14. Dia yang Tampan dan Menyenangkan
Rei memanggil seorang waitress dan menyuruhnya untuk mengambilkan segelas es caramel machiato sebagai teman bersantainya di sore hari yang panas ini. Ia memandangi situasi di dalam restoran bagian kelas biasa, beberapa dari para pengunjungnya Lagu klasik terdengar mengalun indah mengiringi kesibukan orang-orang yang sedang hikmat menyimak setiap cerita yang diujarkan teman semeja mereka. Ada yang tertawa, ada yang malu-malu dihadapan pasangannya, ada juga yang sedang serius makan tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Sebagian dari mereka menyantap hidangan dengan wajah berseri-seri tanpa terlihat komplain sedikit pun.
Matanya masih liar memandangi mereka yang cukup menarik perhatiannya. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman bahagia atas kepemilikan restoran ini untuknya. Walaupun sebenarnya itu bukanlah haknya, tapi ia selalu menyangkal hati kecilnya. Kenyataan yang sebenarnya adalah, ia sudah terperosok jauh kedalam peran yang ia mainkan sendiri, sehingga membuatnya tidak bisa lepas dari panggung sandiwara yang ia sutradarai. Ia tak akan mau berhenti dari tokoh yang ia lakonkan sampai kapan pun.
***
"Oke, Mbak!" Rei menutup ponselnya. Kemudian melajukan motor matic-nya dengan tarikan gas rendah.
Vivi baru saja memberinya pesan untuk tidak pulang terlalu malam sepulang les masak. Meskipun harus berpura-pura patuh pada instruksi sang kakak, Rei tetap akan menghabiskan waktu di sore hari yang cerah ini untuk memuaskan batin lewat hobby barunya. Yaitu memotret.
Semenjak Rei menemukan kamera Nikon di kamarnya, ia selalu terobsesi dengan yang namanya memotret dia pintar menjadikan apa saja sebagai objek, kefokusannya terhadap objek foto membuat gambar yang dihasilkannya bernilai mahal. Semua orang yang mengenalnya mengakui kalau Ema mempunyai bakat terpendam dalam seni potret. Semua gambar yang dihasilkanya berhasil membuat semua orang tertarik dan kagum. Ia begitu cepat mahir. Dan ia menyadari kemampuannya itu merupakan kelebihan sejak kecil. Talenta yang ia miliki sangatlah besar pengaruhnya terhadap kemajuan dan kesuksesannya yang akan dihadapi suatu hari nanti.
Rei menelusuri setiap jalan berliku kota Medan. Jalanan agak macet di Jalan Setia Budi, mobil dan motor berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi jalan yang leluasa. Angkutan umum yang seenaknya saja menelan dan memuntahkan penumpang di pinggir jalan malah membuat jalanan tambah macet. Suara klakson kendaraan-kendaraan yang tak mau mengalah terasa hingar bingar di telinga.
Tak mau kalah, Rei pun mengikuti jejak motor yang ada di depannya, menyalip kendaraan untuk mencari ruang kosong dan berusaha untuk tidak menggores mobil orang. Dia lihai menyalip. Untung saja ia naik motor, kalau tadi naik mobil pasti dia tidak akan bisa cepat sampai di tempat yang telah berhasil dituju.
Rei memarkirkan motornya di sebuah pinggiran sawah seluas dua hektar lebih. Padang sawah yang hijau itu telah menggoda imannya untuk segera berlari dan menelusuri padi-padi yang usianya masih tiga bulan. Awan-awan putih yang berarak di atas sana seolah memayungi para petani yang sedang bekerja keras merawat ladang mereka.
Tak mau kehilangan momen, kesabarannya yang terbatas menuntut Rei untuk mengambil beberapa objek. Seorang Pak Tani yang sedang memegang sebuah arit dan genggaman rumput di tangannya terpaksa harus berpose dengan tawa yang riang untuk memenuhi permintaan seorang gadis cantik yang sibuk mengatur skala potretnya. Setelah itu, Rei mengucapkan terima kasih lalu kembali berjalan menelusuri jalan setapak.
Hingga lelah merenggut kekuatannya untuk terus mengacungkan keinginanya yang tak mau berhenti. Terik matahari di barat sana membuat tenggorokannya membutuhkan air untuk dibasuh. Mungkin Rei bisa menunggu matahari sedikit terbenam untuk mendapatkan pemandangan yang lebih menakjubkan.
Kelelahan yang dialami Rei meminta tubuhnya untuk beristirahat sejenak. Gubuk di tengah sawah itu seolah mengajaknya untuk bergabung.
Tanpa sengaja Rei melihat seorang pria berpakaian seragam sekolah sedang duduk melipat lutut di dalam gubuk yang hanya berukuran 2 x 2 meter. Tanpa rasa peduli atau takut, dan dikarenakan keterpaksaanya untuk beristirahat, Ema pun bergegas menuju gubuk tersebut. Kemudian duduk di bagain sisi samping gubuk. Lebih tepatnya―ia tak mau berdekatan langsung dengan cowok yang tak dikenalnya.
Ia menarik napas panjang, kemudian mengipas-ngipas lehernya dengan tangan sambil bersandar di tiang gubuk yang kelihatannya baru saja dibangun beberapa minggu lalu. Keringat yang mengucur deras dari keningnya telah membasahi handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan.
"Udah siap motretnya?" Suara itu tiba-tiba muncul.
Rei terkejut dan dengan sigap menegakkan tubuh yang tadinya lunglai. Ia tahu dari mana suara itu berasal, siapa lagi kalo bukan cowok berkulit putih dan berambut hitam lebat―dan sedang memperlihatkan wajah ramah padanya.
Rei memperhatikan cowok itu, mengorek- ngorek ingatannya yang berasumsi bahwa―pria itu tak asing. Ia merasa yakin pernah bertemu dengannya entah pada waktu kapan, di mana dan (sesungguhnya ia tak terlalu yakin akan hal itu).
"Elo?" tanya Rei singkat penuh rasa penasaran yang tinggi.
Cowok itu tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya bermaksud menjabat. "Zacky," sebutnya memperkenalkan diri.
Sepercik memori pun datang menghantarkan data tentang keberadaan cowok yang bernama Zacky itu. Kini ia mulai ingat. Cowok yang menjadi salah satu anggota OSIS di sekolahnya (ia tak mendapat gambaran di bagian seksi apa), dan sekaligus kakak kelas yang pernah mengospeknya sebagai kakak senior yang paling santai dan tidak heboh seperti kakak senior yang lain.
"Oh ... Zacky? Iya..iya gue inget. Mmm ... kenalin gue―"
"Ema, kan?"
Rei langsung terdiam, belum sempat dia memperkenalkan diri, tapi Zacky sudah mengenalnya. Apa sebegitu populernya dia di mata anak-anak Smansa?
"Lho? Kok lo bisa tau nama gue?"
"Tuh, ada nama lo di tali gantungan kamera."
Rei mengecek. Ternyata benar, malahan ia baru tahu detik ini bahwasannya di tali gantungan kemera itu ada nama "Ema". Padahal sempat GeEr dikirain cewek populer.
"Oh, iya. Hehehe ..." Ekspresinya memaklumi. "Eh, lo anak Smansa, kan? Sama, gue juga anak Smansa."
"Gue udah tahu," jawab Zacky singkat dengan gaya agak cuek.
"Kok tahu?" Lagi-lagi cowok ini bisa menebak. Padahalkan Ema gak lagi pake seragam sekolah.
"Siapa yang nggak kenal sama lo, sih? Cewek konglomerat yang punya banyak restoran di kota." Ternyata gue memang populer, pikir Rei dalam hati, bangga. "Mana temen-temen lo yang lain? Biasanya kalian selalu ke mana-mana barengan."
"Mmmm ... hari ini geu lagi pengen sendirian. Lo tau dong ... nih." Ema menunjukkan kamera Nikon-nya pada Zacky. "Lo sendiri? Ngapain di sini?"
Wajah tampannya mengarah tepat ke hadapan Rei, jadi ia bisa melihat dengan jelas struktur wajahnya yang terlihat menawan. Berkarismatik, dan cowok ini punya aura yang berbeda. Ada sesuatu yang membuat ia tertarik, melihat wajah Zacky seakan mendapatkan kedamaian secara tiba-tiba. Senyumnya itu terlihat sangat tulus, seperti seorang anak kecil yang polos.
"Siapa bilang GUE sendiri? Kan ada lo."
"Haha! haha!" Mereka pun tertawa. Saling menampakkan ekspresi di setiap pembicaraan yang membuat kehangatan serta keramaian di tengah sejuknya angin yang menghempas tubuh lelah mereka.
The first sight is not too bad. Rei merasa cocok dengan pria satu ini, dia begitu baik, ramah, sopan, lucu dan tidak menggombal seperti pria-pria lain. Rei suka cara dia menatap, matanya yang tajam menunjukkan keseriusannya dalam berpikir dan bertindak. Pantulan cahaya matanya begitu jujur setiap kali Zacky memandangi wajah Rei yang tersipu malu. Mereka pun berswafoto bersama di bawah langit senja yang indah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro