Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14

Kyle menatap ruang pertemuan. Ada banyak orang di sana, duduk di atas kursi menghadap meja panjang. Ia sendiri duduk di meja ujung dengan Gama berdiri tak jauh darinya. Sebenarnya, pihak dari PT. Serayu menginginkan pertemuan di tempat mereka, tapi ia menolak. Saat ini, mereka berada di ruang pertemuan yang ada di sebuah hotel dan merupakan tempat netral.

Banyak orang berpikir, akan lebih cepat kalau menuruti kehendak PT. Serayu. Mereka adalah salah satu grup kuat dan berpengaruh di bisnis. Salah satu alasannya karena pemegang saham terbesar adalah seorang menteri. Ia mendengar banyak saran termasuk dari para pemegang saham dan dewan direksi kalau menjalin hubungan kerja sama dengan mereka akan menguntungkan, tapi Kyle punya pemikiran lain. Ia tidak suka ditekan dan yakin kalau PT. Serayu mengajukan kerja sama bukan murni ingin saling menguntungkan, pasti ada banyak deal-deal yang harus dipenuhi dan ia tidak ingin memberikan kesan kalau membutuhkan. Pendapatnya didukung oleh sang daddy dan Steve.

"Daddy ingat dulu saat perusahaan Andrew menekan kita. Saat itu, bukan hanya saham yang meluncur jatuh, tapi banyak sabotase yang merugikan perusahaan. Karena dari awal, Daddy terlihat bergantung dengan mereka, terlihat seolah mengharapkan proyek besar yang mereka tawarkan. Akibatnya, saat tidak bisa menepati keinginan mereka, kita dihancurkan. Jangan sampai itu terulang, kalau memang yang mereka tawarkan tidak menguntungkan, lepas saja. Tidak usah takut karena mereka grup besar."

Kyle mengingat nasehat daddy-nya, terlebih saat mendengar informasi dari Steve yang membuatnya semakin yakin untuk berhati-hati.

"PT. Serayu masih ada hubungan dengan keluarga Andrew, yaitu almarhum Pak Johanes. Kita tidak tahu bagaimana mereka sekarang. Pikirkan masak-masak sebelum mengambil keputusan, Kyle. Uncle mendukung apa pun keputusanmu."

Lamunan Kyle terputus saat pintu menjeblak terbuka, rombongan masuk, dan yang paling depan adalah seorang wanita memakai setelan merah didampingi laki-laki gemuk berjas abu-abu. Wanita itu melangkah cepat ke arahnya dan tersenyum mengulurkan tangan.

"Apa kabar, Tuan Kyle. Saya Nadira."

Kyle bangkit dari kursi, menerima uluran tangannya. "Apa kabar, Nona."

"Bisakah kita saling memanggil nama?"

"Tentu. Silakan duduk."

Nadira, berumur kurang lebih awal tiga puluhan. Wanita yang terlihat begitu percaya diri dan berkuasa, dilihat dari caranya memperlakukan anak buahnya. Dia hanya mengangguk kecil dan orang-orang yang semula berdiri di dekatnya, menyebar untuk mencari kursi. Wanita itu juga tidak segan untuk menunjukkan keinginannya, terbukti dari caranya yang memuji Kyle secara langsung, tanpa ragu-ragu.

"Kalau aku tahu ternyata Kyle begitu tampan, aku akan datang dengan gaun pesta, alih-alih setelan membosankan."

Pujiannya dibalas senyuman oleh Kyle. Ia menatap sekilas dan membuka dokumen yang disodorkan padanya.

"Kalau boleh tahu, kenapa PT. Serayu ingin kerjasama dengan Vendros Group? Setahuku, kita bahkan bersaing dalam banyak hal."

Nadira tersenyum, menyilangkan sebelah kakinya. "Wah, kamu ternyata blak-blakan sekali, Kyle. Tapi, aku suka." Ia memiringkan kepala, menatap Kyle lebih intens. "Kalau kita bersama menjadi lebih kuat, kenapa harus bersaing?"

Kyle mengernyit, membaca, dan memahami yang tertulis di dokumen, lalu menutupnya. "Sejujurnya, yang kalian tawarkan tidak terlalu menguntungkan bagi kami."

Ruangan sunyi, senyum lenyap dari bibir Nadira. Menegakkan tubuh, ia menatap Kyle dengan mengernyit. Orang-orang yang dibawanya pun ikut tegang melihat sikapnya.

"Kamu hanya melihat sekilas penawarannya dan sudah langsung memutuskan?"

Kyle mengangguk tanpa ragu. "Benar. Bisa dibilang, kami tidak tertarik."

"Kami? Kami siapa? Setahuku di sini hanya kamu yang memutuskan. Bukankah seharusnya kamu bawa proposal kami ke dewan direksi?"

"Tanpa melihat itu, aku yakin para dewan direksi akan menyetujui keputusanku."

"Kamu tahu, bukan? Berapa persen keuntungan yang bisa kalian dapatkan kalau bekerja sama dengan kami? Bayangkan, itu tambang minyak bumi terbesar. Perusahaan konstruksi kalian akan sangat untung dengan proyek ini."

Kyle menyandarkan tubuh, menatap Nadira sekilas, lalu mengedarkan pandangan pada orang-orang di sekeliling meja. Ia memikirkan kata-kata yang tepat untuk menggagalkan kerja sama ini. Ia tahu sedang diremehkan dan tidak akan tinggal diam.

Sebenarnya, yang dikatakan Nadira memang benar. Tambang minyak yang ditawarkan untuk digarap adalah tambang terbesar, hanya saja banyak hal yang harus dikorbankan demi proyek itu, termasuk nama baik Vendros dan Kyle tidak menginginkan itu.

"Aku tidak akan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip keluarga Vendros, tentunya kamu tahu yang mana yang aku katakan, Nadira."

Mengepalkan tangan di bawah meja, Nadira berusaha menjaga wajahnya untuk tetap netral. Meskipun dalam hatinya menggelegak marah. Ia menatap Kyle, memikirkan kata-kata untuk melunakkan laki-laki muda di depannya, tapi tahu kalau sekarang, apa pun yang ia katakan tidak akan berpengaruh.

"Rupanya, aku salah menilaimu, Kyle. Aku pikir dengan umur kita yang tidak jauh berbeda, seharusnya kita bisa menyamakan visi."

Kyle menggeleng. "Visiku adalah visi Vendros."

Nadira pergi setelah tidak mencapai kata sepakat dengan Kyle. Wanita itu berpesan pada Kyle untuk mempertimbangkan kembali dan menunggu jawaban.

"Pikirkan, ini kesempatan besar. Vendros Group memang tangguh, tapi Serayu Group jauh lebih besar. Kalian akan menyesal kalau menyia-nyiakan kesempatan ini."

Hingga sosok Nadira menghilang di balik pintu, Kyle menjaga pikirannya untuk tetap tenang. Ia memanggil Gama mendekat dan berbisik, "Telepon Irene, bilang padanya aku menolak ajakan kerja sama mereka."

Gama tertegun sesaat, lalu mengangguk. "Dua-duanya ditolak, Tuan?"

"Iya." Bangkit dari kursi, Kyle mencari ponselnya, lalu tersadar kalau tertinggal di rumah. Ia menatap Gama, menanyakan jam. Saat tahu kalau sudah melewati batas janji dengan Nesya, ia merasakan penyesalan karena tidak bisa memberi kabar.

Melangkah beriringan menuju lift, Kyle memberikan serangkaian instruksi pada asistennya. Tiba di lift, bersandar pada dinding dan menatap nanar pada ruang lift yang kosong. Pikirannya mengembara, sementara Gama di sampingnya sibuk mengirim pesan. Ia memikirkan tentang beberapa hal yang terjadi bersamaan dan akhirnya menarik satu kesimpulan.

"Gama, mereka mengira dengan menyodorkan para wanita untuk bernosiasi denganku, akan membuat hatiku melembut." Kyle tersenyum simpul. "Mereka salah. Hatiku tidak akan goyah."

Gama mengangguk, mengerti apa yang dipikirkan oleh tuannya. Ia yakin saat nanti penolakan diterima oleh perusahaan Irene, wanita itu pun akan bereaksi sama dengan Nadira. Ia tidak tahu, apa yang dipikirkan perusahaan-perusahaan itu dengan menganggap kalau Kyle akan melunak terhadap wanita. Ia tahu persis bagaimana sikap keluarga Vendros, tidak akan terganggu kalau bukan oleh wanita yang dicintai. Gama tahu, pada siapa hati Kyle berlabuh.

***

Nesya setengah berlari menembus gerimis. Ia lupa membawa payung dan tidak menyangka akan kehujanan. Pagi ini, ia sengaja tidak ingin dijemput Kyle, karena harus pergi ke rumah seorang teman sebelum ke kantor. Kalau biasanya ada mobil Kyle yang membantunya menaungi dari panas dan hujan, kali ini ia berjuang dengan ojek online.

Hujan mendadak deras begitu ia tiba di lobi. Mengembuskan napas panjang, ia mengibaskan air dari rambut dan pakaiannya. Merasa bersyukur karena hujan turun saat sudah mencapai kantor.

Orang-orang datang dengan payung mereka, membasahi lantai dengan percikan air. Nesya mengelap kaki pada keset sebelum melangkah masuk. Tiba di ruangan, belum banyak yang datang. Mungkin sebagian orang terjebak hujan yang membuat banyak ruas jalan macet.

Nesya tersenyum lebar saat melihat pemuda berkacamata duduk menghadap laptop dengan wajah serius.

"Pagii, Willi!"

Kyle mendongak, lalu mengangguk kecil, tidak menjawab sapaan Nesya.

"Sudah sarapan? Aku bawa makanan."

Nesya mengeluarkan dua bungkus kotak dari dalam tas dan menyerahkannya pada Kyle. "Ada cireng kesukaanmu."

Melihat Kyle hanya diam dan tidak antusias seperti biasanya, Nesya merasakan keanehan. Ia menarik kursi, duduk menghadap Kyle dan mengetuk permukaan meja pemuda itu.

"Hei, kenapa diam saja? Sakit gigi?"

Kyle mendongak, lalu menggeleng. Kembali sibuk dengan pekerjaannya.

"Kok, diam saja? tidak lapar?"

"Sudah makan tadi."

"Makan apa?"

"Makan hati."

Nesya menggelengkan kepala, tidak mengerti dengan sikap Kyle yang berubah dingin. Seingatnya ia tidak melakukan kesalahan yang membuat pemuda itu marah. Justru seharusnya ia yang marah, karena Kyle sudah mengingkari janji untuk mengantarnya ke kampus. Menghela napas panjang, ia menutup kotak makanan.

"Ya sudah kalau tidak mau sarapan, aku simpan lagi. Kamu tidak tahu usahaku buat beliin kamu cireng. Kena gerimis, macet, belum lagi berebut sama pembeli yang lain, karena ini cireng terkenal. Eh, malah dicuekin."

"Semalam kamu ninggalin pesan di mejaku?" ucap Kyle.

Nesya mengangguk. "Iya, soalnya aku ingat kamu tidak bawa ponsel. Kenapa?"

"Seharusnya tidak usah bilang aku jelek, aku sadar kok aku jelek."

Nesya tercengang, menatap Kyle yang berucap dengan suara merajuk. "Eh, apa-apaan, sih? Siapa yang bilang kamu jelek?"

Kyle meraih selembar kertas yang pagi tadi ditemukan di atas meja dan menyerahkannya pada Nesya yang menerima dengan bingung. Saat membaca tulisan di atasnya, Nesya mendongak dan berkata gugup, "Eh, ini salah. Kamu seharusnya tahu ini bukan tulisanku. Aku tidak menulis ini semalam."

Kyle menyandarkan tubuh, menaikkan sebelah alis. "Entahlah, soalnya itu ada namamu."

"Willi, please. Kamu jangan marah. Coba perhatikan dengan jelas." Nesya meraih catatannya dan membuka. "Lihat, ini bukan tulisanku!"

"Kalau gitu, kenapa ada di atas mejaku?"

"Mana aku tahu? Yang pasti kamu harus percaya padaku."

Melihat sikap panik Nesya, Kyle tidak dapat menyembunyikan senyumnya. Senang rasanya bisa menggoda gadis itu. Ia berdehem kecil, menarik kotak, dan mengambil sepotong cireng.

"Iya, aku tahu itu bukan tulisanmu. Paling juga perbuatan Ana."

Nesya tercengang. "Kamu tahu? Tapi kamu sengaja membuatku panik?"

Kyle tertawa lirih. "Kamu imut kalau lagi panik. Senang aja melihatnya."

Tidak bisa menahan rasa kesal, Nesya memukul punggung dan bahu Kyle, tidak peduli kalau pemuda itu berteriak kesakitan. Pukulannya terhenti saat Kyle meraih pergelangan tangannya.

"Nesya, sakit. Aku mengaku salah."

"Lagian, bikin kesel."

Di tengah guyuran hujan yang membuat ruangan menjadi semakin dingin, dengan tetes air membasahi pintu kaca, keduanya terdiam dan saling berpandangan. Jemari Kyle melingkari pergelangan tangan Nesya, satu pikiran nakal terlintas di otaknya. Dengan sekali sentak, gadis itu akan jatuh di pangkuannya. Namun, ia memilih untuk tetap berpikir waras dan melepaskan tangan Nesya.

Nesya duduk tanpa menoleh lagi. Mencoba meredakan debar di dada. Ia menghela napas panjang, merasakan hangat jemari Kyle yang tertinggal di pergelangan tangannya. Dalam hatinya berteriak, ada Kyle Vendros di hati, tidak boleh goyah oleh kehadiran pemuda berkacamata di belakangnya. Meski begitu, ia tidak dapat mengingkari tentang jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro