Bab 4
Minggu yang damai, Kyle menatap alat pembuat kopinya yang berdesis. Tak lama cairan panas keluar dan memenuhi gelas porselen putih. Ia meraih gelas dan membawanya ke ruang tamu. Mengenyakkan diri di atas sofa kulit dan menghidu aroma kopi yang harum. Menghirup perlahan, benaknya berpikir tentang pekerjaan di kantor. Satu minggu berlalu semenjak ia menjadi programer baru di Venus Art Studio. Selama itu pula, hanya Nesya yang sering mengajaknya mengobrol. Orang-orang lainnya, terutama sesama programer hanya mengajak bicara seperlunya. Itu juga kalau ada masalah, biasanya soal bug system. Lain dari itu, mereka tidak saling menyapa. Begitu pula para komikus dan editor yang berada di satu ruangan yang sama dengannya. Kesan enggan dan jijik saat menatapnya terlihat begitu jelas. Kyle tidak heran, dengan penampilannya yang acak-acakkan, setiap orang pasti mengira dirinya aneh. Namun, tidak dengan Nesya. Gadis itu mengajaknya mengobrol saat sedang istirahat. Membagi makanan dengannya dan tak segan-segan membantu saat ia sedang kesulitan. Mengingat tentang Nesya tanpa sadar membuatnya tersenyum. Gadis seumuran adiknya itu, memang dari dulu sangat menarik.
Dering ponsel menarik perhatiannya. Kyle mengangkat dan terdengar suara yang dalam dari ujung telepon.
"Kyle, how are you?"
"Dad, I'm good."
"I see. Kamu belum pergi ke office kita?"
"Not yet. Maybe later."
"Soon, Kyle. Jangan menunda terlalu lama. Paling tidak, muncul lah sebentar agar para pemegang saham itu diam."
Kyle terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang, dan menjawab perkataan daddy-nya. "Sure, Dad. I will be there, soon."
Tak lama, suara daddy-nya digantikan dengan ocehan panjang dari mommy-nya yang khawatir dengan keadaannya, disela oleh teriakan adik perempuannya. Suara keduanya terdengar riuh saling bersahutan dan membuat telinga Kyle hampir pengar. Untunglah, sang papa berteriak ingin keluar dan menghentikan berbagai pertanyaan dari Jovanka dan Audrey. Setelah mengakhiri panggilan, Kyle memencet satu nomor lain dan meminta orang itu menemuinya.
Datang dalam keadaan berjas rapi, Kyle menatap laki-laki yang usianya beberapa tahun lebih tua darinya. Ia memanggil karena ingin bicara tentang perusahaan dan heran mendapati asistennya begitu rapi.
"Gama, duduklah. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu."
"Baik, Tuan Muda."
"Panggil aku Kyle atau Pak, atau Kak. Jangan tuan muda."
"Maaf, tidak bisa, Tuan Muda."
Kyle tidak dapat menahan tawa melihat sikap kaku laki-laki itu. Ia mengibaskan tangan dan menunjuk sofa di seberangnya. "Hei, santai saja. Aku hanya ingin bertanya soal perusahaan. Berapa lama kamu bekerja di Vendros?"
"Delapan tahun, Tuan Muda."
"Wow, dari umur 22 tahun?"
"Iya, lulus dari kuliah langsung bekerja."
"Hebat. Selama ini siapa yang membimbingmu, selain Uncle Steve?"
"Sebelumnya Tuan Besar Vendros sendiri."
"Grandpa?"
Gama mengangguk. Menatap pemuda tampan bermata biru yang sekarang menjadi atasannya.
"Bagus kalau begitu, Gama. Kita bisa langsung mulai pekerjaan kita. Kamu tahu bukan kalau aku menyamar? Sekarang bekerja di lantai bawah?"
Lagi-lagi Gama mengangguk. "Iya, Tuan. Sebagai Willi, seorang programer untuk Venus Art Studio."
"Perlu kamu pahami. Aku menyamar karena ada banyak hal yang ingin aku sembunyikan. Tapi, aku ingin tetap berada dekat dengan lingkungan Vendros. Karena itu, aku membutuhkan bantuanmu untuk menyelesaikan semua misi."
"Siap, Pak."
Rasanya seperti bicara dengan seorang tentara, itu yang dirasakan Kyle pada diri Gama. Namun, ia justru menyukai sikap tegas laki-laki yang sekarang menjadi asistennya. Mereka bicara panjang lebar tentang kondisi perusahaan dan mendiskusikan kapan waktu yang tepat bagi Kyle untuk naik ke lantai atas tanpa menimbulkan kecurigaan bagi yang lain. Diskusi mereka terhenti saat si pengacau kecil datang. Alvo berteriak lantang, menatang duel biliar, dan mau tidak mau Kyle menyambut tantangan sepupu kecilnya itu.
Mereka pindah ke ruang belakang mansion. Dengan Gama bertindak sebagai wasit, Kyle menghajar Alvo tanpa ampun, membuat sepupunya berteriak kesal. Meski begitu mengakui dengan besar hati kalau Kyle memang jauh lebih baik darinya.
"Aku akan belajar lagi, Kak. Lihat saja, lain kali aku akan mengalahkanmu."
Ancaman Alvo hanya ditanggapi sambil lalu oleh Kyle. Setelahnya, ia menghukum pemuda itu dengan menyuruhnya membuat wafel dan mereka menikmatinya sambil duduk di sofa.
Keesokan paginya saat ke kantor, Kyle sengaja membawa sekotak cokelat yang ia bawa dari Milan. Niat hati ingin memberikannya pada Nesya. Namun, mereka terlalu sibuk untuk bicara satu sama lain, hingga pekerjaan selesai pukul tujuh malam. Tidak banyak pegawai yang tersisa, hanya ada Nesya, Kyle, satu programmer, dan Ana yang sedari tadi sibuk menelepon.
Nesya menggeliat di kursinya, membalikkan tubuh ke arah belakang, dan menatap Kyle dengan senyum terkembang.
"Hai, mau makan malam apa? Aku lembur, jadi makan di sini."
Kyle mengangkat wajah. "Kamu mau makan apa?"
"Mi tek-tek. Di depan ada yang jual enak sekali."
Ingatan soal mi tek-tek membuat Kyle teringat dengan sang mommy. Ia mengangguk setuju dan memberikan lembaran uang pada OB yang akan membantu mereka membeli mi. Nesya menolak saat ia akan mentraktir dan ia berdalih ingin uang receh, gadis itu akhirnya menerima dengan berat hati.
"Lain kali, biar aku yang traktir kamu. Aku tidak suka berutang."
Kyle tersenyum. "Kamu bisa bayar dengan gorengan atau sarapan untukku."
Wajah Nesya cerah seketika. "Oh ya, benar juga."
Merogoh laci, Kyle mengeluarkan sekotak cokelat yang sedari pagi disembunyikan dan mengulurkannya pada Nesya yang kebingungan.
"Apa ini?"
"Cokelat, buat kamu."
Nesya mengamati kotak di tangannya. Dari bentuk dan kualitas kotak, ia tahu kalau cokelat di tangannya bukan makanan murah. Entah dari mana programer baru itu mendapatkannya.
"Ini kayaknya mahal dan enak. Dapat dari mana kamu?"
"Dari teman. Aku kurang suka, makanya aku kasih kamu."
"Wow, yakin?"
"Yakin, makanlah. Biar kamu ada semangat kerja untuk lembur."
Nesya membuka kotak dengan wajah berseri-seri. Mengambil satu cokelat dan belum sempat memakannya, terdengar teguran dari belakang.
"Cokelat apaan itu, kok bisa kamu dapat cokelat itu. Coba lihat!"
Ana ingin mengambil cokelat itu, tapi Kyle bertindak cepat dengan mengambil dan menjauhkannya dari jangkauan gadis itu. Ana terbelalak dan menatap Kyle sengit.
"Eh, laki-laki culun. Aku cuma mau lihat cokelat itu sebentar. Takut amat aku rebut."
Nesya mendengus, memasukkan cokelat di tangannya. "Aah, enaaaknya."
"Norak!" desis Ana. "Orang kampung yang tidak pernah makan cokelat mahal. Makanya jadi norak!"
"Biarin, wek!" Nesya meleletkan lidahnya ke arah Ana. "Bilang aja kamu penasaran, cokelat apa itu."
Ana berkacak pinggang. "Buat apa aku iri, paling juga cokelat itu kualitasnya jelek. Kenapa? Hanya kotaknya yang bagus, dalamnya pasti palsu."
Nesya menatap alis Kyle yang terangkat lalu terkikik keras. "Iya, iya, cokelat palsu. Sana, pergi! Ganggu aja kamu!"
Ana mendengus, menatap Nesya dan Kyle bergantian. "Gadis seperti kamu memang pantas berteman dengan dia." Menunjuk Kyle dengan dagu dengan nada bicara yang melecehkan. "Cukup puas hanya dengan cokelat murah!"
Nesya tersenyum. "Cokelat murah yang rasanya enaak sekali, lumer di mulut, dan membuat lidah bergetar karena senang. Kamu pasti suka kalau bisa mencobanya."
"Siapa yang sudi."
"Eh, aku tidak mau ngasih juga. Willi juga tidak mau ngasih kamu."
Kyle menggeleng. "Tidak, cokelat ini untuk kamu."
Dengan geram Ana meninggalkan meja mereka. Nesya tidak memedulikannya. Ia sudah tahu sikap Ana yang egois dan tidak akan terintimidasi karenanya. Sudah sering ia menahan diri dari kekejaman gadis itu, sesekali membantah tidak akan membuatnya dipecat.
"Enak?" tanya Kyle saat cokelat kedua masuk ke mulut gadis itu.
"Sangaaat. Terima kasih, Willi."
Kyle tersenyum, melihat kegembiraan di wajah Nesya. Ia tidak tahu, apakah gadis itu masih akan bersikap sama seandainya tahu kalau dirinya sudah berbohong dan berpura-pura. Ia akan pikirkan hal itu nanti, yang terpenting sekarang adalah menjadi temannya.
Pukul 12, pekerjaan Nesya selesai, sebenarnya Kyle lebih dulu menyelesaikan pekerjaannya. Namun, ia sengaja menunggu gadis itu. Hujan turun perlahan saat mereka keluar dari kantor. Nesya mengedarkan pandangan, menatap cemas ke sekelilingnya yang gelap dan basah.
"Kamu pulang naik apa?" tanya Kyle.
"Biasanya ojek, tapi hujan begini pasti tidak ada yang mau."
"Kenapa tidak naik taksi?"
Menoleh cepat, Nesya menatap Kyle dengan senyum terkulum. "Tuan Willi, aku ini gadis miskin dengan penghasilan tidak seberapa. Taksi itu kendaraan mewah untukku."
Kyle membuka mulut, ingin mengajukan protes pada Nesya. Namun, ia mengingat tentang informasi yang didapat. Keadaan keluarga Nesya memang tidak dalam kondisi yang baik.
"Kamu mau aku antar?" Akhirnya ia menawarkan diri.
"Kamu bawa mobil?" tanya Nesya heran.
Kyle mengangguk. "Iya, mobil tua. Sesekali mogok, tapi lumayan sebagai kendaraan saat hujan begini."
Nesya ragu-ragu sesaat, mempertimbangkan berbagai kemungkinan, antara naik ojek atau ikut dengan pemuda berkacamata di sampingnya. Mengingat tentang banyaknya uang yang bisa dihemat kalau menebeng, akhirnya ia mengangguk setuju.
Di dalam kendaraan tua dengan pendingin udara yang tidak terlalu berfungsi, mereka duduk bersebelahan. Nesya mengedarkan pandangan ke sekeliling mobil dan tidak merasa buruk.
"Mobil tua, tapi lumayan untuk dipakai. Kamu punya uang juga untuk beli mobil."
"Oh, ini hadiah dari orang tuaku."
"Wih, hadiah mobil. Orang tuamu pasti kaya."
"Tidak juga. Lumayan lah."
Nesya merenung sesaat, lalu berucap sendu, "Keadaan keluargaku dulu juga lumayan, sampai akhirnya pabrik papaku kena masalah dan memaksa kami untuk memulai lagi dari awal."
Kyle melirik Nesya, merasakan tusukan kesedihan. "Kamu tinggal di mana?"
"Jalan Perjuangan, bersama keluarga tanteku."
"Itu tidak jauh dari rumahku. Mau aku antar jemput setiap hari?"
Nesya melongo, menatap Kyle dengan pandangan kaget. "Yakin? Kamu mau antar jemput aku?"
"Tentu saja. Asal kamu tidak mau jalan sama orang culun sepertiku."
"Hah, tentu saja mau. Yang ngatain kamu culun itu Ana, bukan aku. Bagiku, setiap orang itu keren dengan cara mereka masing-masing."
Kyle tidak dapat menahan senyumnya. Ia membiarkan Nesya menyalakan radio dari ponsel dan suara musik mengalun lembut. Di luar hujan turun dengan deras, sementara hati Kyle menghangat dengan seorang gadis yang sekarang tertidur di sampingnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro