Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9

Waktu berlalu sangat cepat, sekaligus melelahkan bagi Kyle. Ia diharuskan berperan sebagai dua orang dan bekerja di waktu yang berbeda. Ia bahkan sering meminta Gama berpura-pura membutuhkan tenaganya agar bisa naik ke lantai atas tanpa dicurigai orang-orang. Saat ia bekerja dengan Gama, untuk urusan programer, ada orang lain yang menggantikannya. Dengan begitu, ia bisa menyelesaikan dua pekerjaan secara bersamaan. Gama yang mengatur semuanya, ia hanya tinggal menjalani. Meski begitu, ia tidak pernah mengeluh. Semua yang ia lakukan sekarang bukan hanya demi perusahaan, tapi juga keselamatannya.

"Kamu harus berhati-hati, Kyle. Tidak ada yang bisa menjamin kalau orang jahat itu tidak akan muncul lagi."

Peringatan sang daddy semakin membuat Kyle waspada. Ia tahu tidak boleh lengah dan harus selalu berhati-hati. Sang mommy menyarankan agar dirinya membawa banyak bodyguard ke mana pun ia pergi, tapi ia menentangnya. Bukan karena tidak ingin menuruti kemauan sang mommy, tapi menurutnya justru itu akan merepotkan dan membuat ruang geraknya tidak leluasa.

"Audrey akan ke Jakarta minggu depan. Kamu harus menjaganya."

Kabar tentang rencana kedatangan sang adik membuat Kyle gembira, sekaligus khawatir. Ia senang tentu saja ada yang menemani di sini, tapi di lain pihak, ia khawatir dengan keselamatan adiknya.

"Aku beda dengan Kakak. Kalau Kakak langsung dikenali karena bermata biru dan persis dengan Daddy. Aku tidak begitu."

Pembelaan dari Audrey membuat Kyle mendengus. Dirinya memang sangat mirip dengan sang daddy, tapi Audrey lupa, kalau adiknya itu seperti pinang dibelah dua dengan mommy. Meski begitu, ia senang dengan kedatangan adik semata wayangnya, dengan begitu punya teman untuk diajak bicara.

"Tuan, masih banyak dokumen yang harus diperiksa dan ditandatangani. Tapi, Anda di sini sudah lebih dari empat jam."

Kyle menghela napas panjang, menunjuk tumpukan dokumen di depannya. "Kamu bawa pulang, dan letakkan di meja kerjaku di penthouse. Besok libur, aku akan memeriksanya."

Gama mengangguk. "Waktunya makan siang, Tuan."

"Aku akan makan di bawah, Nesya membawa bekal untuk kami."

Gama tidak mengatakan apa pun saat melihat atasannya kembali memakai wig, janggut palsu, dan softlens. Dalam sekejap penampilan Kyle berubah tidak lagi dikenali. Untunglah saat Kyle berada di ruangan, tidak ada karyawan lain yang melihat, kalau tidak akan timbul berbagai pertanyaan.

Gama melangkah menuju meja, mengambil tas hitam berisi laptop, dan menyerahkan pada Kyle. "Pekerjaan sudah selesai."

Kyle mengangguk. "Aku turun dulu. Kita bertemu besok. Ah lupa, kamu libur."

"Tidak, Tuan. Saya akan tetap datang ke penthouse besok."

Kyle sangat menghargai kerja keras dan dedikasi Gama padanya. Laki-laki itu memilih untuk tetap bekerja saat libur, padahal ia tidak meminta itu.

Keluar dari ruangan, Kyle mengikuti Gama menuju lift dan masuk bersama. Mereka naik lift karyawan karena tidak ingin menimbulkan kecurigaan. Lift berhenti di lantai delapan, serombongan karyawan yang terdiri atas tiga perempuan dan dua laki-laki masuk. Kyle merapat ke pojokan.

"Selamat siang, Pak Gama."

Mereka menyapa Gama ramah dan dijawab anggukan kecil oleh laki-laki itu. Tidak ada yang menyapa Kyle karena semua pandangan tertuju pada Gama yang tinggi berwibawa. Di lantai lima, Gama keluar meninggalkan Kyle tanpa berpamitan.

"Pak Gama tampan sekali. Sudah punya pacar belum ya?"

"Pasti sudah. tidak mungkin seumuran dia tidak ada pacar."

Kyle tidak dapat menahan senyum, mendengar mereka membicarakan Gama. Ia mencatat dalam hati untuk menanyakan Gama soal pacar kalau nanti bertemu. Sebenarnya, punya pacar atau tidak, untuknya tidak masalah. Namun, mendengar pertanyaan tercetus dari karyawan lain, menimbulkan rasa ingin tahu di hatinya.

Mereka bersama-sama keluar di lantai dasar. Dengan tas di tangan, Kyle melintasi lobi yang ramai menuju bagian samping gedung. Tiba di kantor komik, suasana sepi. Para karyawan sepertinya sedang makan siang. Ia menatap Nesya yang menunduk di atas ponsel dan menghampiri gadis itu.

"Hai, sorry telat."

Nesya mendongak. "Sibuk, ya, di atas. Lama sekali."

"Iya, sangat sibuk."

"Pak Gama mengandalkanmu. Hebat."

"Kenapa?"

"Bisa bergaul dengan petinggi Vendros."

Kyle meletakkan tas di atas meja, sementara Nesya mengambil kotak bekal, dan membukanya. Aroma masakan menyergap penciumannya.

"Sorry, aku hanya membawa ayam goreng dan lalapan." Gadis itu berucap malu-malu.

"Itu sudah enak. Beli di luar mahal, bukan?"

"Lumayan, sekitar dua puluh ribu."

"Nah, aku makan gratis. Gimana tidak enak."

Mereka duduk berhadapan, dengan masing-masing memegang kotak berisi nasi dan sendok. Makanan yang dibawa Nesya memang tidak istimewa, tapi Kyle sangat menghargainya. Masakan ala rumahan seperti ini yang selalu ia rindukan saat jauh dari keluarganya. Mengingatkannya akan hasil masakan sang mommy.

"Aku tahu kamu tidak suka pedas, jadi aku bikin sambal tomat."

"Enak."

Nesya tersenyum. "Aku membawa bekal roti untuk makan malam. Dari kantor harus ke tempat kuliah."

"Biar aku yang mengantarmu."

"Tidak!" Nesya menggeleng kuat-kuat. "Aku tidak mau merepotkanmu."

Kyle mengangkat bahu. "Kuliahmu hanya dua jam, bukan?"

"Iya."

"Tidak lama kalau begitu. Kebetulan malam ini aku senggang."

Tidak peduli pada Nesya yang berusaha menolak, Kyle bersikukuh untuk mengantar. Mau tidak mau, gadis itu menerima tawarannya. Banyak hal yang ia ingin ketahui tentang kehidupan Nesya, dengan menjadi teman gadis itu adalah cara terbaik untuk mencari informasi.

Selesai makan siang, kantor kedatangan tamu dari lantai atas. Ana dan Tita menyambut dengan wajah berbinar. Tidak bisa disangkal kalau laki-laki dengan jas hitam dan dasi biru bergaris merah itu memang tampan. Berkulit putih dengan dagu runcing dan tubuh kurus, tinggi laki-laki itu kurang lebih 175 sentimeter.

"Selamat sore, Pak Soni. Ada apa mendadak datang kemari?"

Sambutan Tita yang terdengar sangat ramah membuat para karyawan di kantor saling pandang dan menaikkan sebelah alis mereka. Bagaimana tidak, selama ini Tita dikenal sangat galak dan ucapannya sangat ketus, tapi, semua berbeda pada laki-laki itu. Senyum lebar, pandangan ramah, dan sikap bersahabat yang cenderung berlebihan terlihat sangat menggelikan.

"Tita, jangan panggil, Pak. Kita seumuran." Soni menjawab dengan senyum tersungging.

"Ah, benar, juga."

Ana bangkit dari kursi, menghampiri Soni. "Kak, ada apa datang kemari?"

Soni tersenyum. "Ana, tadi aku bertemu papamu. Katanya besok akan mengundangku makan di rumahmu."

Wajah Ana terlihat semringah. "Benarkah?"

"Iya, besok kita ketemu di rumahmu."

Ana tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia. Berdiri dekat dengan Soni dan menatap laki-laki itu dengan pandangan memuja. Tidak peduli dengan tatapan para karyawan di ruangan ke arahnya.

Nesya yang menatap ketiga orang itu sekilas, lalu kembali sibuk dengan gambarnya. Kedatangan Soni membuatnya was-was dan ia berharap tidak terkena masalah karena laki-laki itu. Dari awal ia tahu kalau Ana memang menyukai Soni, dan ia sendiri tidak ada niat untuk bersaing. Namun, entah apa yang terjadi, Soni justru berusaha untuk selalu mendekatinya dan hal itu mengakibatkan banyak masalah untuknya. Ia tidak akan bersaing dengan siapa pun soal laki-laki. Di hatinya sudah ada satu nama dan itu sulit untuk digantikan dengan siapa pun.

"Nesya."

Panggilan Kyle yang sangat lembut membuat Nesya menoleh. "Ada apa?"

Kyle menunjuk arah depan dengan dagunya. "Apakah itu laki-laki yang membuatmu dimusuhi Ana?"

Nesya mengangguk. "Iya, dan semoga saja dia tidak ke sini. Aku sedang tidak mood bertengkar dengan Ana."

Terdiam sesaat, Kyle memikirkan sesuatu. "Sekarang sudah jam lima. Bagaimana kalau kita pamit pulang sekarang. Jadi, tidak perlu bicara sama orang itu."

Menyadari kalau usulan Kyle sangat menggiurkan dan masuk akal untuknya, Nesya mengangguk setuju. "Oke, aku matikan komputer dulu. Aku akan pamit sama Tita ada urusan ke kampus."

"Kalau dia minta kamu lembur, bilang saja besok akan datang jam enam pagi. Aku akan menemanimu."

Nesya tersenyum lebar dan menatap Kyle sambil mengacungkan dua jempol. "Oke, Willi. Tunggu, aku."

Selesai berkemas, keduanya menghampiri Tita dan meminta izin untuk pulang cepat. Kebetulan Soni sedang pergi, tertinggal hanya Tita dan Ana di meja depan. Tidak mudah tentu saja untuk pulang tepat waktu, karena pasti Tita akan mengomel. Benar dugaan mereka, sang manajer berucap sinis dan bersikeras tidak mengizinkan, hingga ucapan Ana membuat Tita terdiam.

"Kak, kasih saja mereka pulang. Kamu mau ikut aku ke butik tidak?"

Tita mengerjap, lalu mengangguk. "Baiklah, aku ikut kamu." Ia mengalihkan pandangan pada Nesya dan Kyle lalu berucap ketus, "Sana pulang!"

Tidak menunggu disuruh dua kali, Nesya menggandeng Kyle ke arah pintu. Tepat saat itu, Soni yang baru saja dari kantor manajer melihat kepergiannya. Tanpa disangka laki-laki itu mengejar mereka dan berteriak saat di teras.

"Nesya, tunggu. Aku mau bicara."

Nesya tidak mengabaikan panggilan laki-laki itu, tapi karena teriakannya sangat keras, mau tidak mau ia berhenti. Membalikkan tubuh, ia menatap Soni. "Ada apa, Pak?"

Soni memandang bergantian pada Nesya dan Kyle. "Kalian mau ke mana?"

"Pulang," jawab Nesya.

"Kok, cepat sekali. Padahal aku baru saja datang dan berniat mentraktir kalian semua makan malam."

Nesya mengangkat bahu. "Yang lain ada, Pak. Mereka lembur."

Lagi-lagi Soni tersenyum. Pandangan matanya melembut. "Tapi, aku maunya ada kamu, Nesya. Kamu tahu sendiri betapa sibuknya aku. Jarang-jarang bisa mampir."

"Wow, aku tersanjung. Sayangnya, harus pulang."

"Jangan begitu, Nesya."

Kyle terdiam, mendengarkan perdebatan di depannya. Ia ingin tahu bagaimana cara Nesya mengatasi laki-laki genit macam Soni. Ia tersentak saat Nesya meraih tangannya dan merangkul erat tubuhnya.

"Maaf, Pak. Aku sudah ada janji sama Wili. Kami mau makan dan nonton."

Soni yang sedari tadi tidak memandang ke arah Willi, kali ini mengamati pemuda berkacamata itu dari atas ke bawah. Tersenyum mengejek saat merasa puas dengan apa yang sudah dilihatnya.

"Kamu mau pergi dengan dia? Apa hubungan kalian?"

"Sementara ini kami berteman, siapa tahu nanti berubah."

"Maksudnya?"

Nesya mengelus lengan Kyle. "Aku menyukai Willi dan dia juga menyukaiku. Doakan kami berjodoh, Pak. Daaah!"

Meninggalkan Soni yang berdiri tercengang, Nesya menyeret tangan Willi menuju tempat tempat parkir. Setelah berada di dalam mobil dan sosok Soni tidak lagi terlihat, Nesya meminta maaf pada Kyle karena sudah melibatkan pemuda itu dalam urusannya.

"Santai, Nesya. Aku senang, kok, diakui sebagai kekasihmu."

Nesya tertawa lirih, menyalakan radio, dan mendengarkan musik riang. Ia melirik Kyle yang sedang mengendarai mobil, menyadari kalau pemuda itu memang baik. Kalau bukan karena di hatinya ada orang lain, bisa jadi ia akan jatuh hati dengan pemuda berkacamata di sampingnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro