Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Hidup Apa Adanya


Di sini, di dalam kamarnya yang redup, sempit, dan tak rapi, Renata yang biasa disapa Rei menghabiskan waktu sambil memainkan bola tenis. Menyandang setoples crackers gula kesukaannya sebagai bahan cemilan sebagaimana biasanya. Tangan kanannya sibuk menjatuhkan bola tenis tersebut ke lantai dengan pukulan kuat hingga bola itu melambung dan tertangkap kembali oleh tangannya.

Dia sedang malas menampakkan diri di bengkel, pamannya pasti akan menyuruhnya untuk membereskan motor. Jadi lebih baik ia memendamkan diri di dalam kamar, menerawang sebuah landasan imajinasi dengan cara berpikirnya yang tak terjangkau.

"Makan siang dulu, Rei." Bi Maria secara tiba-tiba masuk ke kamar, handuk kecil yang ia gunakan sebagai penutup kepala masih tersangkut di atas.

Rei bangkit, menangkap bola tenisnya dan berhenti bermain. "Pasti lagi-lagi gulai daun singkong," tebaknya.

"Syukur masih bisa makan sayur. Tadi Bibi ikut metik di ladang samping rumah namboru."

"Ikan asin?" tanyanya sembari bangkit berdiri, tak bisa dipungkiri bahwa perutnya benar- benar lapar saat ini. Rasanya ingin menggerogoti apa saja yang ada, kecuali sayur gulai daun singkong. Tak masalah mau daun apa yang dimasak, asalkan jangan disantan. Ia paling tidak suka menu makanan yang satu itu. Rasanya seperti kaus kaki busuk ketika tertelan di tenggorokan.

"Iya... pakai ikan asin. Cepetan! Mumpung nasinya masih hangat."

Ia berjalan melunglai seperti orang yang terkena polio. Sesampainya dimeja makan, ia hanya berselera dengan ikan asinnya saja. Ditemani nasi putih berkadar gula rendah, hasil dari perebutan antara para warga di rumah pak Kepling ketika beliau membagi- bagikan beras miskin.

Seulas senyum dan tawa kecil muncul begitu saja dari bibir Maria saat Rei mengaruh nasi dan ikan asin di piring.

"Bibi dengar gossip dari gadis-gadis sini, katanya kamu udah punya pacar?" Rei menghentikan kunyahannya seketika. Mengingkari bahwa semestinya ia merahasiakan tentang hubungannya dengan Miko rapat-rapat jauh dari bibir ember cewek-cewek pengguncing yang sering berkeliaran. "Benar?" tuding bibinya lagi.

Ia membuang napas, untuk apa ditutupi lagi? Pikirnya. "Namanya Miko," jawabnya terus terang.

"Miko anaknya tukang las itu?"

"Iya―dia bilang, dia gak punya cita- cita jadi tukang las kayak bapaknya. Bibi gak usah khawatir." Rei melanjutkan kunyahannya lagi. Hampir hilang selera.

"Kenapa? Bibi nggak keberatan kalau dia jadi tukang las, itu hak dia. Tukang las kan bukan profesi memalukan."

"Jadi, Bibi melarangku untuk pacaran sama Miko?" Kini ia benar- benar tak berselera makan. Berkali-kali duri ikan asin yang melumat di mulutnya terasa menusuk lidah. Diambilnya gelas berisi air putih lalu habis dengan sekali tegukkan.

"Kalian masih terlalu muda untuk mengerti soal cinta. Bukannya bibi melarang, tapi lebih baik kamu pikir betul-betul apakah kamu sudah pantas untuk membuat suatu hubungan khusus sama laki- laki?" Maria memaparkan.

"Cinta pertama," katanya. "Bukan berarti dia bakal jadi pacarku seumur hidup, 'kan?"

"Benar. Coba kamu lihat kasus si Desi anak pak Kepling, kamu mau kejadian kayak gitu nimpa kamu?" Rei mendongakkan kepalanya menatap mata serius bibinya, berceramah seperti pengkhotbah jum'at yang tak mau turun mimbar. "Bibi juga pernah muda kayak kamu. Gejolak cinta anak muda terkadang sulit dikendalikan, mereka selalu punya rasa ingin tahu yang nggak tersalurkan. Tapi terkadang rasa ingin tahu itulah yang malah menjebak mereka." Maria menarik napas memberi jedah antara sekat tenggorokannya. "Bibi cuma takut kamu terlibat dalam pergaulan seperti itu."

Anak perempuan yang terdiam dihadapannya itu seolah baru saja mendapat hukuman dari guru BP. Rei tahu betapa baik hatinya perempuan itu, meskipun dia bukan ibunya tapi pencerahan yang baru saja ia dapat sedikit demi sedikit membukakan mata hati.

Cinta. Terdengar cukup klise memang, saat ia tahu perasaan suka yang diutarakan Miko―mungkin saja cuma pelampiasan sesaat. Saat anak- anak mulai menjajaki pendidikan SMA, mereka bisa begitu mudah beralih pada hal yang menjadi kesukaan baru. Puberitas yang tak menentu juga bisa menjebak mereka tanpa alasan yang mendukung, bahkan melindungi mereka dari sifat tak tahu diri akibat pengaruh lingkungan yang berdalih kesenangan.

"Lama-kelamaan juga Rei bakal bosen sama dia. Bibi gak usah takut, Rei bisa jaga diri baik-baik." Ia tersenyum, kemudian bangkit menegakkan kaki dan menyentuh bahu bibinya dengan penuh kasih. Merangkulnya hingga Maria bisa mendengar napas yang keluar dari hidung keponakannya itu. "Keponakan Bibi ini sekarang udah gede, Rei bisa membedakan mana yang pantas dan gak pantas. Bibi yang selalu mengajarkan Rei untuk tahu memilih."

"Kurasa udah waktunya kamu tinggalkan kebiasaan ngemil crackers sebagai bukti bahwa kamu memang bener- bener udah gede." Mereka tertawa.

"Bibi ...," ujarnya manja. "Yang itu jangan dong ...."

Maria telah menyadari dengan sangat perubahan yang kian hari kian menonjol pada diri keponakanya. Satu-satunya buah hati yang ia miliki. Beberapa minggu lagi Rei akan naik ke kelas sepuluh, tapi Maria dan suaminya sama sekali belum merencanakan akan dilempar ke mana anak itu untuk menginjakkan sepatu sekolahnya di lantai kelas baru.

Apakah dia akan senang- senang saja bila Maria menyekolahkannya di SMA sederhana, yang uang bulanannya tak berkesempatan menghabiskan jatah belanja sehari-hari. Atau di sekolah yang bisa memberikannya beasiswa untuk siswa kurang mampu. Suaminya Munar tak punya pekerjaan lain kecuali membongkar pasang motor orang di bengkel yang mereka tumpangi untuk dijadikan tempat tinggal dengan bayaran sewa lima ratus ribu rupiah perbulan.

Mereka tak punya mata pencaharian lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan biaya belanja yang semakin hari semakin mahal. Maria harus lebih berusaha lagi untuk membuat keluarga kecilnya bahagia dan utuh. Dia bisa bekerja sebagai tukang cuci, buruh pabrik keripik, tukang kebun panggilan, atau tukang cuci piring di hajatan warrga desa. Nilai rupiah sekecil apa pun akan menjadi sangat berharga untuknya.

Setidaknya itulah yang bisa dia lakukan. Tidak seperti apa yang akan dilakukannya hari ini. Maria dan suaminya harus rela meninggalkan keponakan satu-satunya itu sendiri di rumah untuk waktu dua hari. Tengah malam tadi, tiba-tiba adik ipar suaminya menyampaikan kabar lewat telepon kalau ayahnya sedang sakit keras. Semua keluarga sedang melakukan upacara khusus. Mereka berkumpul dan berharap agar Munar bisa datang dan barangkali saja sesuatu yang tidak diharapkan bisa terjadi. Munar harus ada di saat-saat seperti itu agar tak menyesal belakangan hari. Mereka pun berangkat ke Rantau Perapat pagi-pagi sekali.

Rei tinggal sendiri, sekaligus menyibukkan diri di hari libur. Kini Rei siap melayani pelanggan yang butuh bantuan. Bukan berarti ia bisa berdiam diri di kamar melempar-lempar bola tenis dan malas keluar. Dia juga harus mencari nafkah menggantikan paman. Ditemani dua orang rekan kerja bengkelnya, Rei bekerja seperti layaknya seorang dewasa. Ia termasuk dalam kategori perempuan yang mengalami pendewasaan dua kali lebih cepat dibandingkan remaja lain.

Di usianya yang masih beranjak lima belas tahun, tinggi badannya mencapai hampir empat kaki. Ia punya pergelangan tangan yang padat, persis atlet renang. Teman-teman perempuannya sempat iri dengan bentuk buah dadanya yang hampir mendekati kategori sempurna. Liuk tubuhnya semakin lama semakin tampak molek. Demikian juga dengan perkembangan cara berpikirnya yang terkesan cepat memahami situasi dan kondisi. Semua orang yang mengenalnya tahu betul bagaimana cara dia bekerja, dan mereka tak perlu ragu lagi dengan kemampuannya yang hampir menyamai mekanik senior.

Rei masih asik mengotak-atik motor Bang Sopan. Dia salah satu pelanggan yang nyasar sampai ke plosok kampung, motornya mendadak tidak bisa jalan, hingga akhirnya motor itu melipir ke bengkel Anugerah. Rei dan kedua temannya sudah berusaha secepat mungkin untuk memperbaiki motor yang bisa dibilang rongsokan itu, yang sebenarnya tak punya nilai harga lagi, yang lebih pantas dibuang ke laut dan itupun malah hanya membuat ikan-ikan dilaut pada mampus. Sangking ringseknya.

Akhirnya mereka minta agar motor itu diambil besok saja, karena butuh waktu lama untuk memperbaikinya, tapi si Abang Sopan terus tak mau mengalah. Dia mau motornya selesai sekarang juga, berhubung besok dia harus ngojek pagi-pagi sekali. (Lagian penumpang mana yang mau naik motor ringsek begitu?). Rei dkk membantah lagi, mana mungkin mereka bisa selesaikan motor itu dalam waktu singkat. Lima belas menit lagi bengkel harus tutup. Mereka juga butuh istirahat untuk bisa melanjutkan aktifitas esok lagi dengan semangat baru.

Akhirnya mereka mengambil jalan tengah. Bang Sopan minta motor itu diantar besok jam lima pagi. Dengan bayaran tiga kali lipat. Mendengar Bang Sopan bilang seperti itu, langsung Rei bilang "oke" walaupun alamatnya nan jauh di kota. Ujong dan Ipan tetap menolak, tapi Rei yakin bisa menyiapkan motor itu secepat mungkin, walaupun si gadis ini harus lembur sendiri satu malaman. Yang penting bayarannya yang banyak bisa untuk menambah uang sekolahnya di SMA nanti.

Kini Rei memasukkan motor-motor yang telah siap di servis ke dalam bengkel dibantu kedua teman seperjuangannya. Empat motor siap diambil esok hari dan satu motor yang harus dia kerjakan malam ini juga. Tepat jam enam sore mereka menutup bengkel kecil itu.

Sesuatu yang menuntut ia untuk memasukkan makanan kedalam perutnya membuat Rei harus mencari apa saja yang bisa mengenyangkan. Sebelum maghrib Rei membersihkan tubuh dari bau-bau minyak yang menyengat kemudian pergi ke warung untuk membeli beberapa butir telur dan mie instant untuk dia lahap malam ini.

Gadis bertubuh ramping dan tinggi itu melaju santai dengan motor maticnya―motor pinjaman lebih tepatnya. Rambut sebahunya yang hitam lebat dan lembut tersibak oleh terpaan angin. Senyumnya merona dan memesona, setiap ada orang di jalan yang ia kenal disapanya dengan sangat ramah dan hangat. Semua orang dikampung mengenalnya dengan sangat baik. Sejenak Rei ikut bersenda gurau bersama teman-temannya di warung. Berbicara mengenai maling motor yang seminggu lalu berhasil merampok salah satu rumah di desa tetangga, atau gossip tentang anak perempuan pak Kepling yang putus sekolah lantaran keduluan hamil.

Setelah menyadari matahari sudah bersembunyi di sebelah barat, Rei kembali melajukan motornya sambil membawa belanjaan yang ia gantungkan di setang sebelah kiri.

Di antara gang-gang sempit itu, suara azan magrib terdengar nyaring di telinga orang-orang yang akan melaksanakan shalat. Rei segera bergegas untuk sampai dirumah supaya tidak ketinggalan waktu shalat. Ia lajukan motornya sedikit kencang, kemudian sedikit mengerem ketika ada tikungan tajam di hadapannya.

Tiba-tiba, Rei menarik pedal remnya dengan sekuat tenaga ketika hampir menabrak seorang gadis di hadapannya. Gadis itu jatuh tersungkur. Dengan jantung yang hampir copot, Rei segera turun dari motornya, kemudian menghampiri gadis bertubuh ramping dan mengenakan jaket hitam tebal.

"Mbak, maafin saya. Saya nggak sengaja. Mbak nggak apa-apa, kan?" Gadis itu merintih kesakitan sambil memegangi dengkulnya yang terluka. Ada darah yang menghiasi sebagian dengkul gadis itu, sedikit banyaknya Rei ketakutan hampir mampus. Lantas Rei pun membantunya berdiri dengan tangan gemetar sembari bersyukur orang yang ditabraknya ternyata tidak mati.

Gadis itu menengadahkan kepalanya menatap Rei bermaksud untuk marah, tapi tiba-tiba saja tatapan mata di antara mereka tak bisa terlepas. Rei terkejut setengah mati dengan apa yang didapatinya. Wajah gadis itu, wajah gadis itu membuat seluruh tubuhnya kaku seketika.

"ELO?" Sentak mereka bersamaan.

Ibarat cermin di depan mata. Wajah mereka begitu mirip, sangat persis. Mereka berpikir kalau ini tidaklah mungkin. Mana mungkin ada orang yang tiba-tiba datang tanpa sengaja di kehidupan mereka dengan wajah dan tubuh yang sama persis.

Kegilaan macam apa ini?


====================

Hai, Akhirnya aku memberanikan diri utk publish cerita ini di wattpad.

 Selamat datang di karya Thorjid yang pertama kali ditulis tahun 2009 (awal mula Thorjid belajar menulis novel). Sebenernya kurang pede sama cerita ini karena terlalu drama hahahah ... tapi aku tahu kalian suka drama-dramaan, dan kebetulan Genrenya fiksi remaja dengan subgenre misteri dan young adult. 

So, nggak apa-apa kalau kalian mau ngehujat cerita ini krn kurang bagus atau apalah ... wkwkwk, pun cerita ini udah sampe bab 27 di aplikasi Joylada dan pernah 2 kali masuk di pilihan editor. Jadi yg punya aplikasi Joylada bisalah mampir ke sana. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro