22. Penerimaan Diri
Pagi menggambarkan rutinitas rumah sakit yang lebih sibuk daripada jam-jam malam atau siang. Dari pintu yang terbuka perlahan, Suster Laura datang dengan membawa peralatan mandi pasien, menyapa Rei penuh keramahan. Namun, Vivi memutuskan untuk membersihkan tubuh sang adik dengan tangannya sendiri. Suster Laura menawarkan bantuan untuknya. Namun setelah melewati perdebatan yang cukup sengit, akhirnya suster Laura pun mengalah dan menyerahkan tugasnya kepada Vivi sesuai permintaan.
Vivi membuka baju pasien yang menutupi tubuh kurus Ema dengan sangat hati-hati. Dia sudah mulai agak terampil, Suster Laura selalu mengajarkan bagaimana cara memandikan pasien dengan hati-hati tanpa membuatnya merasa sakit. Vivi paham betul bagaimana prakteknya karena sering memperhatikan. Barangkali saja Ema akan merasa lebih nyaman apabila kakaknya sendiri yang melakukannya.
Diperasnya kuat-kuat handuk hangat yang siap digunakan untuk membasuh tubuh adiknya yang terbaring lemah pasrah. Suara gemercik air dari perasan handuk di tangan Vivi terbias gemercing dalam kesunyian mereka. Vivi tak pernah melupakan masa ketika mereka masih kecil, dialah yang merawat Ema, memandikannya setiap pagi dan sore hari tanpa lelah. Hidup tanpa seorang ibu membuatnya harus rela meluangkan waktu bermain untuk mengurusi adik perempuan yang tak pernah mengenal sosok seorang ibu. Ia tak pernah membayangkan, memperlakukan Ema lagi seperti ketika ia masih kecil, memandikannya dengan tulus, bahkan harus ekstra hati-hati. Perlahan-lahan Vivi mengelap wajah Ema yang sudah menunjukkan hilangnya kepucatan selama ini sekaligus memperbaiki letak selang oksigen yang menancap di hidungnya. Tanpa alat itu mungkin adiknya tak akan kesulitan bernapas.
Dengan perasaan haru, Rei memandangi wajah Vivi yang sibuk memainkan handuk basah itu memoles bersih dadanya. Ia bisa merasakan segarnya air membasuh setiap sela kulitnya. Jika bisa, ingin sekali rasanya ia menceburkan diri ke dalam bath up tanpa ada niat untuk mengakhiri kesegaran dan keharuman sabun beraroma rose yang ia rindukan selama ini. Namun, dinginnya air yang di selurkan lewat tangan Vivi yang penuh kasih dan ketulusan itu lebih harum dibandingkan air sabun beraroma kelas dunia sekali pun.
Sedikitnya, Rei merasa menyesal karena tidak pernah peduli dengan perasaan perempuan yang selalu mengkhawatirkannya setiap saat. Mungkin ia terlalu pesimis terhadap masa depannya, tapi sepantasnya ia juga mengertikan perasaan Vivi yang selalu menangiskan batinnya di kala melihat adik yang terkasih mengalami frustrasi keputusasaan, yang dengan segala cara mencoba mengakhiri hidup yang dirasa bengis. Rei tahu betapa perempuan itu merasakan sakit yang lebih mendalam apabila harus melihat dirinya membuang harapan yang sesungguhnya masih ada terpajang apik didepan mata.
Bodoh!
Ia memang terlalu egois. Emosinya selalu memprioritaskan tragic ending untuk melepaskan kepahitan atas kutukan yang ia bawa sendiri tanpa mempersoalkan dan mempertimbangkan betapa akan sangat berdukanya orang-orang yang menyayanginya selama ini.
Dari kedua pasang mata berbinar cerah itulah Rei bisa melihat betapa berartinya ia dalam hidup Vivi dan yang lainnya. Ia menerawangkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan sembari merasakan hangatnya handuk melumuri dadanya, memandangi fotonya saat bersama ketiga sahabatnya yang terletak di atas lemari es. Dia rindu masa-masa menyenangkan itu. Rei masih ingat, bagaimana lincahnya ia dulu sewaktu sehat dan bagaimana keras kepalanya ia ketika membantah pesan-pesan kakaknya.
Seandainya saja waktu itu dia menuruti kata-kata Vivi untuk tidak pergi ke mana- mana sepulang sekolah, dia tidak mungkin mengalami hal seperti ini. Pasti ia masih bisa berbuat banyak seperti dulu dan tidak menderita lebih tepatnya. Namun, penyesalan takkan ada gunanya lagi.
"Mbak?" panggilnya pelan.
"Iya, Ma?" Ada sunggingan senyum kecil di wajah Vivi yang masih sibuk mengeringkan tubuh adiknya yang basah.
"Ema minta maaf."
"Minta maaf?" tanyanya sedikit bingung. "Minta maaf buat apa?"
"Ema minta maaf karena udah bikin Mbak Vivi repot ngurusin Ema kayak gini."
"Ssshhh..." desis Vivi. "Mbak melakukan ini bukan karena ini adalah kewajiban Mbak sebagai kakak kamu, tapi karena Mbak bener-bener sayang sama kamu, Ma. Jadi, tolong jangan berpikiran yang macam-macam."
Senyum itu lagi, membuat Rei semakin merasa bersalah. "Tapi nggak mungkin Mbak akan memperlakukan Ema begini terus-terusan."
Vivi menggelengkan kepalanya. Matanya memandang sang adik lurus. Dihentikan kegiatannya sejenak. "Enggak, Dik. Mbak yakin kamu pasti bisa melewati ini semua dengan kuat."
Ya, Ema yang ia kenal adalah Ema yang kuat. Ia menganggap bahwa adiknya hanya sedang mengalami masa pendewasaan. Meskipun pada kadar yang lumayan berat. Sebagai kakak, ia mengemban peran yang sangat penting demi mendampingi perjalanan hidup adiknya, memberikan dorongan yang lebih berarti, melindunginya dengan segala perlakuan baik. Asalkan Ema bisa mengubah jalan pikiran juga niat yang awalnya kerap kali menghantui: menghindarkannya dari tindakan bodoh seperti hari-hari kemarin.
"Boleh Mbak minta satu permohonan?" Sorotan mata itu jelas kentara maksud dibaliknya.
"Permohonan? Apa itu?" tanya Rei
"Ema nggak boleh nyerah, ya? Mbak mohon jangan lakukan hal-hal bodoh kayak bunuh diri atau semacamnya lagi." Vivi menggigit bibirnya, ia sadar tenggorokannya mulai tercekat lagi. Jangan sampai Ema melihat matanya berair, sebisa mungkin ia cegah itu. "Tolong mengerti perasaan Mbak, perasaan orang yang sayang sama kamu. Kami pasti bakal terpukul banget kalau harus melihat kamu kayak gitu."
"Bukannya kematian adalah cara terbaik supaya kalian nggak perlu bersedih lebih lama lagi karena melihat aku sakit begini? Kalian cuma perlu menangisi Ema sesaat aja. Bukan seumur hidupku."
"Kamu salah!" bantah Vivi. Ia menyembunyikan wajah dari pandangan lesu Ema, kembali melanjutkan kegiatannya. "Mbak nggak siap kalau harus kehilangan orang yang sangat Mbak sayangi untuk yang ketiga kalinya."
Vivi tahu, percuma ia menyembunyikan air mata itu dari hadapan Ema. Toh juga tanpa disadari, air mata itu malah keluar dengan sendirinya karena ingatan yang membawanya pada masa lalu yang menyedihkan. Ia menggigit bibirnya semakin kuat. Tangannya yang semula bergerak lincah mebasuh tubuh Ema terhenti mendadak dan mendaratkannya tepat di atas jemari adiknya.
"Mbak mohon... jangan pernah punya niat untuk meninggalkan kakak kamu untuk kesekian kalinya." Tangisnya mengisak. "Mbak rela harus merawat dan jagain kamu seumur hidup. Asalkan kamu tetap ada sama Mbak." Vivi menarik naPas gemetar. "Kamu harus janji, Ma. Katakan kalau kamu berjanji nggak akan mengecewakan Mbak." Vivi tak sanggup menatap wajah Ema. kepalanya tertunduk. Air matanya tumpah menetesi jemari Ema yang terasa dingin akibat sentuhan getaran Vivi.
Rei terdiam bungkam. Mungkin sudah saatnya ia sadar, bahwa keadaannya saat ini merupakan risiko yang sebenarnya sudah siap ditanggung di menit sebelum ia sendiri memutuskan untuk membuat sebuah opera baru di episode perjalanan hidupnya. Tak pantas bila ia harus mati dalam sandiwara yang ia susun sendiri sejak awal. Bukan saatnya menjadikan Zacky sebagai modus atas alasan keruntuhan yang mengambrukkan semangat hidupnya saat ini
Aku bukan apa-apa tanpa mereka. Aku hanyalah sebatang benalu yang takkan bisa hidup tanpa belas kasih orang yang sangat aku sayangi.
Butiran air mata itu membendung juga. Mengundang lirih sehingga membawanya pada kalimat utuh yang ditunggu oleh Vivi.
"Aku bakal berusaha," katanya. "Asalkan kalian tetap bisa sabar atas kondisiku, Ema janji nggak bakal bertindak bodoh lagi, Mbak." Ia menangis. "Ema sayang sama Mbak."
Kalimat terakhir Rei melantun dalam getar yang samar. Tak kentara oleh siapa pun. Namun terpatri dalam hati Vivi lewat sunggingan senyum terima kasih yang berulang kali dilontarkan dalam pelukan hangat sang kakak. Ia sadar, masih ada orang yang mau mencintainya, melindunginya dan menjaganya selama ia mau sedikit bersabar dan menerima takdir pahit. Karena sesungguhnya itulah kekuatan yang terselubung dibalik takdir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro