatnya terputus, ia bingung harus menyebut gadis itu siapa. Mereka tentu belum tahu tentang insiden yang baru saja terjadi, dan ini bukanlah waktu yang tepat untuk menceritakan itu semua. Jadi Ari pikir, untuk sementara ia harus minta izin untuk memakai nama palsu gadis yang sedang duduk berdiam diri di ruang tengah dengan wajah masih sembab.

"Aku dan Ema. Dia akan ikut bersamaku."

Mamanya memasang wajah sedikit terkejut. Ini diluar dugaan, pikirnya.

"Kenapa?" tanyanya.

"Oke yang ini udah beres. Sekarang Ichi mau beresin beberapa baju buat kak Ema." Mamanya semakin heran setelah mendengar kalimat putrinya. Ichi hanya menuruti perintah kakak laki-lakinya itu dan pergi ke kamarnya untuk meminjamkan beberapa pakaian untuk Ema pakai beberapa hari di Palembang.

"Ma, kita bener-bener terdesak, aku belum bisa cerita semuanya sekarang. Nanti kalau keadaan udah agak membaik, aku janji bakal cerita ke Mama."

"Tapi Mama khawatir sama kamu, Arya!" Perempuan itu mendekati anaknya. Rupa kecemasan tergambar jelas di wajahnya.

"Kita bakal baik- baik aja, Mama gak usah khawatir, Arya cuma pesen satu sama Mama dan semua yang ada di rumah ini." Ari menatap mata mamanya lekat-lekat. Ini adalah hal yang sangat serius, pikirnya. "Jangan kasih tau siapa pun keberadaan kami. Siapa pun orangnya, mau itu keluarga Ema, temanku, atau siapa pun yang bertanya. Mama bisa 'kan?"

Mamanya diam tak menjawab, ia semakin bingung dengan sikap putranya ini. Dia pasti sedang dalam masalah besar, sampai-sampai dia tidak mau keberadaannya diketahui orang lain. Ada apa ini sebenarnya? Berbagai pertanyaan menggelantung di dalam hati Tiwi. Kegalauan muncul begitu saja, namun naluri seorang ibu meyakinkan bahwa ― putranya ini pasti bisa mengatasi masalah dengan caranya sendiri, ia sadar putranya sudah semakin dewasa, dia tentu sudah tahu dan bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Maka dari itu, ia pun mau tak mau harus merestui keputusan putranya dengan iringan doa dan juga kepercayaan. Arya tidak akan mungkin melakukan hal- hal di luar adab bersama wanitanya. Mereka pasti bisa menjaga diri.

"Mama! Tolong jawab. Bantu Arya... untuk kali ini aja. Arya mohon!"

Mamanya mengangguk teduh. Meremas bahu Ari lantas berkata, "Baik, mama janji nggak bakal kasih tau siapa pun. Asalkan, kalian bisa jaga diri kalian baik-baik di sana."

Ari menyunggingkan bibir, memeluk mamanya penuh rasa terima kasih. "Makasih, Ma... Arya janji nggak bakal macem-macem. Percaya sama Arya! Setelah sampai di Palembang dan semuanya tenang, Arya bakal certain yang sebenarnya sama kalian semua."

"Yah! Mama percaya sama kamu."

Langkah pertama telah selesai. Ari berhasil meyakinkan keluarganya untuk membawa Ema pergi bersamanya.

Ichi juga sudah mengemas beberapa pakaian untuk Rei, karena tak mungkin jika ia harus pergi dengan tangan kosong tanpa bekal selembar kain. Setelah selesai berpamitan, mereka pun pergi ke bandara hingga menunggu pesawat untuk take off.

***

Naluri saudara sedarah tak bisa terbantahkan meskipun aral membentang dan melepaskan tali yang sempat merekatkan suatu hubungan. Meski gejolak emosi membutakan mata hati, meski rasa sakit melemahkan akal dan pikiran. Vivi tak mau ada penyesalan di ujung tindakan. Berulang kali ia memaksa kakak laki-lakinya untuk mengalah dan meminta adiknya untuk kembali, namun laki- laki keras kepala itu tetap keukeuh pada pendirian. Dia terlanjur benci pada perempuan yang sudah tega membohonginya selama tujuh tahun. Tanpa mau menyadari―bahwa dia juga terlibat dalam umpan sandiwara Rei.

Setelah melalui perdebatan yang sangat sengit, Vivi pun mengalah, tak mau terlalu patuh pada perintah kakak laki-lakinya yang hanya bisa mengandalkan keegoisan tanpa pernah mau berpikir panjang tentang apa akibat dari sikap otoriternya. Ia memang pantas kecewa, namun bukan berarti dia harus kehilangan adik satu-satunya yang selama ini telah begitu banyak membawa dampak perubahan pada kehidupannya. Mana mungkin seorang kakak bisa setega itu membiarkan adiknya hidup sendiri dalam keadaan sulit. Akan tinggal di mana dia, dengan siapa dia minta bantuan tatkala kesulitan menimpanya, sedangkan ia tak punya siapa-siapa lagi didunia ini ditambah kondisi fisiknya yang serba terbatas. Dengan harapan dapat menemukan adiknya dan membawanya kembali, Vivi pun pergi mencari Rei seorang diri.

Ia memfokuskan pencariannya menuju ke kediaman Ari. Rei pasti ada bersamanya saat ini. Setelah tiba tepat di depan rumah laki-laki itu, Vivi mengetok pintu dengan tindakan gegas tak teratur. Terdengar sedikit kasar, Ichi pun membuka pintu itu dan menemukan Vivi muncul dengan nada ketegangan. Pertanyaannya yang bertubi-tubi tentang keberadaan pasangan itu tak membuahkan jawaban seperti yang ia inginkan, Ichi tetap saja tutup mulut tanpa bersedia memberi tahu keberadaan mereka. sama hal dengan dirinya sendiri yang tak mau menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Baginya itu merupakan aib keluarga yang tak boleh tercemar dan diketahui oleh orang lain.

Setelah melalui paksaan yang cukup membuat hati Ichi meluluh, akhirnya gadis itu memberi tahu ― hanya mengatakan bahwa saat ini kakak laki-laki dan wanitanya sedang ada di bandara untuk pergi keluar kota dan kemungkinan besar akan memakan waktu sangat lama untuk kembali tanpa menjelaskan ke mana tujuan mereka. Kemudian tanpa menunggu waktu lama, Vivi langsung melesatkan mobilnya menuju bandara. Ia berlari menelusuri lantai-lantai licin. Tubuhnya keras menerobos kerumunan orang yang sibuk membawa barang bawaan atau hanya sekedar datang mengantar. Sepasang matanya lihai benar menerawang setiap sudut gedung, namun ia tak juga menemukan dua sosok yang sedang diincar. Hingga napasnya terengah-engah tak terkendali, detik itu juga, Vivi kehilangan adik satu-satunya. Menyisakan penyesalan teramat sangat dalam. Merelakannya pun ia hampir tak bisa. Karena tangis, telah menyelimuti jiwa keresahaannya seiring dengan kepergian adiknya.

Bersambung


------------------------------------

Yeay, nggak terasa cerita ini  sebentar lagi ending. Siapa yang nggak sabar nunggu akhir ceritanya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro