Bab 12
Sebuah pertemuan yang heboh, kedua gadis itu berpelukan, dan berteriak bersamaan saat berjumpa. Audrey dan Nesya, saling memeluk erat dan tak henti-hentinya menyatakan kegembiraan mereka karena bisa berjumpa lagi setelah sekian lama. Tidak peduli pada pengunjung restoran yang menatap keduanya, mereka mengungkapkan kebahagiaan.
"Kenalkan ini adik sepupuku, Alvo." Audrey memperkenalkan Nesya pada Alvo yang sedari tadi diam menunggu.
Nesya mengulurkan tangan untuk menjabat, tapi Alvo mengabaikannya. Pemuda itu malah membuka tangannya lebar-lebar dan memeluk Nesya dengan lembut.
"Kak Nesya, sama cantiknya dengan Kak Audrey. Aku yang bangga ada bersama kalian."
Nesya tergelak, membiarkan dirinya dipeluk. "Hai, Alvo. Kamu tampan sekali."
Alvo menegakkan tubuh. "Tentu saja, seluruh dunia tahu aku tampan."
Mereka duduk mengelilingi meja. Audrey dan Nesya terlibat dalam percakapan seru, sementara Alvo sibuk dengan ponselnya. Ia mengerti untuk tidak mengganggu dua gadis di depannya.
Restoran tempat mereka bertemu adalah restoran yang menyajikan masakan oriental. Berbagai jenis olahan sayur dan daging dikeluarkan dan hanya Alvo yang menikmati hidangan.
"Kamu sama seperti dulu, cantik," puji Audrey.
"Ih, kamu lebih cantik dari aku. Kulitmu putih, tinggi, aduuh, kalau aku laki-laki pasti aku sudah naksir kamu," jawab Nesya.
"Tapi, jenis wajahmu yang ayu dan lembut itu, banyak disukai laki-laki. Kalau aku, menurut mereka itu pasaran."
Nesya melotot dan menggeleng tidak setuju. "Hah, mereka yang buta atau kamu yang terlalu merendah. Please, Audrey. Kamu itu perfect!"
"Ehm, sudah-sudah. Kalian berdua tidak usah berebut. Di sini, aku paling tampan." Alvo berdehem dan menghentikan perdebatan.
Nesya dan Audrey bersamaan memandang Alvo, lalu tergelak. Mengambil sumpit, mereka mulai makan. Perasaan Nesya membuncah dalam rasa bahagia. Setelah berpisah bertahun-tahun, ia bertemu kembali dengan sahabat masa kecilnya. Tidak ada yang berubah, kecuali fisik mereka. Audrey tetap ramah dan ceria seperti yang ada dalam ingatannya. Wajah Audrey mirip sekali dengan mommy-nya, sedangkan Kyle, sepertinya mirip daddy-nya. Teringat pada pemuda itu, ia berdehem kecil.
"Aku ketemu kakakmu di kantor."
Audrey dan Alvo mendongak bersamaan. Berusaha menutupi kekagetan mereka.
"Di kantor?" Audrey mengulangi perkataan Nesya.
"Iya, beberapa hari lalu. Di dalam lift tepatnya. Dia sedang bersama teman atau klien dan aku sedang ...." Nesya terdiam sesaat, merasa wajahnya memerah mengingat momen itu. "Membawa papan gambar."
"Kalian tidak saling tegur?"
Nesya tersenyum kecil. "Hanya menyapa kecil. Siapa yang berani untuk mengajaknya bicara." Ia teringat tentang betapa tampan dan berwibawanya Kyle. Seorang CEO dan pewaris perusahaan besar. Mana mungkin ia berani bersikap sok akrab dengannya. Nesya merasa ia harus lebih tahu diri.
"Padahal, kalian kenal dari kecil. Aku yakin kakakku pasti ingin mengobrol denganmu."
"Entahlah, aku yang malu."
Nesya menunduk, tidak enak hati harus mengungkapkan sebuah kebenaran. Ia memang malu, tapi yang utama adalah tidak cukup punya keberanian dan rasa percaya diri untuk bersikap akrab dengan Kyle. Pemuda itu bukan lagi teman masa kecil, tapi juga pimpinan di perusahaan tempatnya bekerja.
"Kamu masih tinggal bersama tantemu?" Audrey mengalihkan topik pembicaraan, melihat Nesya yang tertunduk malu.
"Masih."
"Tidak ada niat tinggal sendiri?"
Nesya mengangguk. "Tentu ada, aku sedang mengumpulkan uang sekarang, Ada kontrakan di dekat kantor, jadi aku tidak perlu bolak-balik ongkos lagi, tapi, yah, agak mahal."
"Orang tuamu, bagaimana?"
"Mereka berniat membantu, tapi aku menolak." Nesya menatap Audrey dan tersenyum. "Aku sudah bertekad untuk mandiri, jadi, yah, harus bisa."
"Hebat kamu, Sayang. Kereen." Audrey memuji dengan tulus. "Bisa menjalani hidup dengan mandiri." Dalam hati ia berkata, tidak aneh kalau kakaknya menyukai Nesya karena gadis itu memang layak untuk disukai. Dengan sikap yang tulus dan kemandirian dalam menjalani hidup, Nesya pasangan cocok untuk kakaknya. Namun, ia menyimpan sendiri pikirannya dan membiarkan takdir yang akan menentukan hubungan mereka.
"Kak Nesya keren," timpal Alvo.
Perhatian mereka teralihkan saat terdengar pertengkaran dari meja ujung. Seorang wanita berdiri sambil memegang gelas berisi air dan sepertinya siap untuk menyiram. Sedangkan di depannya, seorang laki-laki duduk tenang. Entah apa yang mereka bicarakan, karena si wanita terlihat geram.
Audrey mengedip, menajamkan pandangan. Ia mengenali laki-laki itu dan seketika teringat kalungnya yang hilang.
"Kalian tunggu sebentar. Aku ke sana." Ia berdiri dari kursi dan menghampiri meja laki-laki itu.
"Kamu tidak bisa begini padaku, Dareen. Perjodohan ini sudah diatur."
"Kamu jelas tahu, aku belum ingin menikah, Qanita. Sebaiknya kamu tenangkan diri dan letakkan gelas itu."
"Tidak, aku marah."
"Silakan, tapi perasaanku tidak akan berubah."
"Pak Tua, kamu di sini?" Audrey menyapa ramah.
Dareen menatapnya kaget, begitu pula Qanita yang masih berdiri dengan gelas di tangan. Pandangan mereka membuat Audrey sadar kalau ia sedang menyela sebuah percakapan penting.
"Eh, maaf, mengganggu. Nanti saja kita bicara." Audrey tersenyum dan berniat pergi saat Dareen dengan cepat meraih tangannya dan menggenggam erat tangannya. "Apa-apaan ini?"
Dareen menatap Audrey, mengabaikan pandangan Qanita. Senyum kecil tersungging di mulutnya. "Jangan pergi dulu, Sayang. Pembicaraanku hampir selesai."
"Apaa?!"
Audrey dan Qanita memekik bersamaan. Menggelengkan kepala dengan mata melotot, Audrey merasa kalau laki-laki di depannya sudah gila. Siapa dia, berani-beraninya memanggil dengan sebutan sayang.
"Kalau kamu pergi sekarang, aku yakin nanti kamu akan ngambek berhari-hari. Jadi, sekalian saja kita selesaikan di sini."
"Dareen, apa maksudmu dengan selesaikan di sini? Siapa gadis itu?" Qanita bertanya dengan suara gemetar. Menatap Audrey dengan rasa permusuhan, terlebih saat melihat tangan Dareen tidak mau melepaskan tangan gadis itu.
Dengan sengaja Dareen mengusap punggung tangan Audrey. "Dia kekasihku."
"Hah, gadis kecil itu! Bukannya kamu bilang tidak ingin menikah?"
"Hanya pacar, belum tentu menikah. Seperti katamu, dia masih muda dan aku rela menunggu."
"Tu–tunggu, apa ini." Audrey kebingungan, terjebak dalam percakapan aneh. Mulai kapan ia menjadi pacar laki-laki ini dan kenapa mereka seenak jidat memanggilnya anak kecil? Harga dirinya terluka seketika. "Ini pasti ada salah paham, Pak Tua."
"Nah, kamu dengar Qanita? Dia memanggilku Pak Tua, karena memang perbedaan umur kami yang jauh. Tapi, menurutku dia cute."
Qanita melotot, wajahnya memerah, dan terlihat menyeramkan karena amarah yang hampir menyembur keluar. Tangannya yang memegang gelas gemetar. Seolah-olah ada sesuatu yang baru saja memukul dadanya dan membuat rasa sakit tersirat dari wajahnya.
Audrey yang melihat adanya bahaya, berusaha melepaskan diri dari Dareen. Sialnya, pegangan laki-laki itu terlalu kuat.
Mendengus keras, Qanita berucap tajam, "Kamu memang laki-laki tidak tahu malu dan tidak tahu diuntung Dareen, Aku bersedia merendahkan diriku untuk menjadi tunanganmu. Ternyata, begini balasanmu."
"Qanita, dari awal kita berdua tidak cocok," tukas Dareen.
Ia bangkit dari kursi, dengan sigap berdiri di depan Audrey saat Qanita menyiramkan air ke arah gadis itu. Air tumpah, membasahi meja, dan bagian depan jas Dareen. Audrey yang melihat kejadian itu hanya ternganga.
"Qanita, kalau kamu sudah selesai melampiaskan emosi, sebaiknya kamu pergi sekarang."
Memberikan tatapan sinis terakhir kali, Qanita meninggalkan meja, tidak peduli dengan keadaan Dareen. Sudah cukup ia merasa malu dan sakit hati karena penolakan laki-laki itu.
Saat sosok Qanita menghilang di pintu restoran, Dareen melepaskan tangan Audrey, dan meraih beberapa lembar tisu untuk mengelap kemejanya.
"Kasihan sekali kamu, Pak Tua. Jadi sasaran kemarahan perempuan. Makanya, jangan PHP," decak Audrey.
Dareen menatapnya sekilas. "Mau apa kamu?"
Sikap Dareen yang kembali kaku dan dingin setelah sandiwara selesai, membuat Audrey tertawa lirih.
"Aku datang untuk bertanya, apa kamu lihat kalungku saat di bandara? Saat rambutku masuk ke kancing kemejamu, jangan-jangan kalungnya ikut tersangkut."
"Ada memang."
"Hah! Benar?" pekik Audrey gembira. Ia mengulurkan tangan. "Mana?"
"Tidak ada."
"Maksudnya?"
"Tidak ada di sini."
"Oke-oke, aku akan kasih alamat. Bisakah kamu mengirimkannya padaku? Atau, kamu kasih alamatmu, biar aku ke sana dan mengambilnya."
Dareen mengernyit, menatap gadis yang sedang tersenyum di depannya. "Kenapa aku harus mengembalikan kalung itu?"
Senyum lenyap dari wajah Audrey. Ia melotot dengan kesal. "Apa-apaan, sih? Itu kalungku, jelas kalau kamu harus kembalikan."
"Boleh saja, dengan satu syarat."
"Hei, Pak Tua. Jadilah orang yang baik. Itu kalungku, kenapa harus ada syarat."
"Terserah, kalau kamu tidak mau, berarti benda itu jadi milikku."
Audrey mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh, menatap Dareen dengan geram. Menurutnya, laki-laki ini benar-benar tidak tahu malu. Kalung itu miliknya, sudah seharusnya dikembalikan, bukan malah membuatnya susah.
"Apa maumu?" Ia bertanya kesal.
Dareen menatapnya, mengeluarkan ponsel. "Berikan nomor ponselmu."
"Kenapa?"
"Aku akan memberimu kabar, kapan, dan di mana kamu harus membantuku untuk mendapatkan kalungmu kembali."
"Membantu apa?"
"Ada satu perjodohan lagi, tugasmu seperti tadi, membantuku menggagalkannya."
"Eh, Pak Tua! Kenapa aku harus terlibat urusan pribadimu!"
"Terserah kalau kamu tidak mau, akan aku jual kalung itu."
Memejam dan menahan keinginan untuk memukul laki-laki di depannya, Audrey berusaha mengendalikan emosinya yang menggelegak. Kalung itu peninggalan berharga dari neneknya dan laki-laki berengsek ini membuatnya susah. Dengan terpaksa ia menyebutkan nomor ponselnya.
"Bagus, tunggu kabar dariku, jadilah perempuan manis kalau mau kalung itu kembali."
Tanpa banyak kata Dareen meninggalkannya. Audrey yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi hanya melongo. Untuk sesaat tak percaya dirinya terlibat dalam urusan asmara orang lain. Saat tiba di mejanya kembali, Nesya dan Alvo bertanya apa yang terjadi.
"Bukan siapa-siapa, hanya kenal saja. Kalungku yang hilang ada di tangan laki-laki itu."
Alvo mengangguk, menunjukkan pemahaman. "Ah, pantas kayaknya pernah lihat. Itu laki-laki yang ada di bandara."
"Benar."
"Trus, mana kalungnya?" tanya Nesya.
Audrey mengangkat bahu. "Tidak ada."
"Kok?"
"Dia tidak membawanya. Aku harus mengambilnya sendiri."
Acara makan mereka diakhiri dengan gerutuan dan rasa tidak puas yang mereka rasakan terhadap Dareen. Audrey hanya mendengarkan curahan kekesalan dari Nesya dan sepupunya tanpa menyebutkan satu syarat lain untuk mendapatkan kalung itu. Diam-diam ia mendesah, merasa hidupnya sial. Belum lama kembali, dan harus berhadapan dengan laki-laki berengsek seperti Dareen.
"Kali ini kamu menang, lihat pembalasanku berikutnya. Dasar, Pak Tua!"
Menusuk sepotong ayam panggang di dalam mangkok dengan tenaga yang sedikit berlebihan, Audrey membuat makanan itu melayang dan jatuh ke lantai. Alvo dan Nesya menatapnya, lalu entah siapa yang memulai, ketiganya tertawa terbahak-bahak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro