13. Tugas dan Tanggung Jawab Baru
Tidak butuh waktu lama untuk membuat mereka menjadi populer di sekolah. Hampir semua anak-anak di Smansa kenal dengan yang namanya Ema, cewek manis dan tajir yang keluarganya punya banyak cabang restoran dan selalu menggantungkan kamera Nikon-nya di leher.
Begitu juga dengan Grace, cewek berkacamata minus dengan tinggi semampai dan langsing ini tak diragukan lagi soal ilmu bela diri. Harus ekstra hati-hati jika berurusan dengannya, sedikit saja tak menjaga omongan, jurus tendangan kambing beranak bakal menjadi serangan mengerikan bagi siapa saja yang membuatnya sakit hati dan marah.
Sarah si cewek berisi dan berotot itu paling hebat jika dihubungkan dengan permainan bola kaki. Semua jenis olahraga hampir semua bisa ia kuasai. Dari olahraga air, darat, udara sampai bawah tanah juga bisa. Ia juga dinobatkan sebagai salah satu siswa yang paling diandalkan untuk olimpiade olahraga antar sekolah. Jangan heran kalau semua pegawai dari Kepsek, guru, satpam sampai tukang semir sepatu pun mengenalinya.
Berbeda dengan Senja yang kepopulerannya khusus―bisa dibilang eksklusif di mata para cowok. Bagaimana tidak? cowok mana yang tidak tergoda setiap kali melihat Senja datang ke sekolah pagi-pagi dan menebarkan pesona kecantikan wajahnya yang didukung dengan postur tubuh yang tidak kalah seksi dengan Emma Watson. Ditambah lagi dengan keharuman tubuhnya yang selalu semerbak dan membuat cowok-cowok sampai Pak Kepsek dan guru Agama pun tidak mau melewatkan nuansa keharuman ketika ia lewat. Tidak heran jika tas sekolahnya itu isinya dipenuhi dengan botol parfum berbagai merek. Dari parfum yang paling murah sampai paling mahal. Produk lokal maupun produk luar negeri.
Yang jelas, hari-hari Rei bersama ketiga sahabatnya adalah saat-saat paling indah yang pernah dirasakan selama hidupnya. Mereka adalah teman bercanda yang gokil, sahabat dikala suka dan duka, juga sahabat yang paling bisa diandalkan dalam segala hal. Termasuk soal hati dan perasaan atau sebutan lainnya cinta.
Tidak sedikit cowok yang berusaha menggaet hati dan berniat menjadikan Rei pacar, tapi tidak satu pun dari mereka punya potensi di mata Ema. Mereka cuma cowok-cowok yang taunya tentang cinta monyet, cinta gombal tanpa tahu yang namanya cinta sejati dan setia. Mana mungkin Ema mau menyerahkan hatinya begitu saja pada cowok-cowok bertampang artis namun sadis. Yang ada hanya akan membuatnya sakit hati di belakang hari.
Ema tentu tidak menginginkan yang seperti itu. Setidaknya ada seorang cowok yang punya nilai lumayan di mata Ema, cowok yang berhasil membuatnya tidak bisa berkedip ketika memandangnya.
***
"Jadi besok kamu udah bisa mulai les masak sama Chef Robert, ya?" desak Vivi pada Ema di dapur Resto Ilalang saat memperkenalkan Chef Robert yang bertubuh padat dan berkulit putih kepada adiknya.
Rei menjabat tangan Chef Robert yang hangat dan sedikit basah, mungkin dia baru selesai cuci tangan.
"Oke, Mbak. Tapi nggak tiap hari, kan?"
"Enggak, Mbak. Dua hari sekali aja, habis pulang sekolah, Mbak Ema langsung datang ke dapur aja. Saya akan mengajarkan Mbak berbagai macam makanan, mulai dari yang sederhana." Chef Robert menerangkan. Wajahnya yang dipenuhi bekas jerawat terlihat memerah, mungkin karena terkena asap atau uap selama di dapur.
"Oh gitu, Chef. Oh iya, supaya lebih enak panggil Ema aja dong, Chef. Jangan Mbak ... Mbak segala, Ema nggak setua Mbak Vivi kali!"
"Husss! Ema, apa-apaan sih?" tegur Vivi sebel. Mereka pun tertawa. "Oke udah cukup kenalannya, inget setiap jadwal kamu ya, Ma? Kalau kamu belum pinter masak, Mbak dan Mas Wirya nggak akan bisa sepenuhnya kasih kepercayaan resto ini ke kamu."
"Mbak liat aja nanti, dalam waktu tiga bulan, Ema pasti bisa ngalahin Mbak Vivi."
"Oke! Mbak tunggu. Sekarang kita ke kantor."
Ema beranjak dari dapur setelah mengucapkan salam kepada Chef Robert yang akan menjadi gurunya nanti. Langkahnya yang gontai karena lelah sepulang sekolah lurus mengikuti ke mana arah Vivi pergi.
Ini adalah kali keduanya Ema datang ke Resto Ilalang, tempat yang sungguh menarik bagi para konsumen yang percaya akan pelayanan dan sajian istimewa. Meja-meja VIP terlihat penuh, beberapa dari mereka merupakan suatu keluarga atau rekan kerja. Cara mereka makan begitu berkelas dan formal, pakaian yang dikenakan juga terlihat mahal dan rapi, pelayan yang diutus pun haruslah pelayan yang punya pengalaman lebih dan terlatih supaya tidak terjadi kesalahan dalam mengambil sikap.
Mereka telah sampai di kantor yang dulunya dihuni oleh Mas Wirya. Ema menemukan dua meja kerja yang diletakkan laptop di setiap meja yang tertata rapi dan bersih. Ada sebuah lemari berisi file-file penting terjilid dalam beberapa map Bambi yang sudah terbagi menjadi beberapa kategori arsip. Ema merasakan dinginnya AC membuat ruangan ini bertambah nyaman. Sebuah sofa dan meja rendah disediakan tidak jauh dari samping pintu masuk. Fasilitas itu disediakan untuk menerima tamu penting atau sekadar untuk tempat beristirahat.
Vivi duduk di sofa kemudian menarik napas panjang. Sedangkan Ema berdiri dengan pandangan liar melihat-lihat isi kantor yang baru dikenal olehnya. Pikirannya pun gundah, ia sudah menebak, pasti akan sangat banyak pekerjaan yang harus dikerjakan dia nantinya.
"Ini kantor kamu nantinya, kamu udah tau, kan? Mas Wirya punya lima cabang Restoran Vedjetar sedangkan Mbak punya empat café Salty. Nah tiga cabang restoran Ilalang ini adalah bagian kamu, dan resto yang ini adalah pusatnya. Jadi segala aktivitas office bisa kamu kerjakan di sini, nanti kamu akan dibantu sama asisten kamu. Namanya Tini, Mbak udah bilang sama dia kalau mulai besok kamu udah bisa mulai tanya-tanya apa aja yang diperlukan dalam kerjaan kamu. Tapi inget, jangan terlalu keliatan bodoh."
"Ya ... nggak segitunyalah, Mbak. Ema kan bisa tanya-tanya ke Mbak kalau ada yang nggak Ema mengerti. Bukanya Mbak yang bilang gitu?"
"Iya, Mbak nggak mungkin lupa itu. Sebelum kamu berurusan dengan ini semua, Mbak yang akan mengurusnya." Vivi menegaskan.
"Jadi, Ema gak perlu setiap hari ke kantor, kan?" Terdengar nada khawatir dari pertanyaannya.
"Kamu kan baru berumur enam belas tahun delapan bulan lagi, jadi sebelum tanggal 12 Agustus, kamu datang ke kantor untuk mempelajari file-file aja. Jadi kapan kamu mau datang ya terserah kamu, begitu juga kalau udah berumur enam belas tahun. Kamu ini kan bos, kamu harus tahu gimana cara bekerja yang baik. Ngerti?"
"Itu motivasi atau omelan, Mbak?".
"Dua-duanya deh untuk kamu!"
Ema menaruh tangan kanannya di kening meniru gaya hormat. "Siap! Jalankan tugas, Bos! Eh Mbak maksudnya."
"Hahahaha...! Udahan Mbak mau pulang nih, masih ada tugas kuliah numpuk. Kamu mau ikut sama Mbak atau pulang sendiri? Biar nanti Si Udin Mbak suruh jemput kamu."
"Mmm ...." Ema berpikir sejenak hingga akhirnya memutuskan untuk pulang sendiri. "Ema pulang sendiri aja, Mbak. Naik becak aja deh."
Vivi menyunggingkan bibir sedikit tertawa lalu hengkang dari sofa, merapikan pakaian serta rambutnya yang baru saja di blow. "Oke... Mbak duluan ya?"
"Yoi, hati-hati dijalan banyak aspal, Mbak," candanya sambil ketawa cekikikan. Kini ia bebas sesuka hati.
Dilaluinya orang-orang yang sedang makan di restoran, sengaja ia mencari tempat duduk yang nyaman untuk sekadar menyeruput kopi menghilangkan kelelahan yang agaknya hampir membuat dia suntuk. Suntuk karena dibebani pekerjaan yang seharusnya belum menjadi tugas remaja seperti dia.
Hufff ... jadi orang kaya itu ternyata nggak segampang yang aku pikir. Malah kebanyakan tanggung jawabnya daripada senangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro