32. Penawar Luka
Mungkin awalnya Rei menolak untuk pergi ke tempat sejauh itu. Di tambah, ia merasa tidak percaya diri harus berpergian ke tempat umum. Yang ada orang-orang hanya akan memandanginya terus menerus. Membuatnya tidak kerasan berlama-lama di antara keramaian. Segala bujuk rayuan Ari kerahkan untuk bisa meluluhkan hati gadis keras kepala yang satu itu. Dan ternyata pilihan tempat liburan Ari tidaklah seburuk yang Ema kira.
Tempat itu seperti taman di dalam hutan yang didekorasi apik menyerupai tempat rekreasi alam. Dari parkiran mobil, Rei bisa melihat ramainya para pengunjung yang didominasi rombongan keluarga. Ada pula gerombolan anak muda dan beberapa pasang kekasih yang ingin menghabiskan waktu di tempat asri dan dingin. Mereka berada di area perbukitan, di mana pemandangan gunung terbentang begitu indah. Terus terang Rei suka, tetapi ia tidak begitu nyaman dengan ramainya orang-orang yang ada di sana. Ditambah lagi medan jalan yang naik turun, ia sudah membayangkan bagaimana sulit dan beratnya mengayuh kursi roda.
"Ari? Lo yakin mau bawa gue ke tempat kayak gini? Memangnya lo gak malu jalan sama gue?"
"Kenapa harus malu jalan sama cewek semanis lo? Yang pentingkan gue jalan sama manusia, bukan sama setan. Lagian lo cantik kok hari ini. Beda cerita kalau gue jalan sama cewek udik berantakan plus mabok-mabokan."
Rei tertawa tak habis pikir. Ketidakpercayaan dirinya perlahan berkurang berkat sikap Ari yang terlihat santai dan cuek.
Tak dapat dipungkiri bahwa Ari adalah seorang guide yang cerdas. Dia selalu bisa membuat Rei tertarik dengan apa yang ditunjuknya. Mulut cerewetnya tak pernah berhenti mengisi kekosongan. Dia selalu berceloteh seperti host acara gossip
Bunga-bunga mekar nan indah di sepanjang jalan seakan serempak tersenyum memanggil mereka. Rei merasakan kehangatan di tempat yang dingin. Ari senantiasa mengiringi, tetapi membantunya melewati tanjakan yang pastinya sulit untuk Rei lalui. Kamera kesayangan menggantung setia di lehernya, banyak objek foto yang diambil Rei setiap kali menemukan sesuatu yang unik dan menarik.
"Kalo lo capek kita berhenti dulu, Ri. Rada ngos-ngosan lo kayanya, gue berat banget pasti ya?" Rei berhenti menurunkan kamera dari depan wajahnya. Ia meminta Ari untuk berhenti mendorongnya setelah mendengar napas Ari yang agak cepat di belakangnya.
"Iya, rada berat, kayanya agak naik ya BB lo?" balas Ari terus terang.
Rei tertawa, lantas mengaktifkan hand break. "Iya kali, udah semingguan gue nggak nimbang badan."
Ari mengembuskan napas kecil. "Lah, pantesan gue berasa dorong mobil mogok."
"Sialan lo!"
Suara tawa mereka serempak terdengar renyah. Lagi-lagi, Ari mampu mempertahankan suasana gembira di antara mereka. Gumpalan awan di atas langit persis seperti kapas gulali. Perpaduan yang indah dengan pemandangan pegunungan yang juga dikelilingi kabut awan di hadapan mereka. Seperti yang telah Rei terka sebelumnya, banyak orang yang memandangi sosoknya setiap kali berpapasan. Ia berusaha untuk tidak peduli, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan apa anggapan orang terhadap kondisinya, beruntungnya ia bersama pria tampan yang tampak ceria dan pandai mencairkan suasana.
"Kita jalan lagi?" tanya Ari menawarkan.
Rei menggigit bibir bawah sebelum akhirnya menjawab, "kayanya kaki gue kebas, Ri."
Terpaan angin kencang menyibak rambut panjangnya. Rasanya sangat merepotkan punya kaki yang tiba-tiba kejang di saat seperti ini, ditambah angin yang membuat rambutnya berantakan. Ari meyarankan Rei agar turun dari kursi dan duduk di atas rerumputan untuk merelakskan kedua kakinya yang pasti lelah karena tertekuk terlalu lama. Ari melihat sendiri seperti apa ekspresi kesakitan yang dialami Ema ketika kedua kakinya bergerak-gerak sendiri, tetapi reda perlahan setelah Rei meminum pil anti-kejang yang selalu ia bawa ke mana saja.
Ari memperhatikan setiap gerakan Rei yang terlihat kesal pada diri sendiri tetapi tak mampu dan tak mau mengungkapkannya secara gamblang apa yang ia rasakan. Kelumpuhan bukan hanya soal motorik yang tak berfungsi, tapi ternyata kerusakan saraf yang bisa saja menimbulkan efek tak disangka pada si penyintas.
Rei mengembuskan napas dengan penuh kesabaran. Bibir bawahnya tergigit kuat. Sambil merapikan anak-anak rambutnya yang menghalangi wajah, Rei tersenyum pada Ari yang sedari tadi memijit-mijit betisnya.
"Beneran udah mendingan, kan?" tanya Ari.
Rei mengangguk. "Makasih udah bantuin gue."
"Yang penting lo baik-baik aja, gue panik banget liat lo barusan." Ari menyudahi pijitannya lalu menatap wajah gadis di hadapannya. "Sakit banget, ya?"
"Orang lain yang deket sama gue juga sering tanya begitu. Mereka pikir, mentang-mentang kaki gue lumpuh, artinya nggak bisa ngerasain sakit sama sekali. Demi Tuhan, gue berharap begitu. Kalau udah lumpuh ya lumpuh aja, nggak usah pake nyiksa tubuh gue lagi. Tapi ternyata nggak sesimpel itu, Ri." Rei menopang kedua tangannya di belakang tubuh, pandangannya menerawang jauh ke ujung pemandangan. "Tapi mau gimana lagi? Gue udah biasa. Lebih tepatnya, berusaha untuk membiasakan semua rasa sakit yang sulit untuk dijelasin."
Ari duduk di sisi kiri Rei kemudian berkata, "Lo cewek terkuat yang pernah gue kenal. Rasanya, gue bener-bener beruntung bisa kenal dan deket sama lo, Ma."
Rei meringis senyum sembari tertawa kecil. "Kuat?" tanyanya meremehkan diri sendiri, "gue kuat cuma di depan kalian semua. Di depan orang-orang yang udah banyak berkorban buat gue. Tersenyum dan tertawa, adalah satu-satunya cara buat nutupin kerapuhan diri sendiri. Memangnya apa lagi yang bisa gue lakuin buat nerusin hidup kecuali menerima apa yang udah Tuhan takdirkan?"
"Mungkin gue memang bukan orang yang bisa nyembuhin luka dalam diri lo, Ma. Tapi gue bakal selalu siap buat jadi pendengar yang bisa lo andalkan. Lo boleh cerita apa aja ke gue mulai sekarang. Siap tahu—
"Please, jangan janji apa-apa ke gue, Ri," potong Rei. "Jangan pernah!"
Ari terdiam. Mereka saling memandang selama beberapa detik sebelum akhirnya Rei membuang muka karena air mata yang membendung.
Memori kelam tentang Zacky tiba-tiba menerjang. Kilasan-kilasan di masa-masa tersulit hidupnya membuat dada Rei terasa sesak. Ia ingat seberapa ambruk tubuhnya ketika Tuhan menghukumnya dengan cara yang sangat menyakitkan. Kehilangan anggota gerak ternyata tak cukup untuk membayar semua perbuatannya, tetapi kehilangan orang yang sangat dicintai—yang pernah berjanji untuk selalu ada di sisinya—menambah kesengsaraan yang sangat pahit. Rei memejamkan kedua matanya kuat-kuat, setetes air mata jatuh di sudut matanya.
"Ema?" Ari menarik dagu Rei perlahan ke arahnya. Jemarinya menyeka air mata Rei dengan lembut. "Sorry, gue nggak punya maksud buat bikin lo sedih."
"Rasanya sesak banget, Ri," ungkap Rei sambil mengisak. "Gue capek banget."
Perlahan, Ari menarik tubuh Rei ke dalam pelukannya yang hangat. Ia mengelus punggung gadis itu, mencoba memahami perasaannya dengan cara yang tulus selaras dengan kalimat menenangkan.
"Tuhan tahu seberapa besar kekuatan di dalam diri kamu. Itu sebabnya Dia milih kamu, Ma. Kamu pasti pernah bertanya, kenapa Tuhan harus memilih kamu buat ngerasain penderitaan ini? Walau sebenarnya kamu sendiri udah tahu jawabannya."
Rei mendengarkan, mengisak tangis di balik bahu Ari yang kokoh. Ia menyeka air matanya sendiri sembari menarik napas untuk melegakan dada.
"Izinkan aku buat memahami rasa sakit kamu." Ari melerai pelukan, menatap wajah gadis yang menunduk sambil menangis. "Kalau rasa sakit kamu masih berkaitan sama cowok yang pernah ninggalin kamu, cerita aja, Ma."
Rei spontan menengadahkan wajah, setengah terkejut mendengar kalimat Ari.
Seolah tahu apa yang sedang Rei pikirkan, Ari pun meluruskan kata-katanya. "Grace pernah cerita ke aku."
Kecanggungan mendadak menerpa Rei saat menyadari bahwa Ari mengubah sebutan menjadi 'aku, kamu' padanya. Ia juga baru menyadari bahwa keterbukaannya pada Ari melebihi batas. Kini saat Ari memintanya untuk membahas perihal masa lalunya, Rei membisu selama beberapa detik dengan kecanggungan yang pasif.
"Aku nggak perlu cerita soal itu," tegasnya.
"Kamu masih punya perasaan sama dia? Makanya kamu nggak mau membahas apa pun soal dia? Grace dan Mas Wirya juga pernah cerita soal kamu yang nggak pernah mau terbuka soal Zacky. Padahal mereka cuma mau memastikan kalau kamu bener-bener udah ngelupain dia."
Rei menggeleng pelan, membuang wajah dari Ari. Letupan rasa benci di dalam dadanya kembali mencuat saat itu juga. "Kamu pikir, apa aku masih pantas mencintainya setelah apa yang udah dia lakuin ke aku? Pertama kali kami bertemu, Zacky menawarkan kebahagiaan yang nggak ada bandingannya. Dia selalu bisa bikin aku senang. Tapi ketika aku sangat membutuhkannya, dia ninggalin aku kaya seonggok najis yang memalukan."
"Dia pergi tanpa sepengetahuan kamu, kan? Gimana kalau seandainya dia pergi karena suatu alasan yang di dalam keputusan itu ia justru mengorbankan kebahagiaannya untukmu, alih-alih menyakitimu"
Refleks Rei menoleh pada Ari. "Bisa-bisanya kamu ngomong gitu? Tahu apa kamu tentang Zacky?"
"Aku memang nggak tahu apa-apa, tapi seharusnya kamu berpikir. Orang yang dulunya jelas-jelas cinta sama kamu, tiba- tiba pergi gitu aja tanpa alasan yang jelas. Siapa tahu ada tujuan tertentu yang sedang dia buat untuk kamu?"
Rerumputan semakin terasa basah di telapak tangan Rei. Lanskap yang begitu tenang mengesankan sebuah keremangan tanpa sebab. Rei menundukkan kepalanya ringan. Kedengarannya cukup klise, tapi apa yang dikatakan Ari belum pernah terpikir sedikitpun olehnya sebelum ini.
Mengorbankan kebahagiaannya?
Ia merinding mencerna kata-kata itu. Bagaimana mungkin Ari bisa menyisipkan kata-kata seperti itu di tengah kebenciannya terhadap Zacky. Kalaupun benar apa yang diterka Ari, lalu kebahagiaan apa yang sudah ia dapat dari kepergian Zacky? Sedikit pun ia tak bisa menemukan itu. Yang ada malah penderitaan dari rasa sakit. Kenapa harus luka yang hadir di saat ia butuh sandaran orang yang dicintainya. Ke mana perginya laki-laki itu ketika takdir merobek seluruh persendiannya? Sedikitpun tak ada kebahagiaan tersisa.
"Memangnya kamu bisa lihat ada kebahagiaan di hidupku?" Rei memandang Ari lekat-lekat demi melihat respon pria itu dari jarak terdekat. Ada butiran air mata hampir merosot dari kelopaknya. Pipi yang tadinya cerah kini memerah. Namun Ari hanya mendapati diam atas pertanyaan Rei.
"Gak ada, Ri. Aku bahkan lupa seperti apa rasanya bahagia."
Kini Ari bisa melihat butiran air di mata gadis itu sedikit menderas, seiring dengan suara isak tangisnya yang merintih.
Tangannya menggenggam rerumputan dengan kuat. Akibat emosi yang terlanjur berderai. Ia ingat bagaimana ia harus merasakan depresi berkali-kali akibat laki- laki itu. Bersama dengan isak tangisnya yang lirih. Kedua tangannya merengkuh tubuh mungilnya. Nafasnya tercekat lantaran pedih. Sweater ungu yang ia pakai tak cukup untuk membuat tubuhnya hangat.
Ari sadar hal itu. Ia melepaskan jaketnya kemudian menyelimuti tubuh Rei pelan-pelan.
"Nggak apa-apa, aku ngerti. Maaf udah bikin kamu jadi teringat lagi sama masa lalu. Toh juga sekarang Zacky udah nggak ada."
Kening Rei seketika berkerut seraya dengan tatapan heran ke arah Ari. "Maksudnya?"
"Umm, maksud aku, toh sekarang kamu udah nggak sendiri. Masih banyak orang-orang yang sayang dan jauh lebih care sama kamu, Ma."
Rei mengerjapkan mata kemudian menyedot ingus.
"Memang sulit melupakan orang yang kita cintai, apalagi setelah dia ninggalin luka di hati kita. Tapi berhentilah, buat apa mikirin orang yang bahkan nggak pernah bertanya apakah kamu baik-baik aja? Hidupmu jauh lebih berharga, tubuh dan pikiran kamu juga butuh perhatian, kan?"
Senyum kecil itu terukir manis di wajah Rei. Ia mengusap air matanya sendiri dengan kelegaan yang rasanya sungguh menenangkan. Kalimat yang diutarakan Ari ibarat penawar. Polesan itu kecil, tetapi entah mengapa, Rei merasa polesan-polesan itu bakal menjadi cara terbaik untuk menutup luka-luka di hatinya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro