24. Kodok Buruk Rupa
Hari Senin akhir-akhir ini terjadi terlalu cepat.
Rasanya kemarin Kiara baru saja merasakan weekend-nya menyenangkan hingga tiba-tiba waktu sudah menunjukkan jam tidur.
Sebelumnya, Brendan pulang pukul tujuh malam karena dia ngga membawa baju kerja untuk besok, Kiara tidak menemukan hal janggal dari kepulangan Brendan karena yang Kiara lakukan selama Brendan di apartment-nya adalah bersenang-senang. Kiara memposting foto makan siang hari Sabtu bersama Rika, menonton Tiktok—jelas ini Kiara lakukan karena Kiara merasa telah mendapatkan apa yang Kiara mau dari Brendan, ditambah, Kiara ngga akan seberengsek ini kalau Kiara tidak kesal pada cewe yang difoto bersama Brendan. Syukurlah Kiara bisa melihat sisi buruk dari Brendan, dia terlalu bagus selama ini, jadi secara naluriah perasaan ketergantungan Kiara pada Brendan mulai hilang karena rasa marah itu.
Lalu ini menjadi lucu ketika makan siang. Kiara mengecek ponsel dan menonton postingan di media sosialnya, hingga tiba-tiba Kiara melihat Brendan memposting foto mirror selfie bersama cewek yang sama seperti kemarin.
Mendengus, Kiara berpikir. Lihat yang dia sebut sebagai cewe ngga diundang tapi dia melakukan mirror selfie dengannya, siapa yang tau dia melakukan apa saja dengan cewe itu? Keren. Kiara benar-benar kehilangan perasaannya, minggu ini Kiara ngga akan membiarkan Brendan ke apartment lagi. Pertama karena Kiara ngga berbagi teman seranjang dengan siapa saja, tidak ada aturan kedua, itu aturan satu-satunya di hubungan 'pertemanan' ini.
Maka saat Kiara melihat Brendan masuk kafetaria bersama teman-temannya, Kiara segera menyelesaikan makan; tidak bernafsu menghabiskan soto Bogor.
Brendan melihat Kiara saat Kiara sedang menyimpan alat makan di wastafel besar khusus cuci piring, pandangan mereka bertemu sesaat dan Kiara berpaling secepat Kiara meliriknya. Dari sudut mata dia masih melihat Kiara tapi teman-temannya segera menarik dia ke minimarket—teman-temannya yang perempuan, Kiara yakin Brendan akan mentraktir mereka semua. Seperti biasa.
Engga ada alasan untuk Kiara lama-lama melihatnya, jadi Kiara menyelinap pergi dari kafetaria. Meninggalkan Brendan dengan wajahnya yang bodoh.
Hal yang Kiara syukuri hari itu adalah dia bisa fokus bekerja, dan menyelesaikan semua dokumen yang selalu Kiara nanti-nanti. Kiara hampir melupakan keberadaan Indri yang mengobrol seharian dengan Lidya membahas barang yang baru mereka beli dari bonus kantor.
Sampai akhirnya Kiara pulang – menunggu taksi di pick up point yang berada di gerbang belakang, memikirkan apa yang akan Kiara makan sore ini.
Di atas sana, Kiara melihat matahari sore yang berwarna oranye, cahayanya hanya untuk dirinya sendiri membuat bentuknya bisa dilihat langsung karena langit di sekitarnya berwarna abu-abu. Di Bandung langit sore masih tidak bisa ditatap, tapi di sini, Kiara bahkan bisa menantangnya. Semakin Kiara menatap langit dan merenunginya, Kiara semakin dekat dengan pergaulan anak senja. Sambil mendengus, Kiara berpaling ke depan dan menemui teman kantornya dari department lain sedang dijemput oleh Brendan dengan motornya yang seperti monster itu.
Kiara menahan diri untuk mendengus dua kali jadi hanya menatapnya dengan pandangan datar.
Kenapa pemandangan ini sangat mengganggu?
Kali ini perempuan yang Brendan ajak pulang mirip seperti Visca; tinggi, berambut bagus, memakai celana jins hingga kakinya begitu indah dilihat, kemejanya begitu pas seakan seluruh pakaiannya di-design sesuai bentuk tubuhnya. Sekarang, perempuan itu tengah menaiki motor Brendan, jelas Brendan ngga akan mengebut di jalan.
Untuk sedetik, Brendan menatap Kiara di balik helmnya dan Kiara hanya memandanginya dengan datar. Baguslah Kiara ngga perlu menginvestasikan lagi banyak tenaga dan waktu untuknya. Dengan itu Kiara berpaling bersamaan dengan Brendan yang memutar gas kemudi begitu kencang hingga dia melesat di sudut mata Kiara.
Apa dia sinting? Pikir Kiara heran.
Kiara kembali menatap langit sore dan mulai memikirkan kopi untuk senjanya.
Terlepas dari kopi, Kiara pikir melihat Brendan pulang bersama perempuan lain adalah hal yang paling menyedihkan sore itu, hingga Kiara tiba di apartment-nya dan menemui seseorang yang membuat sore Kiara ratusan kali lebih menyedihkan.
Perasaan dimana Kiara merasa berdiri di sebuah pulau yang dia bangun bertahun-tahun dan hanya cukup untuk menapakan kakinya, kemudian pulau itu diterjang oleh tsunami yang sebelumnya pernah menghancurkan kepulauan Kiara. Kiara pikir, yang Kiara dapatkan hari itu karena Kiara terlalu lemah, tapi toh saat Kiara lebih kuat sekarang, ketakutan dan rasa histeris itu segera menyerbunya.
Bukan ketakutan hingga lututnya melemas, melainkan ketakutan akan menggila dan menjadi monster.
"Ki?"
Kiara mematung menatap lelaki itu, ternyata dia nggak sebagus yang Kiara pikirkan. Dulu Kiara berpikir dia cukup tampan, tapi sekarang yang Kiara lihat adalah kodok sawah dengan mata besar terlalu jauh dari hidungnya lalu bibir tebal yang menggelikan, lalu hidungnya ... hidungnya adalah jenis hidung yang menghalangi bibirnya tertawa lebar karena begitu lurus. Kiara mafhum jika tidak ada yang mengerti deksripsi Kiara mengenainya karena menggambarkan lelaki buruk luar dalam ini lebih sulit dari mendeskripsikan lelaki tampan (misalnya Brendan).
Diam!
"Ki?" panggilnya sekali lagi dan Kiara berdecak sambil memutar matanya.
"Ada apa, Dipta?"
Dipta..., Kiara hampir tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menerjang ke arah lelaki itu lalu mencakarnya. Tapi sekali pun kodok sawah ini begitu layak dipukuli, tetap saja dia adalah ciptaan Tuhan. Belum lagi jika Kiara tidak sengaja membunuhnya.
"Lo punya waktu sebentar?"
"Kenapa?"
"Gue penasaran apa lo punya waktu buat ngopi?"
~*~*~
"Gue minta maaf," gumam Dipta saat mereka berada di mobil Dipta, sama-sama menatap parkiran bawah tanah dan sudah diam sejak lima menit lalu.
"Buat apa?"
Untuk sesaat suasana hening, Kiara tidak berhenti mengepal tangannya dan memikirkan alasan logis yang kuat agar tidak menganiayanya.
"Untuk semuanya."
"Itu doang?" tanya Kiara.
"Gue punya alasan—"
"Of course gua maafin, kalau gitu gua pergi." Kiara membuka kunci pintu mobil dan tentu saja sepenuh hati ingin meninggalkan mobil, tapi tepat saat Kiara memegang handle pintu, tangannya memegang tangan Kiara.
Secara refleks dan perasaan yang terbendung lama, Kiara berbalik untuk meninju di wajahnya—di mata kiri lebih tepatnya. Ada bunyi "krek" yang satisfying seakan Kiara telah mematahkan hidungnya.
Dia mengaduh dengan kencang dan memegangi wajahnya.
"Aaagh!" erangnya dan Kiara tidak memberinya iba, alih-alih segera keluar dari mobil dengan perasaan puas dan marah.
Kiara memiliki paman seorang pengacara, ini mestinya menjadi mudah jika dia ingin dibawa ke ranah hukum.
"Ki!" suara pintu mobil terbuka lalu tertutup.
Kiara melirik ke belakang dan melihatnya berlari kecil mendekat, dia hendak memegang tangan Kiara lagi tapi Kiara segera menyikut tangannya.
"Lo tau ga sejijik apa keberadaan lo di mata gue sekarang?" geram Kiara. "Bahkan dipegang sama lo bikin gue merinding."
Dipta terdiam sebentar lalu dia menyadari posisinya dan mundur selangkah.
"Gue ngerti," ujarnya pelan-pelan. "Dan gue minta maaf."
"Gue maafin," tukas Kiara. "Ada yang lain?"
Dipta menurunkan tangan di wajahnya dan dia terlihat memasang waiah memelas yang menyebalkan. Kiara tidak ingin meneliti ekspresinya, yang jelas setiap ekspresinya terlihat menyebalkan dan menjijikan apalagi sekarang mata kirinya membengkak berkat tinju Kiara.
"Gue ... kangen sama lo, Ki," ujarnya yang mana membuat Kiara bukan jijik lagi melainkan terhina.
Untuk sesaat Kiara terbengong, tidak tahu bagaimana mengekspresikan rasa terhina ini. Kangen? Manusia kodok ini kangen? Kiara hanya mendengus saat mendengarnya dan memilih untuk pergi ke lobi apartment daripada menghabiskan detik lainnya dengan manusia ini.
"Ki!"
Kiara tidak menoleh lagi bahkan saat Kiara memasuki lobi; membiarkan security mengurusnya.
Jika Kiara tidak gengsi dengan kelemahan, dia mungkin akan meringkuk di lift dan menangis, tapi Kiara hanya berdiri dengan tenang dan menggigit bibirnya. Sebentar lagi, pikir Kiara. Kiara ngga akan melakukan hal bodoh seperti dulu dimana Kiara menangis berhari-hari setiap kali pulang bekerja di depan driver taxi. Kali ini sebentar lagi saja.
Lantai 2.
Lantai 3.
Lantai 5.
Baru saja pintu lift terbuka, Kiara segera berjalan cepat ke unitnya, tidak bisa lebih lama membendung rasa jijik dan kesedihan ini.
Itu adalah terakhir kalinya Kiara melakukan kebodohan. Kiara berjanji itu adalah terakhir kalinya Kiara menangis karena Dipta. Esok hari, nama itu nggak akan ada lagi di kepala Kiara, seakan dia tidak pernah hidup.
Dipta. Mantan pacar yang bahkan enggak segalanya.
~*~*~*~
Hi!
Maaf nulis part ini lamaa, soalnya aku terlalu emosional ngetiknya🤣
Kalau ada kata-kata yang ga dimengerti, aku ga akan jelasin dah, males bgt sama part ini🥲🙏🏻 suatu saat akan aku edit, tapi nanti aja.
Semoga setelah part ini, aku bisa update lebih sering.
Xixixix makasih sayang akoohh😚❤️ jangan lupa vote sama komen. Bisa ga aku dapet 200 vote???
Hehe, I love youuuuu to mattttt
Back to Decemberrr
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro