39. Fakta Mengejutkan
Suara desis langkah kaki menyeret-nyeret pelataran rumah yang cukup megah itu. Seorang pria sambil menghisap rokoknya duduk di depan pintu pos satpam. Lagu koplo dari wireless speaker mininya sedikit menghibur kebosanan pada level volume yang lumayan keras.
Selang beberapa bait lagu, tanpa disadarinya ada dua orang pria dan wanita berdiri di depan pintu gerbang sambil mengetuk-ngetuk jeruji besi pagar.
"Mas! Permisi!" Pria berkemeja kelabu meneriaki Iman, berharap anak muda itu mendengar dan meladeni mereka. "Assalamu'alaikumm..."
Tak lama setelah itu, Iman merasa terusik saat menyadari adanya kehadiran orang lain di sekitarnya. Dilihatnya tampang asing di balik pintu besi itu. Penampilan mereka sangatlah biasa. Tidak seperti tamu lain yang biasanya datang dengan dandanan super rapi. Iman mengecilkan volume radionya, lalu berjalan santai menghampiri mereka. Iman membuka pintu gerbang dan menyisakan sedikit celah sebelum mengizinkan mereka masuk. Dia harus memastikan, bahwa kedua orang ini benar-benar aman dan layak dianggapsebagai tamu.
"Cari siapa, Pak?" tanyanya pada pria beruban itu.
"Eh ... Mas, saya mau ketemu sama pak Firman, dia yang punya rumah ini 'kan?" tanya pria tersebut.
Iman memamerkan ekspresi kecurigaan pada kedua orang tua lusuh di hadapannya. Untuk apa mereka cari-cari orang yang sudah jadi tanah di kuburan sana?
"Pak Firman? Beliau udah nggak ada, Pak! Udah meninggal lama buanget... hampir sepuluh tahun yang lalu."
"Udah meninggal?!" Mereka memekik seirama. Sedangkan Iman malah tertawa.
"Maaf, Pak ... Bu, mungkin salah alamat."
Kedua orang tersebut saling berbisik menerangkan kekecewaan. Namun tiba-tiba sebuah mobil sedan silver datang. Kedua orang tua itu menyingkir guna memberi jalan pada mobil yang kemudian masuk ke pelataran rumah setelah Iman membukakan pintu gerbangnya lebar-lebar.
Vivi keluar dari dalam mobil, kemudian datang menghampiri tamu asingnya dengan langkah memesona. Ia sadar, kedua orang tua itu memperhatikannya dengan tatapan penuh tanya juga keingintahuan. Tak lama kemudian Wirya pun turut memastikan setelah turun dari mobil dan menyuruh Billy untuk masuk ke dalam rumah. Vivi semakin dekat dengan mereka, semakin ingin tahu siapa mereka yang sedari tadi berdiri gugup tak berkutik. Hatinya menebak dan meyakinkan kalau kedua orang tua itu pasti orang yang datang uma untuk mengharapkan sedekah dari pemilik rumah.
"Siapa, Man?" tanyanya pada si penjaga rumah itu.
"Eee.. nggak tau, mbak. Katanya, mereka cari mendiang pak Firman."
Kening Vivi lekas mengerut. "Mendiang papa?" Pandangannya langsung mengarah pada sosok wanita bertubuh gumpal dan pria tinggi berusia sekitar lima puluhan.
"Maaf, Bu, Pak. Pak Firman sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Memangnya ada urusan apa, ya?" Keramah-tamahan Vivi mengundang senyum santun dari bibir mereka. Hingga tak ada rasa sungkan untuk bertanya lebih jauh.
"Tadinya kami mau bicara sesuatu yang sangat penting dengan pak Firman, tapi kami tidak tau kalau ternyata pak Firmannya sudah meninggal." Wanita tersebut memegang tangan suaminya, berharap agar dia mendapat bantuan berupa penjelasan. "Jadi gimana nih, Pak?"
"Ya mau gimana lagi? Kita tunjukkan saja fotonya." Mereka berdebat, dalam bisikkan yang malah membuat Vivi semakin bingung.
"Apa dia percaya?"
"Di coba sajalah..." Suaminya meyakinkan.
Dari belakang Vivi, Wirya pun datang, dengan keheranan yang sama seperti sang adik. "Siapa mereka, Vi?" Vivi menggelengkan kepala merasa aneh. Lantas melerai mereka untuk berhenti memperdebatkan sesuatu yang sama sekali tak mereka mengerti.
"Maaf, Pak? Sebenarnya ada apa?"
Kedua orang itu refleks mengunci mulut terdiam. Wanita tua itu memasukkan tangannya ke dalam kantong tas yang ia sandang sedari tadi, merogoh sampai ke dalam hingga berhasil mengeluarkan selembar foto berukuran postcard.
"Ini! Apa kalian kenal dengan gadis yang ada di foto ini?"
Vivi menangkap lembar foto itu kemudian Wirya turut melihat serta memastikan bahwa―tentu saja mereka kenal siapa orang yang ada di foto tersebut. Seorang anak perempuan yang kira-kira masih berumur lima belas tahun, yang tidak lain dan tidak bukan adalah adik mereka sendiri―Ema.
Seolah tak percaya, bagaimana mungkin kedua orang asing itu bisa punya foto Ema? Bahkan Vivi sendiri tidak pernah merasa punya hubungan keluarga dengan mereka.
Untuk menghilangkan prasangka curiga, Vivi pun bertanya. "Dari mana kalian dapat foto ini?"
"Ibu mengenalinya?" Wajah sang istri berubah semringah.
"Tentu saja saya kenal, dia adik saya," jawab Vivi.
"Benar, dia adik Ibu?" tanya wanita tersebut.
Vivi mengangguk tegas.
Pengakuan Vivi merupakan suatu berkah bagi mereka. Akhirnya, mereka bisa menemukan keluarga itu setelah bertahun-tahun berusaha mencari tahu. Setelah sekian lama menyimpan amanah yang tak kunjung meringan. Dan sekarang, dengan penuh rasa syukur akhirnya mereka bisa dengan leluasa menceritakan sebuah rahasia besar yang tak pernah diketahui oleh siapa pun sebelumnya.
"Tunggu! Sebenarnya kalian ini siapa, ya?" Nada suara Wirya merumit dalam getar prasangka buruk. Dia bisa merasakan, bahwa akan ada sesuatu yang tidak beres dengan kehadiran kedua orang tersebut.
Sang istri pun menyeringai lebar lantas mengulurkan tangannya bermaksud untuk memperkenalkan diri. "Kenalkan, nama saya Maria. Kami datang ke sini, untuk memberitahu sesuatu. Sebuah rahasia besar yang belum pernah terpikirkan oleh kalian."
Vivi dan Wirya saling bertukar pandang, seperti baru saja terhipnotis dengan kata-kata wanita itu.
###
Sedangkan di sisi yang lain, Rei berada pada situasi abstrak tak ketara. Usahanya hari ini berada di luar rencana. Ia tak berhasil menemui Ari, hanya untuk menyampaikan maksud tertentu. Rei sudah bersusah payah menerima kata maaf pria itu, setelah melalui pertimbangan dan juga kebimbangan yang lumayan rumit. Tapi setidaknya, bertemu dengan keluarga baru membuatnya sedikit lega. Ia yakin beberapa saat lagi, Ari pasti akan datang mencarinya. Dan di saat itu, akan ada waktu yang tepat untuk berbicara tentang hal yang sejujurnya. Tentang hal yang selalu menjadi topik pembicaraan para insan muda ketika sedang berdua atau bertatap muka. Lelucon lucu, rayuan gombal berkarismatik, kalimat-kalimat manis menggairahkan, atau topik mengenai masa depan―akan menjadi apa suatu saat nanti, angan-angan untuk memiliki rumah tipe naturalistik maupun minimalis, tinggal di lingkungan yang nyaman dan menyenangkan, hingga rencana untuk memiliki buah hati. Pasti akan sangat menyenangkan apabila itu semua bisa terwujud. Semua wanita suka dengan hal berbau kebahagiaan akan sebuah keluarga. Belum terpikir sama sekali untuk itu di benak Rei. Namun, tak ada salahnya apabila ia menyiapkan diri untuk sesuatu yang bisa saja terjadi di luar rencana.
Senyumnya teriringi dengan suara merdu Rony Parulian dalam lagunya yang berjudul Sepenuh Hati. Rei mendengarkan sambil sesekali mengikuti lirik sampai berberat hati untuk keluar dari dalam mobil meskipun Udin telah menghentikan injakan gas mobilnya pada pemberhentian halaman samping rumahnya.
Lagu itu mendadak mati. Jari Udin baru saja mampir di tombol power Mp3 player mobil.
Jika dia memang mencintaiku, dia pasti akan datang. Teguhnya dalam hati.
Lantas ia pun membuka pintu mobil, Udin mengambil kursi rodanya di jok belakang kemudian memasangnya dengan gerakan cepat dan terlatih hingga kursi rodanya siap untuk disinggahi, tas tangannya ia sangkutkan di gagang pendorong dengan hati-hati berusaha agar kamera Nikon di dalamnya tidak membentur. Rei masuk dari pintu samping seperti biasanya karena tak ada anak tangga di sana. Tentunya, ia sudah tak sabar untuk bercerita dengan Vivi, tentang bagaimana mamanya Ari mengangis dan memeluknya sangat erat ketika ia datang dan mengatakan bahwa ia telah memaafkan semua kesalahan masa lalu tante Tiwi. Perempuan yang cukup andil dalam sebagian kesengsaraan hidupnya. Vivi pasti akan sangat terharu mendengarnya, dan tak akan mau pergi dari samping Rei sebelum adiknya itu selesai bercerita.
"Saya tahu kalian nggak semudah itu percaya, tapi ini adalah kenyataannya."
Tangannya mendadak mengerem roda tatkala ia mendengar suara orang berbincang. Matanya melihat dua sosok tak asing sedang duduk di ruang tamu bersama Vivi dan Wirya. Obrolan mereka terdengar sangat serius seperti akan membentuk sebuah diplomasi penting.
Di balik tembok penyekat yang memisahkan antara ruang tamu dan pintu samping, Rei memperhatikan sekali lagi dengan seksama kehadiran tamu tersebut. Ia mendengarkan suara familiar mereka, suara yang masih terekam jelas di otaknya, juga wajah... wajah tua renta itu. Orang yang pernah merawatnya sedari kecil, menghidupi dan juga menyekolahkannya seperti anak sendiri. Orang, yang pernah Rei anggap sebagai orang tua sekaligus keluarga satu-satunya. Orang yang telah dikhianatinya selama tujuh tahun tanpa ada ucapan terima kasih. Dan sekarang mereka ada di sini, tepat di depan matanya. Duduk bersama dengan kedua saudara palsunya.
Jantung Rei mendadak seperti terserang penyakit akut. Mendesir hebat seperti cucuran air terjun. Barisan tentara iblis seolah mengekang dan menahannya untuk tidak bergerak dari posisi itu. Melayangkan permukaan penuh tanya, bagaimana mereka bisa ada di sini, dan apa yang mereka bicarakan di kejauhan sana. Setelah bertahun-tahun lamanya, bagaimana mungkin mereka bisa menemukannya di tempat ini? Rei sama sekali tak menyangka akan kejutan semacam ini, atau jangan-jangan ini adalah akhir dari segalanya. Akhir dari episode yang selama ini memerangkapnya dalam lakon tak bertuah. Hari ini, dan jam ini juga, pasti semuanya akan sangat murka. Apakah mungkin ia akan mengalami kehancuran sesaat lagi?
Terang saja si Ema gadungan tak berani menampakkan diri di tengah-tengah mereka. Bagaimana kalau Maria dan Munar datang untuk membongkar semua pemalsuannya yang barangkali saja sudah diketahui. Dan sekarang mereka datang untuk mencari kebenaran, atau mungkin saja untuk mengungkapkan kejanggalan selama ini.
Rei menepis sesaat pikiran tersebut, untungnya tembok bisu di sampingnya itu berkenan untuk menghantarkan gelombang suara ke telinganya.
"Saya yakin kalian pernah ingat dengan teman Firman yang berkebangsaan Irlandia, namanya Ahmad Rhevan. Seorang pengusaha sukses dan kaya. Dulu beliau sangat akrab dengan papa kalian."
"Ahmad Rhevan?" Wirya mencoba mengingat, membongkar-bongkar memori di otaknya hingga dia menemukan sebuah titik terang. "Saya ingat!" Adik perempuan di sebelahnya terperangah. "Vivi kamu pasti ingat, dulu om Rhevan yang paling suka ajak kita keluar jalan-jalan pakai mobil. Karena dulu kita itu nggak pernah tau gimana rasanya naik mobil."
Kini Vivi mulai mendapat gambaran yang jelas. "Iya... aku ingat, Om Rhevan. Dulu istrinya sering mengajak kita untuk menginap di rumahnya yang mewah. Dia suka anak-anak, tapi setelah lima tahun pernikahannya mereka belum juga dikaruniai anak."
"Yah... kami ingat orang yang Ibu maksud. Lalu... apa hubungannya dengan kami?"
"Papa kalian terlibat banyak hutang dengannya, sangat banyak sampai dia tidak sanggup untuk membayarnya. Kemudian Rhevan menawarkan cara lain supaya Firman bisa bebas dari semua hutangnya. Dia minta, agar orang tua kalian bersedia menyerahkan anak yang ada dikandungan ibu kalian ketika lahir nanti, untuk memberikan anak itu kepada istrinya yang sudah bertahun-tahun tidak bisa hamil."
Wajah Vivi tampak terkejut. "Lalu, apa papa kami setuju?" Wanita itu mengangguk.
"Dia tidak punya cara lain untuk itu, mereka terpaksa memenuhi permintaan Rhevan karena mereka tak punya apa-apa lagi untuk melunasi semua hutang mereka."
Lelaki bernama Munar di sampingnya kini ikut bercerita. "Namun ketika sampai pada saat yang ditunggu-tunggu, sesuatu terjadi di luar dugaan. Pada saat adik kalian lahir, untungnya Firman tidak harus kehilangan bayinya. Karena ibu kalian, ternyata melahirkan anak perempuan kembar identik. Jadi Firman hanya perlu menyerahkan si adik pada Rhevan dengan syarat dan perjanjian agar kedua anak itu tidak akan pernah saling bertemu dan harus merahasiakan semua itu dari siapa pun. Untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, yaitu pertemuan antara saudara kembar yang selama ini terpisahkan."
Rei terkejut, seluruh ototnya seolah menegang. Dia tidak sedang bermimpi ataupun berhalusinasi, tapi semua yang didengarnya barusan adalah sebuah pengakuan mengejutkan.
Saudara kembar? Mustahil!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro