Kenapa lagi, Dean?
Terhitung dua bulan setelah putus dari Dean, gue lewatin dengan berbagai kegiatan positif, minimal untuk gue sendiri. Gue mulai mikirin di masa depan mau jadi apa, mau lanjutin sekolah ke mana, mau masuk eskul apa lagi, dan lain sebagainya. Yang biasanya gue selalu mikirin di mana Dean, gimana kabar Dean, Dean lagi apa, yang padahal gue gak akan pernah dapet jawabannya.
Gue baru sadar, beberapa bulan yang lalu, gue terlalu membuang-buang waktu.
Tapi tetep aja, gue gak bisa untuk sekedar nyesel karena semua hal itu ada hikmahnya, kan? Buktinya sekarang gue jadi bisa lebih menghargai, mencintai, dan mendengarkan diri gue sendiri. Bahagianya gue itu ya cuma gue yang tau, dan cuma gue yang bisa nentuin apakah kebahagiaan itu bakal terwujud apa enggak.
Menjalin hubungan sama Dean gak seburuk itu sebenernya, mungkin emang gue yang terlalu berlebihan dalam menanggapi semua masalah. Lagi, pasti ada pelajaran di balik tiap kisah, kan? Gue bisa belajar untuk lebih dewasa, mungkin.
Sore ini, gue lagi di rumah bareng temen kelompok yang anggotanya itu-itu lagi. Indri, yang mana dia emang temen sebangku gue, lalu ada Arsy, Lisa, Rika, fyi, mereka bertiga emang temen terdeket gue, bisa dibilang kami berempat itu se-geng. Dan, pastinya ada Arka di kelompok gue.
Di sini lah kami berenam, lagi sibuk dengan kerjaan masing-masing yang mana emang udah dibagi tugas sebelumnya. Kami diminta untuk membuat kerajinan dari barang bekas, apapun itu asal nanti bisa dipakai.
Di luar sedang hujan deras, gak jarang suara petir membuat gue dan yang lain terperanjat beberapa detik, juga jangan lupakan suara geluduk yang sampai membuat kaca bergetar. Selain cuaca buruk di luar, suasana di dalam rumah gue juga gak jauh berantakan. Ruang tamu gue berasa jadi tempat penampungan sampah dadakan, karena mereka emang bawa barang bekas masing-masing dengan jumlah yang lumayan banyak. Mulai dari botol kemasan air mineral, bungkus detergen, stik es krim, bungkus kopi, dan masih banyak lagi.
Gue dan Rika lagi berusaha anyam tas pakai bungkus kopi dan detergen. Arka lagi berimajinasi untuk buat pajangan kamera, entahlah, padahal itu gak bisa dipakai, tapi dia tetep kekeh mau nyoba buat. Sedangkan Arsy, Lisa, dan Indri, mereka lagi buat kotak tisu dari stik es krim.
Arka kenapa lelaki sendiri? Oh, jumlah lelaki di kelas gue minim banget, dan tiap kelompok diusahakan ada 1 lelaki, jadinya gini deh. Arka langsung manggil gue pas tau bebas nentuin anggota kelompok, dan gue setuju aja kalo Arka mau gabung, kami berdua emang udah deket, kan?
Arka adalah orang pertama yang tau kalo gue udah mutusin Dean, omong-omong. Mau tau respon yang diberikan Arka gimana?
Dia selebrasi sambil sujud syukur, karena katanya doa dia akhirnya dikabul. Gue cuma geleng-geleng kepala liat respon dia yang amat sangat berlebihan, seenggaknya dia gak ada niatan buat ngasih motivasi ke gue gitu?
"Ta, nih, udah jadi." Tiba-tiba orang yang dari tadi gue omongin, muncul di samping gue.
Arka senyum lebar sambil nyodorin pajangan buatan tangannya yang berbentuk kamera DSLR. Oh, gak buruk ternyata.
"Bagus, Arka. Good job!" Puji gue tulus.
Yang dipuji makin melebarkan senyumnya. "Lo mau nyimpen ini gak?" tanyanya.
"Oh, biar nanti sekalian gue bawa pas minggu depan?"
Arka menggeleng, "Ngga, bukan gitu. Gue nitip pajangan ini di rumah lo, atau mau lo taro di kamar lo juga gak papa, biar lo inget gue terus."
"Maksudnya? Ini buat gue?"
Arka ngangguk pelan, kemudian dia cengengesan. Arka, kenapa dia tiba-tiba menggemaskan?
Gue ngangguk semangat, dan ngambil pajangan kamera itu dari tangannya. "Makasih banyak, ya, nanti gue taro di atas meja belajar aja, keren."
Serius, pajangannya bener-bener berbentuk DSLR, bahkan dengan desain serta warna yang dibuat serupa. Padahal setau gue, bahan-bahan yang Arka bawa terlalu absurd, tapi pas digabung, malah bisa nyiptain pajangan yang lucu ini.
"Coba lo gaya, Ta. Pura-pura lo lagi moto pake DSLR itu," pintanya. Sekarang Arka lagi mengeluarkan ponsel pintarnya untuk mengambil gambar gue yang lagi pura-pura mengambil gambar juga.
Hm, agak ribet ya bahasanya.
Ckrik.
"Cantik, Ta."
Gue cuma manggut-manggut setuju, karena emang gue keliatan cantik sih di foto yang barusan diambil sama Arka, hehe.
"Coba itu sepasang sejoli, pacarannya nanti dulu. Gak kelar-kelar ini tugas."
Rika sudah memperingati sambil manyun. Ah, bener, sampe kelupaan kalo tadi gue lagi ngerjain tugas bareng Rika. Gue ngangkat dua jari untuk ngasih simbol peace pada Rika.
"Karena kamera ini buat gue, lo bikin lagi buat yang bisa dipake ya, Arka, biar bisa dijadiin nilai tugas," ucap gue pada Arka. Ia langsung memberikan kedua ibu jarinya pertanda setuju.
Dan hening kembali. Kami masih sibuk berkutat pada tugas yang tak kunjung selesai, sebelum akhirnya suara ketukan pintu membuat kami semua menoleh.
"Iya, sebentar." Gue langsung berdiri dan berjalan menuju pintu. Siapa yang dateng pas udah mau azan magrib gini?
"Sore, Bi."
Bi, panggilan itu, panggilan yang paling gue benci seumur hidup.
Dan kini, orang yang nyiptain panggilan itu lagi berdiri di depan pintu, dengan tubuh basah kuyup, sambil membawa sebuah kotak dengan ukuran lumayan besar.
"Ini kado ulang tahun dari gue, semoga lo suka."
*Bersambung*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro