Bab 1
Rumah yang cukup tua di pinggir jalan, dengan pagar besi hitam. Diapit oleh rumah-rumah besar di sekitarnya, membuat posisi rumah itu terlihat mencolok. Jejak karat di pagar, mencoba disamarkan dengan polesan cat yang tidak banyak membantu. Beratap genteng dengan tembok putih-yang sepertinya ditimpa warna baru-tidak mengubah kesan tua dan suram.
Dua buah mobil terparkir berdampingan di halaman dan membuat orang-orang yang lewat menatap heran. Bagaimana tidak, satu mobil berupa sedan tua yang sudah mengelupas catnya, sedangkan satu lagi mobil sport hijau daun yang mencolok mata. Tidak ada yang kenal siapa penghuni rumah itu, karena baru menempati rumah selama seminggu.
Di dalam kamar dengan jendela lebar dan tinggi, seorang pemuda berseragam SMA yang trendy, dengan rambut di cat hitam kebiruan, menatap pemuda yang lebih dewasa di depannya. Alis matanya berkerut, ketidaksetujuan terlihat jelas di matanya yang berbinar tidak puas. Suara decakan terdengar jelas di kamar yang sepi.
"Kak."
Pemuda berseragam menghela napas jengkel, melihat bagaimana si kakak kini mengambil wig dan memasangnya di kepala, menutupi rambut tebal kecokelatannya. Wajah tampan bermata biru, kini tidak dikenali lagi dengan wig pendek dan kaku, softlens hitam, kacamata bingkai tebal. Kalau itu tidak cukup, ada jambang palsu menempel di rahang kokohnya kini. Segala sesuatu yang baru dia lihat, membuat Alvo kesal.
"Aku masih tidak habis pikir. Kenapa wajah tampanmu harus dibuat acak-acakan seperti gitu. Ayolah, Kak. Mana ada perempuan yang mau melihat jika penampilanmu seperti itu."
Kyle berbalik dari kaca, menatap sepupunya yang terlihat tidak puas. Ia mengulum senyum, menepuk pundak Alvo.
"Aku mau bekerja, makanya harus begini."
Alvo mendengus keras. "Kerja? Kakak tinggal datang ke kantor Vendros dan duduk di singgasana pimpinan. Ngapain juga pakai acara ganti penampilan, menyamar jadi jelek, lalu melamar jadi programer. Di perusahaan sendiri pula, oh my god!"
"Ada hal yang kamu tidak mengerti."
"Oh ya, apa? Kalau begitu Kakak kasih tahu aku."
"Belum saatnya. Lagi pula, anak kecil mau tahu saja urusan orang lain." Kyle menatap sepupunya dari atas ke bawah, lalu menggelengkan kepala. "Kamu sendiri bagaimana? Mana ada anak sekolah pakai seragam, tapi rambut dicat biru?"
Alvo mengangkat dua tangan. "Eit, aku murid spesial. Lagi pula, itu sekolah milik Grandpa. Tidak ada yang bisa macam-macam denganku di sana."
Dengan jengkel Kyle memukul bagian belakang kepala bocah berseragam itu. "Kamu ini! Mentang-mentang keturunan Vendros, jadi bertingkah semaunya."
"Aduh, sakit tahu. Lagi pula, kalau bukan aku yang harus bersikap layaknya Vendros, memang siapa yang bisa? Kak Kyle asyik di luar negeri, sekalinya pulang malah menyamar. Kak Audrey? Hanya Tuhan yang tahu, apa yang dia mau."
Dengan tidak sabar, Kyle meraih bahu Alvo dan mendorongnya keluar kamar. Bicara dengan sepupunya yang masih muda memang sering membuatnya kesal. Selalu diikuti kemauannya oleh kakek dan nenek mereka membuat Alvo jadi manja dan arogan. Tidak sedikit kabar yang ia dengar tentang Alvo dan membuatnya geleng kepala. Tidak ada yang menegurnya saat sepupunya itu menjadi bos di sekolah, semua orang takut padanya. Kedua orang tua Alvo bahkan berniat mengirim ke luar negeri saat lulus SMA nanti, agar diasuh oleh Max dan Jovanka. Niat itu membuat Audrey senang, tapi tidak dengannya. Ia tidak ingin ketenangan rumahnya hancur karena tingkah seorang anak baru gede yang pemberontak.
"Kak, mau ke mana?" protes Alvo. Ia meringis karena Kyle menyeret kerah seragamnya. Berniat memberontak, tapi tidak bisa karena besarnya kekuatan Kyle.
"Sekolah. Kamu pikir sekarang jam berapa? Sudah jam tujuh dan kamu masih di sini."
"Eh, waktu sekolah belum tiba."
"Sudah! Dan kamu sengaja terlambat." Kyle terus memegang kerah bagian belakang Alvo, tidak membiarkannya memberontak. Melewati ruang tamu yang luas, menuju halaman, dan melemparkannya ke dalam mobil. Saat melihat pemuda itu mencebik dengan wajah kesal, ia menuding. "Pergi sekolah sekarang. Awas kalau sampai nilaimu jelek. Aku akan menghukummu. tidak boleh datang ke rumah selama sebulan!"
Alvo melotot. "Hah, apa-apaan itu!"
"Aku sudah di Jakarta dan akan memonitor sikapmu."
"Tidak ada yang salah dari sikapku."
"Oh, siapa yang mengatakan itu? Papa kamu dokter, seorang kepala rumah sakit besar, tapi look at you!"
"Aku bukan Papa."
"Sure, at least jadi anak yang tidak merepotkan. Sana, sekolah!"
Alvo menunduk, mengetuk-ngetuk dashboard mobil. Bicara dengan Kyle selalu membuatnya mati kutu. Kakak sepupunya yang tampan, menguasai segala macam bidang dari pelajaran sampai olahraga, membuatnya kagum sekaligus iri. Ia suka bergaul dan bicara dengan Kyle, kalau sampai dihukum tidak boleh datang ke rumah sepupunya selama satu bulan, adalah bencana besar untuknya.
"Iya, iya, aku akan belajar giat."
Kyle menepuk bahunya. "Nah, bagus. Anak remaja memang harus begitu."
Alvo mendongak, menatap Kyle sekali lagi dengan tidak puas. "Kenapa juga harus membuat diri sendiri jadi jelek. Kalau aku punya wajah setampan Kakak, aku pastikan seluruh dunia tahu. Bukan malah menyembunyikan dengan wig dan kacamata jelek."
"Bukan urusanmu! Sana, pergi! Kita ketemuan lagi malam Minggu."
"Main biliar, ya?"
"Iya, oke. Ganggu waktuku saja! Ingat, jangan sering datang kemari. Lain kali kita ketemu di mansion saja!"
Saat mobil Ferrari yang dikendarai Alvo melaju kencang meninggalkan pelatar rumahnya, Kyle menghela napas lega. Ia bukannya tidak suka dengan sepupunya itu, tapi sikap Alvo yang kekanak-kanakan sering membuatnya jengkel. Ia kembali belum lama dari Italia dan sudah dibuat repot dengan bocah itu. Untung sayang, kalau tidak, sudah ia tendang jauh-jauh bokong sepupunya itu agar tidak terus mengganggunya dengan berbagai ocehan tak masuk akal dan sikapnya yang arogan.
Agra sering mengeluhkan sikap anak sulungnya yang susah diatur pada Jovanka. Menyesali diri karena kurang pintar mendidik anak. Kyle ingat, mamanya sering menasehati Agra kalau kenakalan Alvo masih sebatas wajar, tidak usah diambil pusing. Kini dipikir lagi, Kyle baru bertemu beberapa hari sudah sakit kepala menghadapi bocah itu.
Meraih tas ransel hitam yang ia letakkan di kursi teras, Kyle melangkah menuju mobil merah tua yang terparkir di bawah pohon pinus. Satu minggu ia belajar bagaimana mengendarai mobil ini tanpa membuatnya kecelakaan. Berharap di hari pertamanya bekerja tidak ada masalah. Ia mengenakan kacamatanya, membuka pintu, dan memaki keras saat jarinya hampir terjepit pintu mobil. Bukan hanya itu, kuncinya pun tidak bisa diputar dan perlu dua kali pukulan di dashboard untuk menghidupkan mesin.
"Pak Tua, tolong kooperatif hari ini, ya. Jangan membuatku malu di hari pertama kerja. Oke, Old Man?" Kyle mengelus permukaan mobil dan membawanya keluar dari halaman. Ia keluar sebentar dari mobil untuk menutup pagar dan kembali melajukan kendaraannya ke jalanan yang padat.
Gumaman jengkel tak habis-habisnya keluar dari mulut saat AC mobil tidak berfungsi dan parahnya lagi, macet di tengah jalan. Kyle merasa, hari pertamanya ke kantor akan membuatnya dalam kesulitan besar. Saat beberapa orang membantunya mendorong mobil ke pinggir, mau tidak mau ia memikirkan perkataan Alvo. Untuk apa bersusah payah menyembunyikan identitas, mengendarai mobil tua alih-laih mobil sport yang berjejer di rumah. Belum lagi harus mengubah penampilan, Kyle menghela napas panjang, mencoba menyakinkan diri kalau semua yang terjadi hari ini bukan bagian terburuk dalam hidup. Ia akan mampu menghadapi kerasnya hari, tanpa orang-orang tahu kalau dalam nadinya mengalir darah Vendros.
***
Nesya menatap wanita berambut pendek dengan setelan modis warna hitam. Wanita berumur mendekati tiga puluh tahun itu, menatap para komikus dengan wajah galak dan mata bersinar mengancam. Tidak memedulikan beberapa programer yang terpaksa ikut mendengar ocehannya, meski tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Nasib buruk yang terpaksa mereka terima akibat perombakan ruangan yang menyebabkan para programer untuk sementara waktu berbagi tempat dengan komikus.
Beberapa orang terlihat tertekan dan mengeluh diam-diam. Sudah hampir tiga puluh menit mereka mendengarkan omelan wanita itu dan sepertinya tidak akan berhenti sampai satu jam ke depan. Seolah dengan mengomel tanpa henti membuat wanita itu menjadi disegani.
Nesya yang sedari tadi menunduk, memainkan pulpen di tangan. Ia mendengarkan ocehan sambil lalu karena otaknya terlalu penuh dengan berbagai macam pikiran. Pekerjaannya menumpuk, memaksa untuk lembur hampir setiap hari. Bukannya bekerja, ia dipaksa mendengarkan omong kosong yang tiada habisnya dari sang manajer yang dijuluki Dewa Perang karena sikap dan perkataannya yang menggebu-gebu.
"Kalian ini terlalu lambat kerjanya. Kita sudah dikejar deadline. Masih banyak part yang belum ditulis!" Wanita itu mengalihkan pandangan, lalu menatap Nesya sambil menunjuk. "Kamu Nesya, apa saja kerjamu selama beberapa bulan ini, hah! Kenapa terus menerus mengalami kemunduran."
Nesya mendongak, menghela napas panjang. "Kerjaanku tinggal beberapa line lagi, Kak."
Wanita itu melotot. "Beberapa line lagi? Kamu sadar apa yang kamu katakan, Nesya? Ingat, kamu diterima bekerja di sini karena kami melihat kualitasmu, tidak lantas membuatmu jadi malas!"
Nesya menutup mulut, tidak ingin menjawab apalagi mendebat Tita. Manajernya itu sedang tertekan karena salah satu komikus mereka resign tanpa izin dan membuat satu kantor kelabakan. Padalah, banyak hal yang harus dikerjakan. Nesya kerja nyaris 15 jam per hari, itu pun masih dianggap tidak cukup. Berbagai macam kesalahan dan kekesalan ditimpakan padanya. Meski kesal, ia cukup tahu diri untuk tidak membalas. Bagaimanapun, ia membutuhkan pekerjaan ini untuk menopang hidup.
"Aku tidak mau tahu, semua harus lembur malam ini. Kalian tidak bisa santai begitu saja, kalau target belum terpenuhi."
Seorang gadis cantik berambut kecokelatan mengangkat tangan. "Kak, apa aku harus lembur juga?"
Tita menatap gadis itu lalu tersenyum lembut. "Kamu tidak perlu, Ana. Pekerjaanmu sudah banyak yang selesai."
Sementara Ana tersenyum puas, tidak begitu dengan pegawai lain. Mereka jelas melihat sikap Tita yang pilih kasih. Ana adalah anak manajer keuangan dari Vendros Group. Siapa pun tahu, kalau pegawai Vendros sudah pasti kaya dan berkuasa. Tita pastinya takut, hingga melupakan profesionalismenya.
"Kenapa Ana bisa libur, sedangkan kamu lembur," celetuk salah seorang komikus dari kursi pojok.
"Iya, kita sama-sama bekerja di sini. Kenapa hanya dia yang enak." Yang lain ikut menimpali.
Tita melotot, mengedarkan jari telunjuk dengan garang. "Berani kalian membantahku, hah! Masih mau kerja di sini atau keluar, silakan kalian pilih!"
Omelan Tita terhenti saat terdengar suara benturan. Semua menatap pintu di mana seorang pemuda yang tidak dikenal menabrak pintu kaca hingga menimbulkan bunyi yang mengerikan. Nesya sendiri mengernyit, tanpa sadar merasa kasihan melihat pemuda itu meringis. Pasti ia merasa kesakitan sekaligus malu. Terbentur di hadapan banyak orang.
Tita melangkah ke arah pintu dan menggesernya hingga terbuka. "Siapa kamu! Apa yang kamu lakukan di sini?"
Pemuda berkacamata itu mengangguk sopan. "Maaf, Bu. Saya Willi."
"Ibuuu! Kapan aku jadi ibumu!" Tita bertolak pinggang dengan wajah merah padam.
Orang-orang yang ada di dalam ruangan, termasuk Nesya, tidak dapat menahan diri untuk tersenyum. Semua orang tahu kalau Tita tidak pernah suka dipanggil ibu. Wanita itu selalu ingin dipanggil kakak. Mendadak ada seorang pemuda yang tidak dikenal, masuk tanpa permisi dan memanggilnya ibu, sudah pasti wanita itu merasa jengkel.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro