Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Membuat Perhitungan Pada Zacky

 "Lihat aja nanti! Kalau dia nggak keluar, gue bakal lempar rumahnya pake bata," gerutu Grace. Rasa bencinya memekat pada sosok pria yang berani-beraninya menyakiti hati sahabatnya.

Sampai Ema mau bunuh diri? Membayangkan Ema meronta-ronta, mengamuk tak keruan di rumah sakit tadi, membuat rasa dendam dan kebenciannya semakin gelap terhadap Zacky. Tepat setelah Wirya datang dan terkejut mendengar cerita Grace, dengan langkah gontai Grace langsung pergi dari rumah sakit. Menelepon pasukannya untuk bergabung dan melancarkan serangan. Sarah dan Senja pun dengan hati berkobar-kobar ikut mengaduk rencana di dalam mobil Pajero Grace yang melesat cepat setelah berbaik hati menjemput kedua temannya.

"Sampai segitunya, Grace? Gue nggak nyangka Ema sampe punya niat bunuh diri," sambung Senja sambil turun dari mobil, "gue nggak bakalan maafin cowok pengkhianat kayak Zacky!"

Grace memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah Zacky yang berada di area komplek perumahan. Ketiga gadis itu memasang muka garang, memicingkan mata. Masing-masing mengumpulkan tenaga dari rasa kebencian. Tanpa perlu berlama-lama, Sarah membuka pintu gerbang bercat merah megah sampai ototnya hampir menonjol. Ini sudah keempat kalinya mereka datang ke rumah ini. Hasilnya selalu sama. Zacky tetap tak mau menunjukkan batang hidungnya. Namun kali ini, mereka akan berusaha untuk membuat pengkhianat beracun itu keluar dari sarangnya.

Mereka melebarkan langkah panjang sigap. Berdiri tepat di depan pintu rumahnya. Penuh emosi dan tenaga, Grace mengetuk pintu yang terbuat dari kayu damar itu kuat-kuat. Dentuman itu diiringi dengan suara lantang Senja dan Sarah yang sengaja memancing suasana menjadi gaduh.

"Permisi! Assalamualaikum!" Grace terus mengetuk pintu hingga beberapa detik kemudian suara lantang mereka membuat sang penghuni rumah keluar. Akhirnya, mereka mendapat sambutan delik dari Tiwi, mamanya Zacky.

"Kalian nggak bisa sopan apa? Teriak-teriak di depan rumah orang sesukanya? Mau apa lagi kalian datang kemari?" omel Tiwi. Tangannya ia lipat di dada seperti rentenir mau menagih hutang, tgapi itu tidak menggetarkan kuda-kuda ketiga gadis tersebut.

"Tante! Tolong suruh Zacky keluar. Kita mau ngomong sama dia." Grace paling pertama buka suara. Oleh karena itu dia mendapat hadiah delikan dari Tante Tiwi.

"Sudah saya bilang dari kemarin-kemarin, Zacky nggak ada. Saya juga nggak tau dia ada di mana!"

"Nggak usah bohong, Tante. Tante kan mamanya, nggak mungkin nggak tahu di mana keberadaan Zacky. Zacky itu udah bikin temen saya jadi depresi sampai hampir mati bunuh diri. Jadi kita minta kasih tahu di mana Zacky!?" cecar Senja.

"Temen kamu mau mati atau nggak itu bukan urusan saya dan anak saya. Yang punya nyawa kan dia!'

Grace protes, "Tante bener-bener nggak punya hati, ya?"

"Diam kamu!"

Grace seketika bungkam. Untung saja masih ada Senja si mulut cadas membela. Sedangkan Sarah hanya diam mengamati situasi, karena bertengkar dengan orang lain sama sekali bukan tipenya.

Senja tak mau kalah. "Tante! Kalau sampe orang komplek sini tau Tante ngumpetin Zacky cuma gara-gara nggak mau anaknya punya pacar cacat kayak Ema, saya yakin mereka pasti bakal jadi omongan semua orang,. dan keluarga Tante bakal dijelek-jelekin!"

Sarkas! Ancaman Senja memecah. Wanita setengah baya itu bungkam seketika. Wajahnya memerah masam.

"Jaga mulut kamu perempuan setan!" balas Tiwi.

"Terserah Tante mau ngatain saya apa! Saya akan umumkan ke orang-orang kalau Nyonya Tiwi Ibrahim yang terhormat ternyata berhati kejam Dan sadis!"

"ZACKY! KELUAR LO!" teriak Sarah.

"Heh! Jangan teriak-teriak di rumah saya! Lebih baik kalian pergi dari sini. Sudah saya bilang Zacky nggak ada. Pergi kalian!"

"Kami nggak akan pergi sebelum Zacky keluar!" ancam Senja.

Tiwi menaruh benci pada Senja. Ingin rasanya dia menampar mulut pedas bocah tengik yang tak berhenti menjerit-jerit di beranda rumahnya.

Apalagi ketika Senja kembali berkata sarkas. "Zacky! Lo betul-betul nggak punya perasaan! Ema menderita di rumah sakit, tapi sebentar aja lo nggak pernah jengukin dia! Punya otak nggak sih lo? Ema hampir bunuh diri gara-gara elo!"

"Cukup! Pergi sekarang juga kalian!" Tiwi mengusir mereka dengan kasar. Timbullah saling dorong-mendorong, hujat-menghujat. Suasana gaduh, riuh mengundang para tetangga datang untuk menonton pertengkaran seru yang langka terjadi. Akan tetapi mereka tak peduli. Tiwi tetap mengusir mereka dengan amarah tak terkendali. Sedangkan Grace dan kedua temannya masih berteriak-teriak memanggil Zacky yang tak kunjung keluar dari dalam rumah.

Tiwi mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan. Ia mengancam akan melempar salah satu di ntara mereka bila tidak juga angkat kaki dari tempat itu.

"Oke, Tante! Kita akan pergi! Tapi inget! ini bukan terakhir kalinya kita datang ke sini. Kita akan terus datang sampai kalian muak dan malu sama orang-orang. Sampai kapan pun! Zacky nggak akan bisa hidup tenang!" Grace melotot. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajaknya.

"Tapi, Grace! Zacky belum keluar. Kita harus buat perhitungan sama dia, kan?" Sarah mencibir menahan tarikan tangan dari Grace.

"Suatu hari, Zacky yang akan datang dan menyembah pada kita!" celetuknya penuh emosi.

Grace lebih dulu mengambil langkah meninggalkan Tiwi yang mengomel-ngomel tak jelas dengan mata melotot lebar. Tak malu dilihat para tetangganya yang tampak berbisik-bisik.

Namun. tetap saja Senja tak mau kalah. Diambilnya batu berukuran sekepal tangan di dekat parit, kemudian melemparkannya seperti ketapel tepat ke arah jendela kaca depan rumah itu.

Suasana semakin riuh. Sebelum Tiwi memblas mereka dengan hal yang lebih berbahaya, ketiga gadis itu pun melesat cepat melewati kerumunan orang bau amis yang heboh mengguncing, kemudian menenggelamkan diri di dalam mobil.

***

Lebih berhati-hati tepatnya. Psikis Rei bisa saja terganggu karena ia belum bisa menerima kenyataan pahit yang dialami. Ia sendiri sadar kalau apa yang menimpanya adalah sebuah hukuman. Barangkali sebuah kutukan. Hanya saja ia tak menyangka Tuhan memberikan ia kutukan seburuk ini. Apa lagi yang bisa ia lakukan?

Setiap kali Vivi dan Wirya memperlakukannya dengan sangat tulus penuh kasih sayang tak terbayar, semakin membuatnya merasa sakit. Sepasrah mungkin ia ingin mengatakan siapa dia sebenarnya. Berharap dengan sangat untuk bisa melepaskan belenggu yang menyiksa tubuhnya dengan langkah kejujuran. Namun ia berpikir, menimbang-nimbang bahwa meskipun ia mengatakannya, maka hasilnya pastilah akan lebih sulit. Kehilangan seluruh gerak tubuh merupakan hal yang sangat berat dan menyedihkan, tetapi akan lebih menyedihkan lagi bila ia harus kehilangan orang yang menyayanginya dengan sangat, di saat ia membutuhkan uluran tangan dan simpati orang lain.

Meskipun kenyataan yang sesungguhnya adalah, kedua orang saudara palsunya itulah yang telah membuat ia mengalami semua penderitaan ini. Vivi dan Wirya telah turut andil menjebaknya tanpa sengaja hingga ia terpaksa menyimpan rahasia besar ini seorang diri. Apa jadinya bila ia berkata: Selama ini aku bohong. Aku bukanlah Ema, tapi aku adalah seorang gadis yang berwajah mirip dengan Ema.

Omong kosong. Bunuh diri namanya.

Walaupun ia lebih memilih bunuh diri ketimbang harus menanam benih kebohongan yang sudah berakar selama tiga tahun. Daripada ia harus menipu orang lain dengan segala karisma yang dipunya, mendapatkan integritas palsu. Sudah dibilang bunuh diri dan mati adalah opsi utama yang akan dia pilih.

Bagaimana pun tetap terasa sulit. Tak satu pun dari mereka yang mau membiarkannya mati. Barangkali mereka lebih senang melihat ia tetap hidup dalam penderitaan yang siap menelannya mentah-mentah. Sekeras apa pun usahanya untuk mengakhiri hidup, selalu saja gagal. Angka nol bulat-bulat. Tak ada hasilnya sama sekali. Malah akan menambah depresi jiwanya sendiri.

Mereka butuh seseorang yang bisa menenangkan jiwa Rei. Tapi siapa? Zacky? Dia sudah musnah. Laki-laki yang selama ini diharapkan bisa memberikan semangat hidup buat Rei malah tak muncul meskipun sudah dikorek dalam-dalam keberadaanya.

Sekukuh bagaimana pun Vivi akan tetap berusaha meluruskan jalan pikiran adiknya lagi. Ia tak peduli seberapa lama semangat hidup adiknya membaik, tak akan gentar meski Ema mencoba mati dengan berbagai cara. Tangannya yang penuh kasih akan menyelamatkannya dari keterpurukan yang dalam, melindunginya dengan segenap jiwa dan raga, merawatnya setulus hati.

"Mbak janji, Ma!" Kalimat itu terujar jelas di telinga Rei yang semakin menunjang batinnya yang tertekan.

Di dalam kamar rawat, Vivi berhasil menenangkan jiwa adiknya setelah menyelamatkannya dari kedramatisan amuk yang memuncak akibat rasa sakit yang semakin mencincang seluruh tubuhnya. Vivi bisa saja memanggil dokter dan menyuntikan bius untuk menghentikannya, tapi ia tak butuh itu. Akan semakin menyakitkan bila adiknya terus-terusan berada di bawah pengaruh anastesi.

Vivi menyelimuti tubuh adiknya sampai batas dada, memberinya hawa panas agar kulitnya berkeringat. Setidaknya matahari terik di pagi hari cukup memberikan kebutuhan vitamin E yang diperlukan. Bau obat-obatan yang tajam sudah akrab di hidung Vivi. Rumah sakit rehabilitasi bagaikan rumah kedua baginya selama tiga bulan terakhir. Ia rela meninggalkan restoran hanya untuk menjaga adik tersayang. Biarlah Mas Wirya yang menghandle semua restoran untuk sementara waktu. Mereka bisa berbagi tugas setiap hari.

Setidaknya masih punya tiga sahabat yang selalu menemaninya melewati masa-masa sulit. Membantunya untuk tersenyum walau hanya sedikit. Menyemangatinya dengan penuh perjuangan dalam balutan persahabatan. Tak ada yang bisa mencegah mereka untuk berkumpul bersama, bercanda seperti dulu meskipun dalam porsi yang berbeda. Sedikit menjaga omongan agar tidak menyinggung perasaan Rei yang sedang sensitif level tinggi.

Rei tak bisa bergerak dari ranjang rumah sakit ketika harus melewati serangkaian ujian kelulusan yang berat. Ingatan tentang mata pelajaran yang mati-matian ia pelajari selama tiga tahun bersekolah seakan-akan meluntur akibat pengaruh anastesi yang hampir membuat isi kepalanya tak punya daya apa-apa untuk mengingat. Vivi membantunya melingkari poin-poin yang Ema pilih di lembar jawaban karena tangan kanannya belum sepenuhnya bisa bergerak bebas.

Beruntungnya, Rei yang memang sedari awal memiliki kapasitas IQ di atas rata-rata hingga akhirnya ia bisa menyelesaikan semua soal meskipun memakan waktu hampir tiga jam. Sang petugas pengawas memaklumi hal itu selama beberapa hari Rei melewati kegiatan ujian. Dan kini, ia hanya tinggal menunggu pengumuman itu memberikan hasil yang diinginkan.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro