Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. Pengakuan Terbesar Ari

Akhirnya Ari sampai di depan rumah Grace setelah Rei memintanya untuk datang. Ari turun dari mobil hummer hitam tepat ketika Grace datang menyambutnya dengan tatapan penuh tanya. Diperhatikannya baik-baik siapa orang yang baru saja keluar dari mobil mewah tersebut. Meski penampilan Ari tidak sekasual seperti biasanya, Grace tetap memuji penampilannya yang sangat tampan hari ini.

"Ganteng banget lo, wah wah wah ..." puji Grace. "Gitu dong kalau mau nemuin pacar mesti ganteng." Mereka tertawa bersama sedangkan Ari hanya senyum-senyum. "Mobil lo ini? Keren banget."

"Enggak, ini punya bos," jawabnya bohong.

"Aminin aja, Ri... siapa tahu lo bisa punya mobil mahal begini oneday."

Ari menanggapi sekadar. Tanpa basa-basi lagi, Grace mempersilakan Ari masuk dan mengantarnya ke beranda belakang tempat di mana yang lain sedang berkumpul. Seperti halnya Grace saat pertama kali melihat Ari, Rei, Senja, dan Sarah juga hampir pangling melihat dandanan Ari yang seperti eksekutif muda.

"Ari?" sapa Rei. "Lo jadi supir sekarang? Kerja sama siapa?" Ari sedikit ingin tertawa. Memang tidak heran jika mereka menyangka Ari seperti itu.

"Mari gabung, Ri." Sarah menawarkan. Dan Ari pun duduk di kursi sebelah Rei.

Tiupan angin menyebarkan aroma parfum Ari. Senja sempat melirik, sedikit tergoda dengan aroma yang sangat disukainya.

Grace bangkit dari posisinya semula bermaksud memberi ruang untuk mereka bisa bicara berdua. "Mmmm... Ma! Kita tinggal dulu, ya? Mungkin kalian mau ngomong berdua." Ia tersenyum lantas mengajak Sarah dan Senja hengkang dari pertapaan mereka.

Tinggallah Ari dan Rei berdua dalam suasana canggung. Hening selama beberapa detik. Ari yang dengan kegelisahannya mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Ia memandangi seraut wajah pucat gadis di hadapannya.

"Lo kelihatan pucet, lagi sakit?" tanya Ari pada Rei yang sejak tadi memijit-mijit kening.

"Cuma pusing dikit, biasalah." Rei kembali memperhatikan setelan Ari yang begitu rapi tak sekasual biasanya. Cowok itu terlihat lebih tampan, Rei tidak bisa memungkiri hal itu. "Seriusan beda bangetdandanan lo?"

"Kelihatan lebih ganteng?"

"Yahh... lumayanlah dari pada yang biasa." Rei tertawa kecil. Kemudian suasana kembali canggung. Ditambah dengan pusing di kepala Rei yang semakin mendenyut. Namun ia berusaha untuk tampak baik-baik saja.

"Katanya mau ngomong sesuatu? Ngomong apa?" Suara Ari menggugah ketertundukan Rei.

"Oh iya!" Lagi- lagi Rei tertawa kecil untuk menghilangkan grogi. "Mmmm... Ri, maaf sebelumnya kalau gue mempertanyakan hal ini. Mungkin lo bakal sedikit tersinggung."

"Kenapa?" Tanya Ari berusaha bersikap netral. Meskipun dia tahu pertanyaan macam apa yang akan dilontarkan Rei.

"Ini soal kado yang kemaren lo kasih ke gue," ujarnya hati- hati.

"Memangnya kenapa? Lo nggak suka?"

"Bukan, gue suka kok," pujinya.

"Oke, so?"

"Gue cuma mau tahu, lo dapat syal itu dari mana?"

Ini dia pertanyaan yang mulai membuat Ari berdebar.

"Syal ituu... mmm..."

"Karena jujur. Syal itu bikin gue ingat sama Zacky." Ia menundukkan kepalanya sambil memperhatikan corak garis-garis celananya. "Dulu sebelum gue kecelakaan, Zacky pernah janji untuk nemenin gue beli syal yang persis kaya gitu karena gue suka syal yang dia beli buat adiknya. Gue jadi kepingin. Tapi... karena peristiwa tragis itu, gue jadi lupa soal syal. Dan sama sekali gak nyangka kalau itu adalah pertemuan terakhir gue sama Zacky."

Ari sejenak tak berkomentar karena memang belum saatnya dia menjawab secara jujur.

"Sorry, lagi-lagi gue sok melankonis." Dedaunan berhamburan dari dahan pohon rambutan samping rumah Grace. Beberapa lembar daun mendarat di lantai tak jauh dari kaki Ari. Sore, mulai terasa hawa panasnya menghilang. Tinggal menunggu awan di atas langit menjadi kelabu. Menandakan bahwa hujan akan segera menerjun.

"Ema, maaf kalau gue bikin lo teringat lagi. Tapi beneran, gue nggak punya maksud begitu."

"Yah, gue ngerti. Mungkin ini semua cuma kebetulan aja, iya kan?" Rei melihat ada sikap yang tak biasa dari wajah Ari. Seolah ia tahu, sesuatu sedang disembunyikan pria itu. "Ari, lo kenapa? Nggak biasanya sikap lo canggung kaya giini. Biasanya lo cengengesan... cekikikan... tapi, kali ini kok beda? Atau jangan-jangan lo memang tahu sesuatu tentang syal itu?"

Ari menatap Rei lembut. Perasaannya gamang. Sungguh dia tak sanggup mengeluarkan kata- kata itu.

"Iya, aku tahu."

Pengakuan singkat itu membuat Rei sedikit terperanjat. Rasa penasarannya semakin membuncah. "Hah? Lo tahu?" tanyanya. "Gimana maksud lo?"

Tangannya tergenggam kuat. Ari punya sedikit rencana agar semuanya bisa menjadi lebih jelas. "Iya. Gue tahu tentang semuanya."

"Maksud lo apa, Ri?" Ema membuat sebuah friksi.

"Gue bakal ceritakan semuanya ke lo. Tapi nggak di sini. Gue mau ajak lo ke suatu tempat."

Rei semakin bingung, menaikkan bahunya tanda tanya. "Kenapa nggak di sini aja?"

Ari bangkit. Sedikit menundukkan kepalanya lantaran wajahnya lebih tinggi dari Rei. "Ini penting, Ma. Lo harus tahu sesuatu. Gue juga mau ajak yang lainnya untuk ikut." Dia mengambil langkah. Namun, tiba- tiba Rei menahan lengannya dan menatapnya penuh curiga.

"Ada apa sebenarnya, Ri?"

Orang yang ditanyanya tak menjawab. Hanya bisa menatapnya pilu dan seperlahan mungkin menepis tangan Rei kemudian masuk ke dalam rumah.

###

Suasana sedikit canggung secara serentak. Sesekali Grace, Sarah, dan Senja berbisik sunyi di jok belakang, berusaha agar kedua makhluk aneh itu tidak mendengar percakapan mereka. Sepanjang perjalanan Ari hanya bisa membisu. Setiap kali mereka menanyakan maksud tertentunya, ia hanya menjawab seadanya tanpa mau memberi petunjuk.

Hiruk pikuk jalanan semakin membuat rasa pusing di kepala Rei menekan. Ia hanya sanggup diam, sesekali memijit keningnya agar rasa sakitnya sedikit berkurang. Ia mencuri-curi pandangan ke arah Ari yang sedang serius menyetir di jok kemudi tanpa tahu bahwa sebenarnya pria tersebut sedang mempersiapkan diri merangkai kalimat tepat.

Tak lama kemudian sampailah mereka di tempat yang harus diketahui Rei. Ari menghentikan mobil tepat di depan area pemakaman dan hal itu pun mengundang pertanyaan dari Rei dan yang lain.

"Kok berhenti, Ri? Mobilnya kenapa?" tanya Rei. Dipandanginya area makam yang terletak di sisi kiri.

"Lo mau ngajak jalan kita ke kuburan? Gak salah?" sambung Senja.

Ari hanya diam. Kedua tangannya kuat menggenggam setir.

"Ari! Kok diem aja? Ada apa?" Rei menatapnya khawatir pria yang tampak seperti kerasukan makhluk halus.

Segala pertanyaan mereka seolah menjadi duri. Bibirnya ingin berujar, namun kaku bersamaan. Keringat di keningnya semakin menimbulkan butir-butir air.

"Aku keluar sebentar. Mau cari minuman, kalian pasti haus." Ari tersenyum kaku, lantas membuka pintu mobil dan keluar untuk pergi ke sebuah warung kecil pinggir jalan. Napasnya sedikit tak teratur lantaran gugup. Ia benar-benar tak sanggup untuk berkata-kata. Tapi walau bagaimanapun, ia harus bisa mengatakan tentang apa yang terjadi sesungguhnya.

Sementara itu, Rei dan yang lainnya menunggu. Namun, tiba-tiba ponsel Ari yang tergeletak di dasbor berdering nyaring. Rei meraih ponsel itu dan seketika itu juga wajahnya berubah terkejut. Matanya tak mau lepas dari layar ponsel. Ada nama beserta foto wajah tak asing terpampang di layar

"Siapa, Ma?" tanya Grace ingin tahu.

Ia menatap Grace kaku, kemudian mengucapkan sebuah nama. "Ichi..."

"Ichi?" Ketiga orang itu bertanya serentak.

"Ichi adiknya Zacky itu?" tanya Senja disusul dengan anggukan dari Rei. "Ya udah, angkat aja. Biar kita tau, ada hubungan apa sebenarnya Ari dengan Ichi."

Ponsel di tangannya masih terus berdering, dan dengan perasaan penuh tanya juga tanpa ragu, Rei menekan tombol answer tanpa menyapa hallo.

"Hallo, kak Arya? Gimana?" tanya perempuan itu dengan nada penasaran yang tinggi. Rei mencoba mengingat sebuah nama yang barusan di sebut-sebut oleh sang penelpon, dan tanpa sadar ingatannya melesat pada seseorang yang belum pernah ia kenal sebelumnya namun familiar di telinga. Nama Arya―siapa dia? pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan dengan cepat. Namun untuk sementara, Rei hanya akan mendengarkan semua kata- kata gadis itu.

"Udah ceritain semuanya ke kak Ema? Gimana reaksinya?"

Mata Ema mendadak bundar. Sama sekali tak mengerti dengan arah pembicaraan Ichi yang tiba-tiba saja melemparkan namanya pada situasi penuh tanya ini. Prasangkanya semakin menajam pada angka kecurigaan. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan Ari selama ini. Tapi apa?

"Hallo! Kak Arya? Kenapa diam? Jawab dong... ya udah deh, entar Ichi tunggu kakak cerita di rumah aja."

Menyadari pertanyaannya tak terjawab, sang penelpon pun menyudahi. Rei terdiam, memasang muka dengan pandangan memicing ketika Ari masuk ke dalam mobil membawa lima kaleng soft drink di tangannya. Rasa heran yang sama terjadi pada Ari yang baru saja melihat ponselnya berada di tangan Rei.

"Ada apa?" tanyanya. Ia melenggangkan pandangan pada keempat wanita yang menampakkan wajah penuh kecurigaan. "Siapa yang telpon?" Ari mengambil alih ponselnya dan mendadak bisu ketika memeriksa history call.

"Ada hubungan apa lo sama Ichi?" Rei berusaha bersikap netral meskipun hatinya sedikit kecewa.

Bukan saatnya membisu di saat seperti ini, Ari menarik napas panjang. Jantungnya memompa darah lebih kencang dari biasanya. Aura di antara mereka seolah-olah mengelabu. Memaksanya untuk mengungkap sebuah kenyataan.

"Oke, gua bakal jelasain. Sebenarnya gue nggak mau kasih tau lo dan kalian bertiga dengan cara seperti ini. Tapi... gimana pun gue harus terus terang kalian semua."

Rei beserta yang lainnya mengernyitkan dahi. "Terus terang apa?"

Ari menunduk seakan dirinya paling bersalah lalu berkata, "Gue capek, gue capek harus berbohong terus sama lo. Gue mau berhenti dari semua omong kosong ini."

"Ari sandiwara kita belum selesai. Lo ingetkan perjanjiannya?" Rei mengingatkan.

"Bukan masalah itu, Ma." Kali ini Ari berani menatap mata Rei.

"Lalu apa? Apa lo punya hubungan khusus dengan Ichi? Lo kenal sama dia?" desak Rei diikuti oleh Grace yang turut mendesak.

"Hei... hei... ada apa ini? Kenapa kalian malah berantem? Sebenernya ada apa sih?" Grace melerai.

Ya ampunnn... kenapa sulit sekali untuk mengatakannya. Lidahku keluh. Aku benar- benar takut, kenapa aku harus menghadapi hal seperti ini. Gumam Ari dalam hati. Pikirannya benar-benar kacau di saat seperti ini. "Ema, gu ...gue ... sebenarnya gue ..." Oh ya ampun. Ari benar- benar tidak sanggup. Diambilnya dompet dari saku celana kemudian menyerahkannya pada Rei dengan tangan gemetar. "Ini. Kamu lihat identitasku."

Diraihnya dompet kulit crocodile dari tangan Ari. Penuh rasa curiga Rei pun membukanya. Ketiga sahabatnya mengintip dari belakang. Rei menemukan jajaran kartu kredit dan visa juga ATM, SIM card, dan ketika ia membaca KTP, melihat foto persis wajah Ari, matanya membelalak bundar.

"Arya Lukman Ibrahim?" Ari mendapat hadiah tikaman tajam dari wajah terkejut. Beberapa pasang mata menatapnya kaget.

"Kamu?" Rei gugup. Wajahnya yang sakit semakin tampak pucat.

"Benar! Gue adalah Arya. Kakak laki-laki dari orang yang sangat lo benci!"

Hentakkan suara itu menghujam jantung Rei. KTP yang tadi terpegang jatuh. Tangannya tergenggam dalam getar. Ada terkaman kuat menggugah jantungnya. Tak menyangka atas pengakuan laki- laki dihadapannya. Dia yang selama ini terlihat sempurna ternyata mempermainkannya sedemikian rupa. Hati nuraninya ingin sekali menyangkal bahwa ini semua: mustahil.

"Selama ini lo bohong?" Air mata itu mengusik ketegasan Ari. Hatinya seolah hancur. Dia paling tak tega melihat gadis itu menangis.

"Ema ..." Tangannya mencoba menyentuh jemari Rei, tapi tertepis kasar oleh jemari Rei.

"Jadi semua ini Cuma permainan? Kenapa lo melakukan ini, Ri? Apa belum cukup adik lo nyakitin gue? Dan sekarang elo!" Teriakan itu membuat Ari semakin bersalah.

"Kenapa lo nggak jujur aja sama Ema, Ri?" Grace ikut campur.

"Bukan maksud gue untuk nyakitin lo, Ma. Gue harus melakukan ini karena permintaan terakhir Zacky."

Grace dan yang lainnya bisa menebak, apa yang akan dikatakan orang ini. Ari pasti akan mengatakan semuanya tentang Zacky, tentang sandiwara mereka juga. Dan semuanya bakal hancur.

"Permintaan Zacky?" Rei semakin bingung.

"Benar! Zacky yang minta gue untuk bikin lo bahagia sebelum dia men..."

"Ari!!!" Grace menyela. Berusaha mencegah kalimat tabu Ari.

"Kenapa, Grace? Sudah terlalu lama kalian menyimpan rahasia ini. Cepat atau lambat Ema harus tahu yang sebenarnya."

"Ari, lo bener-bener keterlaluan!" Grace mendekatkan wajahnya di jok depan hendak r menampar lelaki itu.

"Ada apa ini?" Rei memandangi mereka satu per satu meminta penjelasan."Apa sebenarnya yang kalian sembunyiin dari gue?"

"Jangan, Ri!" Senja memohon.

Rei kembali menangis. Kekecewaan di dalam hatinya menjadi-jadi. "Tolong jelasin semuanya ke gue Ri. Ada apa sebenarnya."

Dia harus mengatakan semua ini. Haruss! Ari tak ingin orang yang disayanginya harus hidup dalam sandiwara konyol seperti ini. Ema harus tahu semuanya. Agar tak ada lagi kebohongan pahit di antara mereka.

Dipandanginya wajah berlumur air mata itu. Dengan intonasi lembut yang penuh kasih sayang, Ari pun mengungkapkan yang sebenarnya. "Zacky yang selama ini lo anggap laki-laki bajingan, sebenarnya... adikku itu sudah meninggal sejak empat tahun yang lalu."

Kedua tangan Rei refleks menutup mulut. "Nggak mungkin," sangkalnya. "Ini nggak mungkin. Kalian semua pasti bercanda. Mana mungkin Zacky meninggal. Selama ini dia cuma pergi 'kan?"

Grace tak bisa berkata apa-apa. Sekarang semuanya hancur. Berantakan tak keruan. Tak ada yang menyangka Ema akan tahu dengan cara seperti ini. Laki-laki ini terlalu cepat untuk mengungkap semuanya.

"Grace! Tolong bilang kalau ini semua bohong!! Bagaimana bisa Zacky meninggal dan gue sama sekali nggak tahu selama ini."

Ditengadahkannya wajah penyesalan itu. Semuanya sudah terlanjur. Untuk apa lagi mereka menyembunyikan semua ini. Sarah tak berani bicara, berkali-kali ia mengusap air mata. Begitu juga dengan Senja. Hanya Grace yang memiliki keberanian untuk menjelaskan sebuah kronologi.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro