Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Sekolah dan Sahabat Baru

Rei menundukkan dagu, menelan air ludahnya kemudian menatap kedua pasang mata yang memperlihatkan ribuan tanda tanya seolah akan mencuat keluar.

"Dari awal aku udah bilang, kalau aku bukan Ema." leher Vivi terlihat menegang. "Waktu aku berumur delapan tahun, papaku yang seorang warga Negara Irlandia beserta mama meninggal dalam sebuah kecelakaan. Mereka dimakamkan di sini. Di Belfast, setidaknya itulah yang ku tahu."

"Ema?" Wirya membenarkan posisi anaknya yang kelihatannya sudah tak sabar untuk masuk ke dalam taxi. "Lagi-lagi kamu bicara ngaco."

"Aku rasa kalian sudah tahu, alasan kenapa aku memilih pergi ke Irlandia."

Ya tuhan, ini perbuatan paling nekad yang pernah dilakukan Rei seumur hidupnya. Mengakui kesalahan―kebohongan sendiri di hadapan korbannya. Ia bahkan memasang wajah garang menantang, seperti hendak menyombongkan diri. Bangga setelah melihat ekspresi keterkejutan Wirya dan Vivi yang ternyata―bisa membuat ia menitikkan air mata. Tatkala menyadari kebodohannya selama ini, karena telah membohongi orang sebaik mereka.

"Aku harus berhenti sampai di sini. Semuanya selesai." Ia mengambil langkah mundur menjauh, "terserah kalian mau melakukan apa padaku. aku bakal terima."

"Cuma sampai di sini?" Vivi merentangkan tangannya lalu jatuh di antara kedua paha. Sedangkan Wirya masih kerepotan menyikapi Billy. "Kamu kembali ke rumah, mengatakan hal- hal bodoh nggak masuk akal. Seperti orang amnesia, lalu tiba-tiba kamu bertingkah aneh dan mengakui diri sebagai Ema. Apa kamu sadar sama apa yang sudah kamu buat? Tentang perasaan kami? Kamu anggap kami orang tolol?"

Ketika Rei terdiam―tak menjawab―ia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya yang dingin. Tapi ternyata mereka masih ada di dalam loby hotel. Sama sekali belum bergerak kemana-mana.

***

Dalam situasi tertentu, terkadang seseorang terpaksa menuruti kehendak orang lain. Ema alias Rei, telah gagal. Ia tak berhasil menemukan apa yang sedari awal menjadi titik mula sandiwaranya. Rasanya seperti kehilangan kesadaran, jati dirinya seolah-olah telah beralih pada kepribadian orang lain. Berat rasanya meneruskan perjalanan ini, tapi ia tak punya pilihan. Orang- orang itu telah berbuat banyak untuknya, terlalu baik, menganggapnya sebagaimana seseorang yang paling berharga di dunia―paling berarti.

Ia tak mungkin tega mengatakan hal yang sebenarnya, lalu melihat mereka menyesali kesalahan yang telah membuat ia terjebak dalam tipu dayanya sendiri. Walau bagaimanapun, kedua saudara palsunya itulah yang telah membantunya keluar dari kesulitan hidup; membantunya menemukan makna baru dalam masa pendewasaan; membantunya mewujudkan semua keinginan juga cita- cita yang―bahkan tak pernah terpikir sebelumnya. Lalu Rei menyerah, ia pun berlalu dari masa lalu. Dan kembali bertekad untuk mempertahankan semua ini sesempurna mungkin.

Hari minggu yang melelahkan menyapa mereka ketika kembali ke rumah setelah liburan yang cukup mengesankan. Kini saatnya berurusan dengan sekolah. Rei mendapat predikat yang cukup lumayan untuk masuk di SMA Negeri 1 Medan. Ia berhasil melewati tiga hari masa orientasi yang cukup melelahkan, menyebalkan dan hampir saja membuat ia latah―memukuli kakak seniornya yang bersikap kurang ajar padanya―memperlakukannya seolah-olah ia perempuan yang tak punya harga diri.

Seorang guru mata pelajaran fisika yang akrab di panggil Bu Saragih dan sekaligus sebagai wali kelasnya―memberlakukan peraturan tempat duduk. Rei ditempatkan di bangku paling belakang karena tinggi badannya yang―membuat ia harus menjadi siswa yang mengalah. Tempat duduk yang paling tak ia sukai. Orang yang duduk di belakang biasanya cenderung terbelakang, identik dengan murid pemalas yang tak tahu apa-apa selain tertawa keras-keras, mencontek dan sekaligus meja yang paling cocok untuk tidur saat mendapati pelajaran yang membosankan.

Jika disuruh memilih, ia akan minta duduk di bagian tengah barisan, atau depan adalah pilihan yang tidak terlalu buruk. Para guru akan lebih mudah mengingat wajah serta namamu jika kau duduk di barisan depan. Dan bersiap-siaplah untuk menjadi orang pertama yang ditunjuk maju ke depan saat menyelesaikan soal.

Setelah pembagian kelas dan juga bangku selesai, Bu Saragih memperbolehkan mereka beristirahat. Rei menggaet seorang cewek cantik semampai sebagai teman barunya sekaligus teman sebangku. Namanya Senja. Setelah sepakat untuk mengobrol di kantin, Rei dan Senja seakan butuh waktu lebih lama daripada sekedar lima belas menit untuk membicarakan tentang kehidupan mereka masing- masing. Ketika mereka terhanyut dalam pembicaraan heboh, dua orang cewek berpenampilan rapi dan bersih tanpa ada noda sedikitpun di sepatunya datang secara mengejutkan.

"Hai, Ema!" panggil salah satu dari kedua cewek itu.

"Hai!" sapanya balik dengan ekspresi sedikit bingung melihat wajah asing mereka.

"Gue nggak nyangka lo sekolah di sini juga." Pekik salah seorang berkacamata minus sembari tersenyum. Itu adalah senyum keramahan terindah yang pernah di lihat Rei, "kita satu kelas loh!"

"Hah? Memangnya kenapa?" tanya Ema tak mengerti. Kenapa dia harus kasih pengumuman ke semua orang kalau dia masuk ke Smansa? Memangnya penting?

"Ya ampun! Lo nggak lupa kan sama temen SMP lo ini?"

"Temen SMP?" Wah gawat... gue sama sekali gak kenal mereka, gimana jalannya gue kenal sama temen-temen SMP-nya Ema.

"Grace!" Cewek itu menunjuk dirinya sendiri meyakinkan Rei bahwa dia adalah teman semasa SMP dulu.

Rei memandangi mereka satu per satu dengan ekspresi bingung bercampur linglung.

"Sama gue juga lupa, Ma? Sarah ... ini Sarah lho. Baru tiga minggu lulus, udah amnesia aja sih?"

Maafin gue menjadikan kalian korban, sobat! ujarnya dalam hati.

"Hahahaah ...! Ya kali gue lupa sama kalian, gak mungkinlah. Gue cuma ngetes kalian. Astaga...gak nyangka kita satu sekolah lagi. Gue seneng banget." Rei memeluk Grace dan Sarah dengan tawa menyeringai (sok ramah), lalu melompat-lompat girang tak ubahnya pengemis yang baru nemu uang satu koper di jalan.

Yang niatnya mau bikin Grace dan Sarah senang, malah bikin mereka diam terpelongo melihat tingkah temannya yang aneh dan benar-benar berbeda seperti sebelumnya. Ia tidak seperti Ema yang pernah mereka kenal, yang lebih pendiam, lemah lembut, selalu jaga imej dan tidak norak begini.

Akhirnya Grace pun mengajukan pertanyaan padanya. "Tingkah lo aneh banget sih?"

"Sejak kapan lo jadi norak kayak gini?" sambung Sarah.

"Sekali-sekali norak kan nggak ada yang ngelarang? Gue capek jadi cewek yang selalu sok jaga imej di depan orang." Ema tertawa keras. "Kalian suka kan kalo temen kalian gokil kayak gini? Hidup ini jadi lebih berwarna tau! Nggak ngebosenin."

Grace dan Sarah saling bertukar pandang, kemudian perlahan melebarkan senyum dan menganggukan kepala. "Bener-bener, kita kan remaja. Jadi nggak perlu sok jaim-jaim di depan semua orang. Jadi cewek gokil keren juga, kan?"

"Gua suka gaya lo! Hahaha ...!" Sarah tertawa lebar sampai keliatan gigi depannya yang sompel. Lagi-lagi Ema berhasil dalam misi perubahan karakter seorang Ema.

"Oh iya! Ini, kenalin temen baru aku. Namanya Senja. Senja, kenalin ini Grace dan yang rada ompong itu Sarah." Ema memperkenalkan Senja pada Grace dan Sarah yang manyun karena dikatain ompong. Sedangkan Senja yang bertubuh padat dan punya tinggi badan hampir setara dengan Rei itu dengan senang hati berjabatan tangan.

Sejak saat itu mereka berempat menjadi sangat akrab, Grace, Sarah, dan Senja telah menjadi sahabat yang sangat berarti baginya. Mereka selalu pergi ke mana-mana berempat, terkadang juga ke toilet rombongan. Keempat cewek itu duduk di kelas yang kebetulan sama, dan selalu membuat kelompok tunggal jika berdiskusi. Walau tak jarang di akhir cerita, malah Ema dan Grace yang menyelesaikan tugas diskusi itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro