Bab 7
Terlalu sering begadang, membuat Nesya mudah merasa lelah. Lingkaran hitam di bawah mata terlihat jelas. Tenggang waktu dari pekerjaannya semakin dekat, mau tidak mau ia harus bekerja lebih keras dari biasanya. Semua yang dikerjakan gadis itu tidak luput dari pantauan Kyle. Sering kali ia merasa kasihan saat melihat Nesya tertidur kala istirahat dan melewatkan makan siang.
Seperti hari ini, ruangan sepi karena semua orang keluar untuk makan siang. Tertinggal hanya Kyle yang sibuk bertukar pesan dengan Gama dan Nesya yang tidur menelungkup di atas meja. Ia sama sekali tidak membuat suara karena takut membangunkan gadis itu. Dari terakhir kali ia datang untuk memimpin rapat minggu lalu, Kyle belum lagi ke atas. Ia masih harus mempelajari banyak hal, mempersiapkan diri sebelum membuka identitas asli.
Selama beberapa minggu bekerja sebagai programer, ia memperhatikan sekelilingnya dengan seksama, termasuk kinerja Tita dan pegawai yang lain. Meski galak, tapi Tita adalah pegawai yang berdedikasi, terlepas dari sikapnya yang suka mengambil hati secara berlebihan terhadap Ana, hanya karena gadis itu anak pegawai yang kedudukannya lebih tinggi.
Menatap punggung Nesya yang bernapas tenang, Kyle merasakan tusukan rasa kasihan. Seandainya saja, Nesya mau, ia bisa membantu gadis itu agar lepas dari rasa lelah yang berlebihan. Namun, ucapan Nesya membuatnya berpikir dua kali sebelum membantu.
"Orang tuaku tidak terlalu bangkrut, kalau hanya membiayaiku kuliah, mereka masih sanggup. Tapi, aku melakukan semua ini memang untuk diriku sendiri. Ingin mandiri tanpa membebani orang lain. Satu-satunya hal yang membuatku kesal adalah harus tinggal serumah dengan tanteku."
"Apa mereka memperlakukanmu kurang baik?"
Nesya menggeleng. "Bukan kurang baik, hanya sedikit terpaksa menampungku."
"Kenapa tidak pindah?"
"Karena orang tuaku khawatir kalau aku tinggal sendiri."
"Bukankah banyak pekerja dari perantauan yang menyewa rumah?"
"Memang, tapi papaku tidak memberi izin. Jadi, mau tidak mau aku harus menurut."
Pikirannya tentang Nesya teralihkan saat sebuah pesan masuk, dari asistennya. Ia membalas cepat.
"Tuan Muda, Perlu saya siapkan makan siang?"
Pertanyaan Gama di sela-sela percakapan mereka soal HRD-yang menurutmereka perlu dibenahi-membuat Kyle mengernyit.
"Menurutmu, makanan apa yang enak, tapi tidak terlihat seperti makanan mahal?"
Tak lama Gama membalas.
"Sushi."
"Oh, oke. Tolong belikan aku itu, minta restoran langsung kirim ke sini."
"Baik, ada lagi?"
"Tidak, itu saja cukup."
"Jangan lupa pesta nanti malam, Tuan. Kitaberangkat pukul sembilan."
"Oke."
Setelah mengakhiri percakapan dengan Gama, Kyle merenggangkan tubuh. Bangkit dari kursi menuju toilet, tepat saat itu ponselnya berdering. Ia mengenali nomor keluarganya. Tidak ingin pembicaraannya didengar banyak orang, ia pergi ke teras samping dan bicara dengan daddy, mommy, dan adiknya.
Tanpa terasa, hampir empat puluh menit ia bicara dan saat kembali ke ruangan, ia menerima banyak tatapan aneh dari teman kerjanya. Melangkah heran, ia merasa tidak melakukan sesuatu yang buruk. Hingga pandangan matanya tertumbuk pada tumpukan kotak sushi di atas meja.
"Wili, kamu ulang tahun?" tanya Nesya sambil menunjuk meja Kyle yang penuh makanan.
Kyle menggeleng lemah. "Tidak."
"Kenapa pesan begitu banyak?"
Kyle menatap frustasi pada 10 kotak berisi bermacam-macam sushi, belum lagi sashimi dan beraneka minuman. Rasanya, seperti akan memberi makan orang sekampung. Ia mengutuk Gama yang dalam hati, karena sudah memesan begitu banyak.
"Wah, wah, ada yang sedang pesta?" Ana datang mendekat dengan senyum tersungging. "Dalam rangka apa, kamu membeli makanan begini banyak? Merayakan hari jadi kalian?" Ia menunjuk Kyle dan Nesya bergantian dengan seringai mengejek.
Nesya mengabaikannya, masih menatap Kyle dengan pandangan bingung.
Mengembuskan napas pelan, Kyle berucap pada Nesya, "Sepupuku yang mentraktir. Aku tidak tahu kalau begini banyak." Ia meraih dua kotak sushi dan satu gelas minuman. "Ini buat kamu, sedari tadi kamu tidur."
Nesya menerima dengan senyum tersungging. "Terima kasih."
Kyle berkeliling dan membagikan makanannya, menyisakan satu kotak untuk dirinya sendiri. Semua orang merasa gembira, kecuali Ana. Gadis itu mencebik karena Kyle tidak menawarinya.
"Makan yang kenyang, Nesya. Kamu pasti jarang makan enak."
Tidak memedulikan cemooh Ana, Nesya makan sushi dengan gembira. Ia tahu Ana sedang kesal karena iri dan ia cukup bijak untuk tidak menanggapi. Begitu pula Kyle yang kembali duduk di kursinya.
Marah karena tidak diacuhkan, Ana mengetuk meja Nesya. "Tahu tidak? Gadis sepertimu memang cocok dengan orang culun seperti dia. Udah culun, miskin lagi."
Nesya mengangguk. "Bagus kalau begitu. Willi punya mobil, kalau pacaran sama dia hemat ongkos." Ia menjawab sekenanya, tidak memperhatikan Kyle yang tercengang dengan sumpit membeku di tengah udara.
"Mobil tua dan rongsokan itu?"
"Paling tidak dia beli sendiri, daripada mobil bagus, tapi milik orang tua?"
Ana tersenyum, berbisik lirih, "Itulah salah satu keistimewaan punya orang tua kaya, Nesya. Jangan ngiri kamu."
Nesya mengangkat bahu. "Buat apa aku ngiri? tidak masuk akal. Sana, kamu pergi! Ganggu orang makan saja!"
"Gadis Gembel, pasti menyenangkan bisa makan enak!"
Ana pergi dengan wajah geram, meninggalkan Nesya yang asyik dengan sushinya. Sepeninggal gadis itu, Nesya menoleh ke arah Kyle dan berbicara lirih, "Jangan masukkan ke hati apa yang dia bilang. Emang orangnya agak aneh begitu."
Kyle tersenyum. "Dia tidak suka sama aku."
"Kamu terganggu?"
"Tidak, kalau kamu?"
"Sudah biasa. Jangan diambil hati kalau dia menjodohkan kita."
Kyle mengangguk. "Ngomong-ngomong, kenapa Ana tidak suka sama kamu."
Nesya menggigit ujung sumpitnya, menimbang sesaat sebelum bicara. "Gara-gara seorang laki-laki. Dulu, dia wakil manajer di sini. Sekarang sudah pindah ke bagian lain. Ana menyukainya, tapi laki-laki itu—"
"Menyukaimu?"
"Pokoknya begitu. Yang jelas, aku tidak suka dengan dia. Aku selalu menolak apa pun yang dia beri, ke mana pun dia mau mengajakku pergi. Tetap saja, bagi Ana aku yang salah."
Kyle kini mengerti apa yang membuat Ana begitu membenci Nesya. Rasa tidak suka itu bukan hal yang tiba-tiba datang, dan ternyata karena persaingan dalam cinta. Dalam hal ini memang Nesya yang terlihat lebih mengalah. Ana, karena mempunyai hubungan lebih dekat dengan Tita, membuat gadis itu seperti mendapatkan pendukung dan itu membuatnya berani bersikap semena-mena dengan Nesya. Cinta memang membuat orang menjadi bodoh.
"Malam ini aku tidak lembur, kita tidak bisa pulang bareng."
"Kamu mau ke mana?" tanya Nesya.
"Ada urusan."
"Oke, aku bisa naik ojek."
Setelah makan siang, keduanya melanjutkan pekerjaan, dan Kyle berhasil menyelesaikan tugasnya tepat pukul lima dan pamit pulang. Ada pesta penting malam ini, dan ia tidak boleh terlambat.
***
Tidak ada yang tahu siapa penghuni rumah besar bercat hitam itu. Pagarnya yang tinggi, selalu tertutup rapat. Tidak ada penjaga pintu seperti rumah lainnya. Sekilas, terlihat seperti tidak berpenghuni, kalau bukan lampu-lampu yang menyala setiap malam.
Beberapa orang mengatakan, pernah melihat pagar terbuka dan di dalamnya ada banyak orang berpakaian hitam mondar-mandir. Kesaksian dari tukang makanan keliling, mereka bersumpah kalau rumah itu sepertinya milik pejabat karena banyak sekali mobil mewah keluar masuk. Namun, tidak ada satu pun yang berani mengatakan dengan jelas, siapa pemilik rumah.
Dari balik pagar, beberapa pelayan berseragam hitam terlihat mondar-mandir. Dengan alat kebersihan di tangan, mereka membuat rumah menjadi bersih dan mengkilap. Tidak ada satu debu pun yang menempel di sofa kulit, jendela kaca, dan semua perabot berkualitas tinggi. Dilarang bicara apalagi mengobrol saat bekerja, atau mereka akan mendapatkan hukuman. Wajah-wajah para pelayan terlihat tertekan, tapi tidak ada yang berani bersuara. Semua takut dengan pemilik rumah dan asistennya.
Di teras samping yang menghadap taman Anggrek beraneka warna, seorang laki-laki berambut putih duduk di atas kursi roda. Di sampingnya, laki-laki tua lain berdiri tegak. Keduanya memandang Anggrek yang tumbuh subur dengan tatapan kosong.
"Apa kamu mendengar hal lain selain soal si anak?" Si laki-laki berambut putih bertanya.
"Tidak ada, Tuan. Hanya si anak yang kembali, itu saja."
"Sekarang memimpin Vendros?"
"Bisa dikatakan begitu, tapi tidak pernah ada yang melihatnya di kantor."
"Aneh. Lalu, dia di mana?"
"Tidak ada yang tahu soal itu."
"Kalau begitu cari tahu. Entah bagaimana caranya, kamu harus mendapatkan informasi tentang anak itu!"
"Iya, Tuan. Pasti."
"Aku yakin, kalau anaknya di sini, orang tuanya pasti kembali."
Terdengar tawa lirih dari laki-laki berambut putih di atas kursi roda. Tatapannya yang semula kosong, kini menjadi bercahaya. Ia mengetuk-ngetuk kening, berusaha menggali ingatannya tentang masa lalu. Senyum merekah di bibir saat satu wajah terlintas di benak. Bertahun-tahun ia sabar menunggu. Ia bahkan berharap Tuhan tidak mencabut nyawanya dalam waktu dekat karena ingin bertemu wanita itu. Kemunculan si anak membuat harapannya membuncah. Ia hanya perlu menunggu sebentar lagi, sebelum akhirnya bisa melihat wajah wanita yang dipuja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro