Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TS 3 - DEPTALK

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Sudah sesempurna apa sih sampai menuntut kesempurnaan dari tanah yang diberi nyawa?

🍁TEMAN SEPELAMINAN🍁
kataria.byidria

Jika mencari tenang dan senang bukan dunia jawabannya, justru di sinilah kita sebagai hamba akan ditempa habis-habisan oleh yang namanya takdir serta realitas. Tempatnya lelah, tapi bukan untuk berkeluh kesah.

Zayna menjatuhkan diri di kursi, badannya terasa remuk redam setelah seharian berperang dengan kerasnya dunia kerja. Memang termasuk dalam golongan budak korporat anak muda satu ini, meskipun perempuan dia tak hanya berpangku tangan dan bersantai-santai.

Justru gigih berjuang dan mengusahakan kehidupan layak, baik untuk dirinya pribadi maupun sang orang tua.

"Bersih-bersih dulu gih, terus makan. Kebiasaan banget kamu teh ih!" tegur sang ibu.

Zayna bangkit dari posisi rebahannya lalu duduk tegak, menyisakan space kosong agar Dina bisa menempatinya. "Jam segini bukan waktunya untuk mandi, Ma, tapi tidur."

Dina berdecak pelan. "Dasar jorok. Mandi cuma satu kali sehari, kamu tuh perempuan Zayna Adria Respati!"

Bukannya tersinggung perempuan yang sebentar lagi akan genap 24 tahun itu justru tertawa. "Ya udah sih, Ma masih wangi ini juga. Kucing aja nggak mandi banyak yang suka."

Sang ibu menjitak kening putrinya. "Nyatanya kamu kalah sama kucing, Zayna."

"Nah itu, harusnya aku nggak mandi aja kayak kucing, kan, Ma. Supaya setara, nggak kalah sebagaimana asumsi Mama."

Dina geleng-geleng kepala. Anak sulungnya ini memang paling jago menyela, pasti ada saja jawabannya. Zayna definisi batu yang diberi nyawa.

"Mau sampai kapan berangkat pagi pulang malam terus, Zay? Di rumah cuma sebatas mandi, tidur, sama makan, sisanya waktu kamu habis di tempat kerja. Udah saatnya kamu teh ada yang mengusahakan, supaya titel budak korporat segera angkat kaki dari jiwa kamu," ungkap sang ayah ikut bersuara padahal sedari tadi dia terlihat tengah asik menonton sepak bola.

Bukannya menjawab Zayna justru menatap ke arah ibunya yang berlagak acuh tak acuh, bahkan Dina bersiap untuk melarikan diri jika saja sang putri tak berusaha mencegahnya dengan cara mencekal pergelangan tangan.

Ayahnya bukan tipikal orang tua yang banyak berbicara, cenderung lebih banyak diam malah. Tapi, jika sudah berani mengutarakan sesuatu, artinya sudah memasuki fase rawan dan harus siap siaga.

"Ayah emang nggak bisa menjamin kamu secara menyeluruh, itu makanya kamu Ayah izinkan bekerja, tapi nggak sampai kayak gini juga atuh? Kamu teh perempuan, lumrahnya senang berdiam diri di rumah bukan malah sebaliknya," sambung Dhani lagi.

"Ujungnya udah ketebak ini, pasti minta mantu, kan," sela Zayna dengan satu alis yang terangkat.

Dhani menggeleng pelan. "Bukan minta, lebih ke deptalk aja. Siapa tahu, kan sekarang udah ada jawaban lain? Mungkin juga Ayah akan mendapat alibi yang lebih fresh, nggak template sebagaimana biasanya."

"Rasa-rasanya masih sama aja, nggak ada perubahan. Belum ada, dan akan bertahan hingga mungkin dua sampai tiga tahun mendatang," jawab Zayna sekenanya.

Refleks Dina pun menghitung jari, lalu mendelik tajam. "Tahun ini kamu 24 tahun Zayna, kalau dua atau tiga tahun lagi itu artinya 26, mentok-mentok 27. Ketuaan!"

Tanpa rasa bersalah sedikit pun Zayna tertawa. "Bukan tua, tapi matang."

"Percaya diri banget kamu kalau bisa sampai ke umur segitu. Satu detik ke depan aja kita nggak akan pernah tahu, apa masih bisa bernapas atau nggak?" ujar sang ayah.

Zayna mengangguk paham. "Seratus buat Ayah, makanya nggak usah khawatir lagi ya? Raga yang bernyawa ini aja bisa diambil kapan aja, perkara mudah, kan itu bagi Allah. Maka dari itu Ayah sama Mama nggak perlu resah dan gelisah, apalagi cuma perkara jodoh. Anak gadisnya ini masih sangat mampu kok untuk mengusahakan dirinya sendiri. Untuk apa sih menggantungkan hidup pada sesama manusia? Zayna masih punya Allah, biarkan aja Allah menjalankan peran-Nya."

Dina bangkit dari duduknya. "Udah, Yah, udah, nggak akan menang berdebat sama batu bernyawa satu ini. Ganti baju sana, terus makan."

Zayna tersenyum dengan begitu lebar lantas berlalu memasuki kamar. "Batu bernyawa pamit undur diri ya, Ayah."

Dhani geleng-geleng kepala dibuatnya, dia sama sekali kehilangan kosakata.

Sesampainya di kamar Zayna lebih memilih untuk menarik kursi, lantas duduk di sana. Dia buka laptop berukuran 14 inc itu lalu mulai menggerak-gerakkan jari-jemarinya di atas keyboard.

'Batu Bernyawa' itulah pembuka dalam paragraf pertama. Perempuan muda satu ini memang cukup senang mengolah kata, bermain-main dengan aksara, lalu merangkainya hingga menjadi untaian kalimat yang indah.

Bukan seorang penulis, hanya sebatas meluapkan sesuatu yang bersarang di kepala. Kemampuan dalam bicaranya tidak begitu mumpuni, di kala lisannya kelu maka jari-jarinyalah yang mengambil peran agar jumlah kata harian terpenuhi.

"Zayna makan!" Teriakan Dina melengking di balik pintu kamar. Hal itu jelas berhasil membuyarkan imajinasi yang sudah susah payah Zayna bangun.

"Ya."

Sedikit tidak ikhlas, Zayna pun segera meninggalkan kegiatannya lantas bergegas mengganti pakaian dan keluar. Tungkainya bergerak menuju dapur, mengambil nasi serta lauk secukupnya dan ikut bergabung di ruang tengah bersama sang orang tua, yang juga tengah makan sembari menonton televisi yang kini menayangkan drama, bukan lagi sepak bola.

"Cakra apa kabar, Zay?" tanya Dina di sela kegiatan makan.

"Kabar baik," singkatnya.

"Hati masih aman sentosa, kan?"

Zayna sedikit mengangkat kepala, kedua alisnya saling bertemu. Cukup tak mengerti dengan kalimat tanya yang baru saja dilontarkan oleh ibunya.

"Nyari dan nyeleksi ke sana-kemari susah, kan, ya? Kenapa nggak nyoba aja yang ada depan mata."

Perempuan itu hampir akan menyemburkan nasi yang belum tertelan sempurna, jika saja tak berusaha untuk segera menelannya bulat-bulat.

"Kayak nggak ada yang bagusan dikit lagi aja. Ngaco!"

"Emang nggak ada, kan."

Zayna sejenak mengambil air minum lalu meneguknya. "Nggak ya, Ma. Apaan banget!"

"Awalnya just friend curiga akhirnya bisa jadi just married. Siapa yang tahu coba?"

Sontak Zayna pun terbatuk-batuk. Dia dibuat bergidik ngeri detik itu juga. "Nauduzbilahimindzalik!"

"Astagfirullah itu mulut sembarangan banget. Aneh emang kamu ini, giliran diajak ngopi, nongkrong, bahkan main sampai ke luar kota mau-mau aja tanpa banyak mikir. Giliran kayak gini, langsung ngucap," sembur sang ibu penuh keheranan.

"A Cakra sebatas worth it buat dijadikan teman biasa, nggak sampai tahap teman menua," sanggahnya telak.

"Seenggak worth it itu?"

Zayna mengangguk mantap. "Ya iyalah!"

"Karena dia perokok, suka menunda-nunda sesuatu terlebih dalam hal ibadah, cabangnya di mana-mana, bermulut manis, friendly ke semua wanita. Dan, yang pasti Cakra nggak seperti dia, kan?"

Untuk beberapa saat Zayna mematung, sampai akhirnya perempuan itu bisa mengolah mimik wajah, serta menjernihkan pikiran untuk menyela. "Emang pada dasarnya nggak mau aja. Lagi pula udah sesempurna apa sih Zayna sampai sedetail itu mendikte kekurangan orang lain? Nggak, Ma. Udah ya, jangan punya pemikiran liar seolah aku sama A Cakra ada hubungan. Kita ini cuma teman."

🍁BERSAMBUNG🍁

Padalarang, 10 Januari 2025

Kalau kalian ada di posisi Zayna? Bisa seberani itu nggak nyela omongan orang tua sendiri? 🤣😆 ... Kalau kurang baik jangan dicontoh ya 😉

Mau dilanjuttt?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro