Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6

Kyle mengamati jalanan panjang dan melingkar yang ditumbuhi pepohonan. Suasana terasa begitu nyaman dan sejuk. Ia ingat dulu, sering dibawa datang kemari dan diajak berkeliling hutan buatan dengan mobil golf bersama sang kakek. Bertahun-tahun telah berlalu, sang kakek pun sekarang sudah tidak ada di dunia, tapi ingatan tentang masa kecilnya tidak pernah menghilang. Sosok sang kakek yang berwibawa, melekat dalam ingatan.

"Gama, bagaimana menurutmu rapat hari ini?" Kyle bertanya pada sang asisten yang duduk di belakang kemudi.

Gama menoleh. "Tuan Muda melakukannya dengan sangat baik. Mampu menyingkirkan keraguan mereka tentang kinerja Anda."

Kyle menghela napas panjang. "Entah apa yang mereka harapkan dariku, tapi bagi sebagian orang aku yang pintar dan menguasai bisnis ini, terlihat menjengkelkan."

"Itu karena mereka berharap bisa mengontrol Tuan Muda. Mengingat tentang umur Anda yang masih muda dan juga dianggap minim pengalaman."

Kali ini Kyle tidak dapat menahan dengusan. Ia selalu heran dengan anggapan orang kalau pemuda kaya dengan warisan melimpah berarti orang yang pemalas. Karena ia tidak pernah dididik seperti itu. Semua keluarga Vendros adalah pekerja keras, tidak terkecuali dirinya. Meski memegang status sebagai pewaris utama, baginya itu adalah tanggung jawab besar dan bukan hanya sebuah kebanggaan.

Memandang sekelompok burung yang beterbangan dan hinggap di dahan pohon, Kyle berucap lirih, "Seandainya mereka tahu, dari SMA aku sudah bekerja. Setiap pulang sekolah, Daddy memintaku ke kantor dan mempelajari banyak hal. Aku melakukannya dengan senang hati tentu saja, sampai-sampai Mommy bergidik karena menganggapku workaholic dari muda."

"Dan sekarang, pengalaman dan pembelajaran itu terbukti berguna."

"Memang, semua yang aku pelajari dari Daddy, memang berguna. Tidak ada hal sia-sia asalkan kita belajar dengan sungguh-sungguh."

Kendaraan berhenti di halaman berumput. Pemandangan yang ia lihat tidak banyak berubah dari terakhir kali datang. Ada banyak sangkar besar berisi burung, kolam ikan, dan beberapa kandang dengan binatang di dalamnya, termasuk burung merak.

"Kyle, kamu datang, Nak?"

Suara seorang wanita membuat Kyle menoleh dari keasyikannya memperhatikan kolam. Ia tersenyum pada wanita cantik setengah baya yang melangkah anggun ke arahnya.

"Aunty, apa kabar?"

Evelyn membuka tangan, mendekap Kyle erat. Meski tinggi tubuhnya hanya sebahu sang ponakan, tidak lantas membuat pelukannya mengendur

"Aunty, kangen sekali, Sayang."

Kyle memeluk erat adik daddy-nya. Salah satu orang terdekat yang ia punya. Selesai berpelukan dengan Evelyn, kali ini dari dalam muncul Agra. Laki-laki tampan itu memeluk hangat dan menuntunnya masuk.

"Kami senang kamu datang. Alvo, Crisla, dan Fino, tidak sabar ingin bertemu denganmu."

"Alvo? Kami sering bertemu, Uncle. Sudah beberapa kali dia datang ke rumah atau penthouse."

"Memang aneh anak itu."

Alvo menyambut kedatangannya dengan heboh. Bersikap seolah-olah sudah lama tidak bertemu dengannya. Sedangkan dua adiknya, justru terlihat malu-malu saat bertemu Kyle. Bersama Gama, yang ikut dalam satu meja, mereka menikmati hidangan makan malam. Rasanya menyenangkan, bisa bertemu dan dekat dengan keluarga. Agra adalah salah satu kerabat favorit Kyle. Kepintaran dan dedikasi Agra pada pekerjaan, membuat Kyle kagum. Dengan wajah yang mirip Jovanka, ia merasa sedang berada di samping sang mommy, hanya saja dalam wujud laki-laki.

***

Nesya menyusuri gang sempit dengan langkah gontai. Rambut dan bajunya lembab karena gerimis yang cukup deras mengenainya. Ia lupa membawa payung, dengan terpaksa harus mandi hujan saat turun dari angkot.

Tubuhnya oleng saat beberapa anak naik sepeda dan nyaris menabraknya. Ia ingin memaki, tapi melihat betapa bahagianya mereka bisa bermain bebas, kemarahannya surut seketika.

Tiba di rumah, Alisah dan Nena sedang menunggunya. Melihat mereka, ia merasakan firasat yang tidak enak.

"Pulang juga kamu akhirnya," ucap Nena kaku.

"Ada apa, Tante?" tanya Nesya dengan malas.

Tanpa basa-basi Alisah mengulurkan tangan. "Mana uang?"

Nesya melongo. "Uang apa?"

"Halah, jangan berlagak bodoh! Pakai tanya lagi uang apa? Uang untuk bayar listrik dan air, kamu numpang di sini, sadar diri, dong."

Perkataan Alisah yang ketus membuat Nesya melongo. Sesaat kemudian, ia menyadari sesuatu. "Tunggu, bukannya minggu lalu aku sudah bayar? Kenapa harus bayar lagi?"

Nena berpandangan dengan anak perempuannya, lalu mengangkat bahu. "Kami tidak punya uang. Jadi, mau minta kamu."

Nesya menggeleng. "Aku belum gajian, Tante."

"Tidak usah nunggu gajian. Pakai saja uangmu yang ada. Kalau habis, tinggal minta sama orang tuamu."

Terbelalak bingung, Nesya mengelak saat Alisah berusaha merampas tasnya. "Apa-apaan kamu? Lepaskan!"

Gadis muda itu bersikukuh, memegang tas Nesya dengan erat. "Tidak mau lepasin. Cepat beri kami uang!"

"Aku tidak ada uang!"

"Kalau gitu kasih barang berhargamu, ponsel atau apa gitu?"

Saat Nena hendak mengambil ponselnya, Nesya berhasil berkelit. Meletakkan tas di punggung, setengah berlari menaiki tangga dan mendengar makian yang diberikan Nena dan Alisah untuknya.

"Aku akan memberi kalian uang, kalau sudah gajian. Sekarang aku tidak ada uang. Percuma kalian memaksa!"

Menutup pintu kamar dengan sedikit keras, Nesya berusaha menyalurkan kejengkelannya. Teriakan marah Nena bahkan terdengar dari dalam kamar. Ia mengunci pintu, lalu merebahkan diri di ranjang. Tubuh dan pikirannya lelah, dan saat ini yang ia butuhkan adalah istirahat.

Berbaring dengan tangan menutup mata, bayangan pemuda bermata biru terlintas di benaknya. Ia mendesah, dan menyebut satu nama dengan lembut.

"Kyle."

***

Sebuah kendaraan tua parkir di bawah pohon tak jauh dari depan gang. Berkali-kali pengemudinya melihat spion, hanya untuk memastikan orang-orang yang keluar dari dalam gang. Ia melihat jam di ponsel, masih sangat pagi dan seharusnya tidak terlambat.

Tidak tahan berada di dalam mobil, Kyle keluar dan berdiri bersandar pada badan mobil. Ia menyesali diri karena terakhir kali bersama Nesya, tidak meminta nomor ponsel gadis itu. Untunglah, ia masih mengingat jalan menuju rumah Nesya dan sekarang ia di sini, menunggu kemunculan gadis itu.

Pandangannya tertuju pada para pedagang yang berjajar di pinggir jalan. Rupanya, tidak jauh dari tempatnya parkir ada sekolah dasar. Aroma gorengan menyeruak dan membuat Kyle mengernyit.

Sepuluh menit kemudian, gadis yang ia tunggu menampakkan diri. Kyle berdehem dan memanggil dengan keras. Nesya yang mendengar suaranya, mendekat dengan wajah heran.

"Willi, sedang apa kamu di sini?"

Kyle mengangkat bahu. "Menjemput kamu."

"Hah, serius?"

"Iya, dong. Tapi sebelumnya, kita bertukar nomor ponsel lebih dulu. Karena aku kesulitan menghubungimu."

Nesya tertawa lirih, merogoh ponsel dari dalam tas mengulurkannya pada Kyle. "Ini, kamu masukkan sendiri nomormu."

Dengan gembira, Kyle meraih ponsel gadis itu dan melakukan panggilan singkat ke nomornya. "Done, terima kasih. Begini kita lebih enak berkomunikasi."

Nesya tertawa. "Wah, sering-sering kalau mau jemput. Biar aku bisa irit ongkos."

Saat Nesya ingin masuk ke mobil, Kyle menahan tangan gadis itu. "Tunggu!"

"Ada apa?"

"Itu, di sana. Adakah yang jual cireng atau cilok?" Kyle menunjuk jejeran para pedagang dengan dagunya.

Nesya tersenyum keheranan. "Adalah, itu kan jajanan anak-anak. Kamu mau?"

Kyle mengangguk. "Mau, bisa tolong bantu aku beli?" Ia mengeluarkan satu lembar seratus ribu yang langsung ditolak oleh Nesya.

"Sudah, uangmu terlalu besar. Mana ada kembaliannya pagi-pagi seperti ini. Aku saja yang beli."

Setelah sekian lama, akhirnya Kyle bisa makan jajanan kesukaannya. Saat melihat Kyle makan dengan antusias sambil menyetir, Nesya tidak dapat menahan tawa.

"Kenapa kamu suka cireng dan cilok?"

"Jajanan kesukaan mamaku. Pernah suatu hari karena ingin makan ini, tapi di tempat tinggal kami tidak ada yang jual. Akhirnya mamaku berinisiatif membuat sendiri. Kamu tahu apa yang terjadi?"

Nesya menggeleng.

"Ledakan cireng nyaris menghancurkan dapur rumah kami dan membuat aku serta adikku ketakutan."

Nesya tidak dapat menahan tawa. Cerita Kyle sungguh lucu menurutnya. Mendadak, ia teringat sesuatu.

"Kamu punya adik?"

Kyle mengangguk. "Adik perempuan."

"Kalian hanya dua bersaudara?"

"Yuup."

"Sama, aku juga. Bedanya, adikku laki-laki. Kok kita bisa pas, ya, sepasang."

Kendaraan melaju lambat karena jalanan padat. Mereka mengunyah camilan sambil mendengarkan radio. Kyle merasa takjub pada Nesya, karena meski keadaan mobil agak panas, tapi sepertinya gadis itu tidak peduli. Makan dengan lahap dengan keceriaan yang tidak dibuat-buat.

"Nesya, boleh aku tanya sesuatu?"

"Apa?"

"Kamu bilang di sini kamu tinggal dengan tantemu. Di mana orang tuamu?"

Wajah Nesya yang semula ceria mendadak sendu. Memalingkan wajah, ia menatap padatnya jalanan. Ia menimbang-nimbang apakah ingin bercerita secara jujur atau tidak dengan laki-laki di sampingnya. Karena mereka belum lama berteman baik. Tidak tahu apakah layak bertukar informasi pribadi.

"Kalau kamu tidak mau jawab, tidak apa-apa." Kyle bicara setelah melihat perubahan sikap Nesya.

Tersenyum kecil, Nesya menggeleng. "Tidak masalah. Bukan aib, kok. Orang tuaku sekarang ada di Malang. Beberapa tahun lalu terjadi peristiwa besar yang menimpa perusahaan dan pabrik Papa. Dia kena tipu dan bersamaan dengan itu, pabrik di Malang kebakaran. Entah disengaja atau tidak, kami tidak tahu. Tapi, akibatnya sangat fatal. Mulai saat itu, ekonomi keluarga kami anjlok dan sekarang, kedua orang tuaku berada di sana dan sedang berusaha membangun kembali pabrik."

"Kamu tetap sekolah di sini?"

Nesya mengangguk. "Karena aku tidak mau menambah beban mereka. Aku sekolah sambil mengajar les dan sekarang kuliah sambil kerja jadi komikus. Setidaknya, aku bisa membiayai hidupku sendiri."

Suara Nesya yang sendu saat bercerita, membuat Kyle iba. Akhirnya terjawab sudah pertanyaannya selama ini, kenapa gadis yang ia kenal anak orang kaya, rela menjadi karyawan di tempat orang lain. Dengan bakat yang dimilikinya, seharusnya Nesya bisa lebih dari sekarang.

"Nesya, kamu hebat. Gadis yang kuat."

Pujian tiba-tiba dari Kyle membuat Nesya mendongak. "Hah, kamu memujiku?"

Kyle menoleh. "Kenapa memangnya? Kamu juga gadis yang cantik. Tentu banyak yang sudah mengatakan itu, bukan?"

Tawa riang keluar dari mulut Nesya. Pujian dari laki-laki di sampingnya, entah kenapa terdengar sangat lucu. Memang banyak yang mengatakan kalau ia cantik, tapi tidak dengan ucapan gadis yang kuat. Itu adalah pujian yang menyentuh hatinya.

Saat matanya menangkap mobil mewah melintas di samping mereka, ingatannya tertuju pada sosok Kyle. Hatinya bergetar pedih, menyadari kalau dengan keadaannya yang sekarang, tidak mungkin lagi untuk berada di lingkungan yang sama dengan pemuda itu. Seorang pangeran Vendros, tidak akan mau mengenal gadis miskin sepertinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro