28. Seseorang
"AWASS!"
Seseorang mendorong tubuh Rei dari belakang hingga membuatnya tersungkur. Orang itu menyeretnya jauh dari tempat ia berada. Rei menjerit sangking kagetnya. Tubuh orang itu menindih tubuh Rei hingga membuatnya sulit bernapas. Detik itu juga batang pohon yang tadi patah terjatuh tepat di mana Rei berada sebelumnya.
Rei bisa mendengar suara dentuman batang pohon itu menumbuk daratan. Jantungnya berdebar hebat. Pria yang menimpa tubuhnya bergegas menyingkir kemudian membalikkan tubuh Rei untuk memastikan keadaan.
"Ibu nggak apa-apa?" tanya pria itu.
Rei menyandarkan tubuhnya pada lengan dan berusaha mengenali suara itu di antara berisiknya hujan. Ia mengusap wajah agar pandangannya lebih jelas.
Astaga, ia kenal orang ini. Dia pria yang pernah menumpahkan sup panas ke lengannya dua hari yang lalu.
Bagaimana dia bisa ada di sini dan tiba-tiba muncul menyelamatkannya dari bahaya? Pikirnya tak percaya.
"Kamu?"
"Nggak ada yang luka, kan, Bu? Hampir aja Ibu mati tadi!" teriak pria itu kuat agar suaranya tak kalah dengan hujan yang menderas.
Rei membasuh wajahnya memberi sedikit ruang pada paru-parunya untuk bernapas dengan leluasa. Ia melihat situasi yang baru saja terjadi. Di hadapannya sebuah batang pohon besar telah menggantikan tempatnya semula dan, menimpa kursi rodanya sampai penyok.
"Astaga! Kursi rodaku!" Serunya kaget ketika mendapati benda yang selalu setia mengawali kehidupannya kini tak berbentuk lagi. Pria itu turut menoleh ke mana arah mata Rei terpaku.
"Maaf, Bu. Saya terpaksa menjadikannya tameng supaya batang pohon itu nggak menimpa kita. Nyawa Ibu kan lebih penting daripada benda itu."
"APA?" Rei menunjukkan amarahnya untuk kesekian kali pada pria ceroboh yang pernah membuatnya kesal dua hari yang lalu. Dan kini pria itu membuatnya terpaksa mengulangi emosinya lagi.
"Gila kamu! Jelas benda itu penting buat saya! Sekarang gimana caranya saya bisa bergerak dari sini sedangkan kursi roda itu udah penyok!"
"Lho, Bu? Kok saya malah disalahin? Saya, kan udah nyelametin Ibu," belanya. Suaranya hampir tak terdengar akibat gemuruh angin yang semakin kuat.
"Ya tapi jangan suka-sukanya jadikan barang saya sebagai tameng, dong?"
Pria itu membasuh wajahnya, rambut ikalnya tampak lurus karena basah.
"Saya terpaksa, Bu," teriaknya. "Ya udah, biar Ibu saya bopong cari tempat aman buat berteduh. Entar kita malah sakit kalau kelamaan di sini." Pelan-pelan pria itu menyisipkan tangan kanannya ke paha Rei mencoba mengangkatnya tapi kemudian terlepas karena tampikan kasar Rei.
"Jangan macam-macam kamu, ya? Saya nggak mau tangan kamu nyentuh," bentaknya. "Sebentar lagi temen saya pasti datang buat nolong."
Pria itu berdiri, menyibakkan rambutnya yang menghalangi mata. "Ibu ini keras kepala banget, sih? Terserah Ibu kalau nggak mau ditolong. Silakan tunggu temen Ibu yang nggak jelas itu sendiri."
Pria itu memalingkan tubuh menjauh dari cewek keras kepala sendiri di situ. Tiba-tiba, kilatan halilintar berkelebat dengan cepat di langit. Melepaskan suara gemuruh petir yang sangat dahsyat. Sesaat, Rei merasakan pobia petir yang sempat disangkalnya dulu muncul seketika. Ia menjerit, menutupi telinganya dengan kedua telapak tangannya ketakutan.
"Hei!" panggilnya pada pria yang mendadak berhenti karena seruannya. "Paling nggak kamu harus tanggung jawab karena udah hancurin kursi roda saya!"
Pria itu kembali sambil tersenyum, lantas meminta izin untuk menggendong tubuh Rei di punggung kekarnya. Rei mengaitkan kedua tanganya di leher pria tersebut agar tubuhnya seimbang.
"Makanya jangan keras kepala!" celetuknya.
Rei hanya bisa pasrah dengan apa yang akan diperbuat laki-laki dadakkan tersebut. Entah bagaimana jalannya pria itu bisa muncul ditempat seperti ini dan datang menyelamatkannya. Namun, itu bukan berarti Rei bisa memaafkan perbuatan cerobohnya untuk kesekian kali.
Dilihatnya wajah pria itu meski tak tampak jelas dari belakang. Sesekali matanya berkedip-kedip diakibatkan oleh tetesan air hujan yang perih. Tanpa diduga, ternyata pria itu menyadari tingkah Rei.
"Apa, Bu? Liatin saya kaysk gitu?"
Rei merasa kikuk kemudian menyembunyikan wajahnya. Degupan jantungnya jelas sekali terasa. Napasnya bergerak naik turun, berusaha agar air hujan tidak masuk ke celah hidung dan bibirnya.
"Lagian Ibu ngapain sih ke tempat ginian?"
"Bukan urusanmu!" jawabnya jutek. "Lagian kamu kok bisa ada di sini sih?"
"Memangnya kenapa? Saya terpaksa kerja di sini gara-gara Ibu pecat saya."
Jlepp...
Sesaat Rei merasa bersalah. Gara-gara dia pria ini bernasib malang terdampar di desa terpencil seperti ini, dan sekarang malah hadir kembali di kehidupannya sebagai penyelamat.
"Jadi kamu nyalahin saya? Itukan akibat dari kecerobohan kamu sendiri."
"Apa semua bos di dunia ini nggak pernah peduli sama nasib orang kecil seperti saya ya?"
"Heh! Jangan panggil saya Ibu. Emangnya saya Ibu kamu apa?"
"Ibu kan mantan bos saya. Jadi saya harus panggil apa dong?"
"Tapi kan saya bukan bos kamu lagi!"
Pria itu berhasil masuk ke gang-gang cemara yang tadi di lewati Rei dan Grace. Gelap. Gang itu semakin menyeramkan. Tak ada cahaya matahari yang masuk lewat celah pepohonan. Yang ada hanya keremangan kelabu akibat cuaca badai.
"Memang ... terus saya harus panggil apa?"
"Ema!" Grace muncul di hadapan mereka dari arah yang berlawanan dengan tubuh basah kuyup. Pikiran negatif bergelayutan di otak Grace. Sesuatu pasti sudah terjadi pada Ema. Apa dia masih hidup? Pikirnya takut.
"Temen saya kenapa, Pak? Apa yang terjadi?" tanya Grace rupa bingung. Menyipitkan mata, pandangannya kabur lantaran ia melepas kacamatanya, tapi ia masih bisa melihat wajah Ema yang bersembunyi di balik leher pria tersebut. "Oh, astaga apa dia pingsan?"
"Ini teman, Mbak?"
"Iya, Pak! Dia kenapa?"
"Pingsan matamu picek! Bu, bangun tuh temennya nanyain."
Rei mengerjap, dibasuhnya kembali wajahnya dengan tangan kiri. "Ke mana aja sih Grace baru balik?"
"Ya ampun ... kirain lo pingsan atau mati. Sorry, Ma, gue tadi kelamaan cari toilet. Kursi roda lo mana?
"Huh ... Tanya aja sama si sembrono ini!"
"Nama saya Ari! Enak aja ngatain saya sembrono," ujarnya meluruskan masalah.
"Sebenernya ada apa sih ni?" Grace berkeras hendak ingin tahu apa yang menyebabkan mereka saling menyalahkan.
"Mbak, ceritanya ntar aja! Sekarang kita harus cari tempat berteduh dulu, di sini banyak angin. Takut ada pohon tumbang lagi."
"Iya ... iya bener. Tolong Bapak bantu bawa temen saya ke mobil ya?"
Pria bernama Ari itu dengan gegas berjalan lebih cepat, tak peduli genangan air di jalanan membasahi sepatunya dan bisa saja membuat kakinya terpeleset hingga mencelakai mereka. Jarak untuk menuju mobil lumayan jauh, dan ia tak peduli seberapa lelah tangannya membopong Rei. Itu adalah tanggung jawabnya.
Sesampainya di mobil, Ari menceritakan semuanya dari awal pada Grace yang sedang menyetir mobil Honda Jazz dengan hati-hati. Ketika dia mendapati Rei sedang dalam bahaya sampai harus mengorbankan kursi rodanya demi menghindari batang pohon yang bisa saja membunuh Rei detik itu juga.
"Berarti Bapak ini udah nyelametin elo donk, Ma? Harusnya lo terima kasih sama dia," ujar Grace sambil melirik Ema lewat kaca spion di jok belakang, sementara Ari duduk di samping Grace―yang sedang sibuk memperhatikan jalanan beraspal rusak.
"Duh, Mbak. jangan panggil saya bapak dong ... masih muda cakep begini kok dipanggil Bapak, sih? Panggil aja Ari," selanya. "Dan ... lagian saya nggak berharap Bu Ema berterima kasih sama saya. Barangkali dia masih marah gara-gara kejadian kemarin."
"Oh ... jadi kamu yang numpahin sup panas ke lengan Ema waktu itu?"
"Itu kan nggak sengaja, Mbak."
Grace tertawa kecil. Sekarang dia tahu kenapa Ema begitu marah pada Ari meskipun pria itu sudah menyelamatkan nyawanya. Dia ingat, seberapa marahnya Ema waktu itu sampai berkali-kali menghujat Ari sebagai biang masalah. Dan kini dia datang lagi menghancurkan benda yang menjadi tumpuan Ema selama hidup.
"Loh? Kok malah ketawa sih, Mbak?"
"Sabar aja, deh Pak. Eh, Ari. Kayaknya cewek di belakang lo itu bakalan jutek seumur hidup."
Rei tak peduli dengan arah pembicaraan mereka. Ia berpura-pura tak mendengar karena sedang serius memeriksa kameranya yang sempat terjatuh waktu Ari mendorongnya hingga tersungkur. Syukurlah tas mungil itu menyelamatkan kamera kesayangannya dari hujan. Diperiksanya lagi dengan teliti. Dan apa yang ia temukan membuatnya terkejut setengah mati.
"Astaga! Lensa kamera gue retak." Diliriknya Ari dengan sadis.
Ari bisa menduga, kalau Ema pasti bakal tambah marah. Bulu kuduknya merinding, ekspresi gadis itu seolah hendak mencekik lehernya sampai mati, seperti Lucifer yang hendak mencabut nyawa.
Gawat! Pikirnya cemas.
"Dua satu!" seru Ema tajam.
"Hah? Maksudnya apa dua satu?" tanya Ari tak mengerti.
"Iya dua satu! Lo udah buat tiga poin kesalahan. Pertama, lo siram sup panas ke lengan gue sampai melepuh, sampai sekarang bekasnya nggak bisa hilang tau nggak? Kedua, lo udah hancurin kursi roda gue sampai penyok. Ketiga, lensa kamera gue rusak gara-gara lo dorong gue sampai tersungkur.
"Dan satu poin kebaikan karena lo udah nyelametin gue. Berarti kesalahan lo dikurangi satu karena satu poin kebaikan. Jadi, dua satu."
Grace tertawa ngekeh mendengar penjelasan Ema. Sedangkan Ari terpelongo mencerna kata-kata barusan.
"Astaga! Kayak malaikat aja hiitungin kesalahan orang," cela Ari.
Sedikit ada ruang, Grace pun menyisip pembicaraan. "Lo mesti cari dua poin kebaikan lagi kalau mau impas, Ri."
"Bener gitu, Bu?"
"Iya! Bener apa yang dibilang Grace. Lo harus buat dua kebaikan lagi kalau lo mau gue maafin lo!"
Ari berpikir sejenak guna membuat suatu kesepakatan penting antara dia dan Ema. "Oke! Tapi Ibu harus menjanjikan saya sesuatu."
"Janji apa?'
"Kita harus berteman baik kalau hutang saya lunas."
Tampak kernyitan jelas di dahi Rei. Ia pikir itu bukan sesuatu yang buruk baginya. Punya teman baru bukanlah hal yang menakutkan, bukan? Dan ia pun memutuskan untuk menyetujui kesepakatan mereka.
"Oke! Gue setuju."
"Deal?" Ari mengacungkan kelingkingnya dan Rei balas mengaitnya masih dengan wajah tak ramah.
"Deal!"
***
Sore berkabut menjelma menjadi malam petang. Butuh waktu tiga jam lebih untuk bisa kembali pulang ke tempat tinggal Rei. Ari memang terpaksa ikut karena dipaksa Rei untuk bertanggung jawab atas perbuatan sembrono yang menyebabkan ia kehilangan kursi roda satu-satunya. Ari harus rela membopongnya ke sana kemari sebelum kursi roda custom pesanannya dua minggu yang lalu selesai. Mau tak mau Ari harus menuruti kata-kata Rei.
Ari membopong Rei sampai ke kamar. Vivi terkejut kepalang tanggung ketika mendapati adiknya yang pulang dalam keadaan lusuh berada dalam gendongan cowok yang pernah membuatnya celaka dua hari lalu. Ia sempat marah dan menampar Ari dengan tangan kanannya, tapi segera dilerai Grace setelah menjelaskan semua kronologinya dari awal.
Dengan begitu Vivi sedikit paham kemudian meminta maaf sekaligus berterima kasih pada Ari. Tanpa sungkan-sungkan Vivi pun memintanya untuk bermalam saja di rumahnya karena tidak memungkinkan untuk Ari pulang ke kediamannya yang berjarak 87 km malam-malam begini.
Mana mungkin Ari menolak. Dia masih punya kewajiban menjaga Rei sampai kursi roda barunya datang. Ari, Ema, dan Grace sepakat untuk tidak bercerita soal kesepakatan yang mereka buat kepada siapa pun. Cukup hanya Grace yang tahu. Anggap saja dia sebagai saksi dari perjanjian mereka. Sementara hujan, sebagai saksi bisu pertemuan mereka.
Ari diperbolehkan tidur di kamar tamu lantai bawah. Dengan ikhlas Wirya meminjamkan kaos oblongnya pada Ari karena bajunya yang kotor dan basah sangat tak mungkin untuk digunakan lagi. Mereka sudah mulai akrab setelah berjam-jam mengobrol banyak sambil menonton film box office di salah satu chanel TV digital. Wirya bercerita banyak tentang kehidupan cintanya dengan mantan istrinya yang biadab dan juga bercerita mengenai kisah hidup Ema yang terdengar dramatis di telinga Ari. Sedikit banyaknya dia mulai paham mengapa Ema sangat sulit untuk tersenyum pada orang lain. Dia juga baru ingat kalau Ema belum mengucapkan terima kasih sama sekali atas perjuangannya menyelamatkan gadis itu dari mara bahaya. Namun, dia yakin, suatu hari dia akan mendengar ucapan itu lewat cara yang menyenangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro