Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Salah Orang


Bintang–bintang sudah kembali bersembunyi, berganti dengan matahari yang menyinari bumi dari ufuk timur. Kehangatannya sangatlah mendamaikan hati, tapi tidak untuk hati Rei.

Rasa lelah dan takutnya kini sudah menghilang. Keadaan tubuhnya sudah kembali normal, dan air matanya pun telah terkuras meski masih meninggalkan sembab di matanya.

Ia pun keluar dari persembunyian. Menatap langit biru indah terbentang luas di atas kepalanya. Ratusan kali ia mengucap syukur kepada Allah karena masih diberi kesempatan untuk hidup. Ia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika ia tewas terbunuh seperti Ema.

Langkahnya mengarah kembali ke rumah. Bau darah melekat pengat di jaket hitam milik Ema yang ia pakai tadi pagi. Perampok itu tidak mungkin masih bertahan di sana. Rei akan tiba di rumah dan mengungkapkan kebenaran, berharap seseorang menolong Ema dan membawanya ke Rumah sakit agar nyawanya tertolong. Tentu saja ia tak ingin paman dan bibinya pulang dengan menanggung kesedihan.

Lelah di kedua kakinya masih terasa. Ia tak sanggup lagi untuk berjalan cepat. Langkahnya diperlambat menelusuri jalan raya yang padat oleh kendaraan, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku jaket, sedangkan kepalanya tertunduk menghindari pancaran sinar matahari tepat di hadapannya

Sebuah mobil marcedes silver mengiringi langkahnya perlahan. Rei melihat mobil itu, merasa terganggu. Bukannya terus jalan, mobil itu malah berhenti di hadapannya, membuat langkah Rei terhalang. Tiba-tiba, seorang pria bertubuh tinggi berisi dan berkulit putih keluar dari dalam mobil tersebut, menghampiri Rei yang memandang penuh heran. Ia sama sekali tak mengenal lelaki itu.

"Ema!" Panggil pria itu dengan senyum tampan. "Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah. Akhirnya mas nemuin kamu, Ma. Mas cari-cari kamu satu maleman. Ngapain kamu di sini?"

Rei semakin bingung. Keningnya berkerut dan bibirnya setengah menganga mendengar kata-kata pria itu. Apa lagi ini? Pikirnya tidak menahu.

"Kita pulang sekarang, Ma. Kita semua cemasin kamu. Ayo!" Pria itu menarik lengan Rei dengan paksa, tetapi Rei justru menghempaskannya. Jelas saja, karena ia merasa pria ini pasti salah paham. Mungkin karena kemiripannya dengan Ema, pria ini jadi salah orang.

"Lepasin! Kamu ini siapa?."

Kali ini giliran pria itu yang bingung. "Kamu ini ngomong apa sih, Ma? Masa kamu lupa sama Mas Wirya?"

Mas Wirya? Rei ingat, Ema pernah cerita tentang kakak laki-lakinya yang biasa ia panggil Mas Wirya. Ternyata ini orangnya. Sayang sekali, dia salah orang.

"Ayo kita pulang, Ma. Mbak Vivi sangat mencemaskanmu." Mas Wirya memohon pada gadis yang ia yakini adalah adiknya.

"Tapi aku bukan Ema. Mas salah orang," ujar Rei berusaha meluruskan kesalahpahaman tersebut.

"Kamu ini ngaco! Kalau kamu bukan Ema jadi siapa? Setan? Kamu pikir Mas gak hapal muka adik sendiri apa?"

"Beneran, Mas... aku bukan Ema tapi Renata. Ema yang asli udah—" Kalimatnya terhenti, Wirya memotong kata-katanya.

"Udah apa?" Wirya menggelengkan kepala, adiknya semakin ngaco, pikirnya. "Jaket ini? Mas inget banget, inikan jaket yang Mas belikan dari Korea."

Rei menatap jaket yang ia kenakan. Ia lupa, benar- benar lupa kalau jaket ini milik Ema. Wajar saja jika Wirya mengenalnya dengan sangat baik. Rei juga mengeluarkan dompet dan ponsel dari dalam saku.

"Astaga! Bodoh banget, ih!" celetuknya dalam hati.

"Kamu mau mengelak apa lagi? Sekarang juga ikut Mas pulang, Ema. Ayo!" Wirya mengulurkan tangannya bermaksud mengajak Rei.

Rei bingung apa yang harus dikatakannya lagi. Apa pun yang diungkapkannya pria ini tetap tidak akan percaya. Karena dia begitu yakin kalau Rei adalah Ema.

"Ema itu adik, Mas?" tanyanya.

Jelas saja Wirya semakin tampak bingung dengan tingkah laku adiknya yang seperti orang amnesia. "Kenapa, sih?"

"Ema sudah meninggal, dia baru saja terbunuh sejam yang lalu di rumah aku. Dan sekarang kita harus pergi ke sana untuk melihat keadaanya."

Ada kerutan dalam di kening Wirya setelah mendengar pernyataan mengejutkan dari bibir seorang gadis yang notabene: adalah adiknya sendiri (sangkanya). Yang delapan belas jam lalu kabur dari rumah tanpa alasan yang jelas. Dan sekarang setelah ia menemukannya, adiknya malah bersikap seperti orang amnesia yang takut kena culik. Tentu saja ia tak percaya. Mempercayai kata-kata adiknya―yang menurutnya cuma alasan―sama saja dengan menipu dirinya sendiri dalam situasi yang tak dimengerti.

"Meninggal?" Wirya memasang wajah maklum.

"Bukan―bukan meninggal, barang kali sekarat. Tadi aku juga hampr di bunuh perampok itu, tapi aku berhasil kabur. Aku sempat lihat Ema tergeletak hampir tewas." Rei menarik tangan pria itu bermaksud membawanya ke tempat kejadian perkara, tapi Wirya menahannya, berusaha untuk tak bergerak dari tempat ia berdiri.

"Mas! Ayo! Adik Mas butuh bantuan di sana. Kalo gak kita bisa terlambat."

Orang yang dimaksud malah memandanginya penuh Tanya. Apa yang membuat adiknya jadi seperti ini? Apakah dia jatuh dan kepalanya membentur sesuatu? Apa dia salah makan? Mungkin saja ada orang yang berusaha mendukuninya sampai Ema mesti kabur dari rumah dan membuatnya hampir kehilangan setengah kewarasannya, sampai lupa pada kakak laki- lakinya sendiri. Wirya tetap tak mau bergerak sementara Rei berusaha membuatnya yakin dengan semua cerita tragis yang baru saja dipaparkan.

"Ema!" Wirya menggenggam tangan gadis itu. Membelai rambutnya yang basah lantaran keringat. "Mas nggak tau apa yang membuat kamu jadi kayak gini. Tapi kamu harus pulang, Dik. Kamu ceritakan apa yang mengganggumu. Mas pasti bakal bantu, jangan menyimpan rahasia yang bikin kamu jadi tertekan kayak gini."

"Tertekan?"

"Maksud, Mas―Mas nggak mau kamu jadi stress cuma gara-gara hal sepele."

Rei menepis tangan Wirya. Kini tampangnya berubah garang. "Mas menganggap aku gak waras? Mas pikir aku sakit jiwa? Aku ngomong yang sebenernya, ini tentang hidup dan mati adik Mas."

"Kita pulang, Ma―"

"Memangnya Mas nggak peduli lagi sama nasib Ema?"

Wirya merangkul tubuh Rei, menyeretnya seperti penculik di film Jackie Chan. "Mas peduli sama kamu! Itu makanya Mas harus bawa kamu pulang. Rumah adalah tempat yang paling aman, Ma."

Rei berusaha menahan diri, tapi ia tak cukup kuat untuk melawan tubuh kekar pria itu, ia terlalu lelah setelah berlarian dalam jarak yang lumayan jauh. Bahkan kakinya tak sanggup menopang beban tubuhnya sekedar untuk membuat tapak kokoh di atas bebatuan.

"Hei! Lepasin gue! Gue mau di bawa ke mana?" teriaknya. Ia tak punya daya apa- apa untuk melawan kecuali membiarkan Wirya memaksanya masuk ke dalam mobil dan menutup pintu dengan kasar lalu menguncinya dari luar. Dengan gerakan cepat Wirya membuka kuncinya lagi lalu masuk ke jok driver lantas melajukan mobilnya dengan injakan pedal gas penuh ketangguhan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro