Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

TS 2 - BAKTI SEORANG ANAK

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Tidak ada kesia-siaan untuk para anak yang memperjuangkan hak serta kebahagiaan orang tuanya.

🍁TEMAN SEPELAMINAN🍁
kataria.byidria

Sudah menjadi rutinitas, selepas pulang kerja Cakra selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi sang ibu yang kini tinggal bersama sang kakak. Lebih tepatnya, sepulang menjalani operasi Mira diungsikan sejenak agar ada yang merawat.

Cakra merupakan bungsu dari dua bersaudara, di mana sang kakak yang bernama Ammar sudah menikah serta memiliki dua orang anak. Tempat tinggal mereka masih dalam satu kawasan yang sama, bisa ditempuh dengan berjalan kaki juga.

"Kalau mau ke sini mah ke sini aja atuh, nggak perlu pake bawa makanan segala, yang kemarin juga masih ada," ungkap Mira saat setelah melihat Cakra meletakkan sebungkus air kelapa muda, serta sekeranjang tahu sumedang kesukaannya.

Cakra hanya menanggapi dengan senyum tipis saja. "Lukanya gimana sekarang? Masih sakit?"

Arah pandang keduanya fokus pada objek yang sama. "Sakitnya masih ada, tapi nggak terlalu."

"Ma di-seka dulu ya," ujar Rianty yang merupakan menantunya. Terlihat dia membawa baskom berukuran sedang berisi air hangat serta handuk kecil.

"Sama Cakra aja, Teteh pasti capek dari pagi ngurusin Mama. Nggak papa istirahat dulu aja," sahut Cakra begitu peka dan perhatian.

Dia merasa sangat amat bersyukur dan berterima kasih karena Rianty begitu telaten dalam merawat ibunya. Padahal, Cakra tahu betul jika Rianty pun tengah repot-repotnya mengurus bayi yang baru berusia sekitar tiga bulanan, ditambah dengan si sulung yang baru memasuki TK. Kerepotannya pasti berkali-kali lipat.

"Nggak papa emangnya? Kamu juga baru pulang kerja, kan. Masih capek pasti," cegah Rianty.

Cakra menggeleng kecil lalu mengambil alih baskom serta handuk kecil tersebut. "Aman, Teh."

Rianty pun akhirnya mengangguk setuju, lantas kembali keluar kamar setelah sejenak berbasa-basi dengan sang mertua.

Bukan hal baru bagi Cakra untuk menyeka tubuh Mira, sudah cukup terbiasa terlebih jika tengah berada di rumah sakit. Dia begitu cekatan dan telaten, setiap inci tubuh sang ibu dibersihkan dengan sangat hati-hati.

"Kenapa Bapak nggak bisa kayak kamu ya? Mama nggak enak harus merepotkan anak sama mantu," celetuk Mira berhasil menghentikan gerak tangan Cakra yang tengah merapikan rambut Mira dengan sisir.

"Mama mau pulang ke rumah? Cakra bisa aja ngerawat Mama, tapi kalau Cakra kerja yang ngurus Mama siapa? Bapak? Tua Bangka itu nggak bisa diandalkan sama sekali!" Emosi Cakra selalu naik pitam kala berurusan dengan sang ayah, yang tidak mampu memerankan peran selayaknya seorang ayah dan suami.

Dia masih sangat mengingat betul bagaimana perlakuan sang ayah yang begitu tega menelantarkan ibunya, yang baru pulang dari rumah sakit. Seakan tidak ada sedikit pun rasa iba dan kasihan. Tidak diberi makan, pampers dibiarkan penuh tanpa mau menggantinya, bahkan sesederhana mengisikan air minum yang sudah habis pun tidak.

Tua Bangka itu justru asik menonton televisi dengan volume keras, sengaja supaya tidak mendengar teriakan Mira kala membutuhkan sesuatu. Benar-benar tidak layak untuk menyandang status sebagai suami dan juga ayah. Cakra sudah hilang simpatik, bahkan rasa hormat pun mungkin sudah tidak ada lagi.

"Mama di sini aja ya sama Bang Ammar dan Teh Rianty, setiap hari sebelum berangkat dan setelah pulang kerja Cakra akan mengunjungi Mama. Kalau perlu Cakra juga akan nginep buat nemenin Mama di sini," ujar Cakra pada akhirnya.

Mira pun mengangguk pelan. "Maafin Mama, nya, Jang," katanya sembari mengelus puncak kepala Cakra.

Cakra membawa tangan tersebut dalam genggaman. "Mamanya harus cepet sehat, cepet pulih, nggak usah mikirin hal-hal yang nggak penting."

Pintu kamar yang terbuka menampilkan Ammar yang baru saja pulang kerja, terlihat dari seragamnya yang cukup lusuh. "Makan dulu gih, makanannya udah disiapin sama Teteh kamu."

Cakra pun menoleh. "Cakra bisa makan di rumah, Bang," tolaknya.

Ammar berjalan mendekat ke arah sang adik. "Percaya diri banget kamu kalau di rumah ada makanan. Udah sana makan, nggak usah banyak mikir."

Cakra tersenyum miris, apa yang diungkapkan sang kakak memang ada benarnya. Sejak kapan ayahnya yang pemalas dan tak bisa diandalkan itu mau repot-repot menyiapkan makanan untuk orang lain.

"Mama mau makan di sini atau bareng-bareng di ruang tengah?" tanya Ammar diakhiri sunggingan.

"Nggak ngerepotin kalau Mama mau makan bareng sama kalian?" sahut Mira.

"Ya nggak atuh, yuk Ammar bantu buat jalan," terang sang putra sulung begitu sumringah.

Ammar dan Cakra dengan hati-hati membantu Mira untuk turun dari ranjang. Membopong sang ibu yang cukup kesulitan dalam berjalan, perlahan tapi pasti akhirnya mereka sampai di ruang tengah. Makanan sudah lengkap tersaji, bahkan kedua cucunya pun antusias untuk segera menikmati hidangan.

"Baru mau aku siapin makanan buat Mama," ujar Rianty yang baru keluar dari dapur sembari membawa beberapa piring.

"Mama mau makan bareng kalian," terang Mira.

Rianty pun mengangguk antusias. "Mama mau makan sama apa?"

Gambaran keluarga yang harmonis Cakra dapatkan dari rumah tangga sang kakak, berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh orang tuanya. Sang ibu yang penuh akan kasih sayang serta kelembutan, justru seakan terjebak pada sosok yang jauh dari kata layak.

Ternyata memang benar, dalam berumah tangga haruslah ada kesetaraan. Baik itu dalam hal perasaan, pelayanan, ataupun penunjang lainnya yang bisa menciptakan sakinah, mawadah, serta warahmah.

Jangan sampai bernasib mengenaskan sebagaimana yang dialami Mira. Kesabaran dan kasih sayangnya justru tak dihargai sama sekali, bahkan seakan dijadikan senjata untuk bertindak seenak jidat.

Selepas makan, Cakra memilih untuk keluar dan bersantai di teras rumah. Kebiasaan merokok setelah makan sudah seperti hal wajib, yang tak pernah terlewatkan. Tidak banyak memang, hanya sebatas satu batang.

Dia menoleh saat merasakan ada sebuah tepukan lembut di pundaknya. Ammar sang pelaku lalu duduk di sisi adik satu-satunya.

"Besok jadwal Mama kontrol, kamu senggang nggak?"

"Gampang, aku bisa izin, Bang."

"Akhir-akhir ini kamu banyak izin buat nganter Mama ke rumah sakit. Kalau emang bukan jadwal kamu libur, Abang aja yang nganter. Abang bisa izin," sanggahnya.

Cakra menggeleng pelan. "Abang udah terlalu banyak andil dalam merawat Mama, urusan antar-mengantar biar aku aja."

Helaan napas meluncur bebas dari sela bibir Ammar. "Kamu masih ada pegangan?"

"Apa yang habis, Bang? Pampers, infusan, madu, perban, betadine, atau apa?"

"Semua yang kamu sebut habis."

Cakra mengangguk paham. "Perlu aku beli sekarang? Langsung otw kalau emang udah habis banget mah."

"Besok aja, Abang tahu kamu masih capek habis pulang kerja. Maafin Abang karena nggak bisa meng-cover secara penuh kebutuhan Mam---"

"Abang ngomong apaan sih. Yang anaknya Mama, kan kita berdua, nggak cuma Abang aja. Aku juga harus ikut andil, malah aku yang nggak enak sama Abang dan Teh Rianty. Kalian yang mengurus 24/7, sedangkan aku apa? Nggak punya kontribusi lebih. Abang tenang aja, aku masih ada cukup tabungan kok. Kalau emang butuh sesuatu bilang aja, nggak usah sungkan," potong Cakra cepat.

Diabetes merupakan penyakit yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Memang ditanggung BPJS, tapi tetap saja itu hanya sebatas pengobatan kala di rumah sakit. Sisanya jelas berasal dari uang pribadi.

Luka di kaki yang harus senantiasa diobati, dibersihkan secara berkala setiap hari. Keterbatasan dalam berjalan hingga harus menggunakan pampers, serta hal-hal lainnya yang kadang sulit untuk dikontrol.

"Uang hasil dari kontrakan Mama gimana?" tanya Ammar kemudian.

Cakra berdecak dibuatnya. "Dimonopoli Tua Bangka itu. Abang kayak nggak tahu aja gimana Bapak, bulan lalu saat temen aku bayar kost langsung ke aku. Bapak malah marah dan maki-maki aku, padahal uangnya udah aku beliin pampers, infusan, sama madu buat keperluan Mama. Bukannya sadar diri, Bapak malah minta balik uang itu, padahal jelas-jelas dia nggak berhak atas kontrakan yang merupakan milik Mama tersebut."

"Terus kamu ganti uang itu?"

Cakra mengangguk singkat.

Tanpa sang kakak ketahui, dia sudah mengorbankan uang tabungan untuk budget nikah guna mencukupi kebutuhan sang ibu. Dari hari ke hari jumlahnya kian berkurang karena banyaknya kebutuhan, sedangkan gaji dari hasil bekerja dia gunakan untuk kebutuhan pribadinya.

Semenjak Mira sering bolak-balik ke rumah sakit, pengeluaran Cakra kian membengkak. Dia harus putar otak dan selalu membeli makanan siap saji di luar setiap harinya. Belum lagi, dia pun acap kali meliburkan diri karena harus mengantar Mira kontrol. Jelas, gajinya tidak akan utuh dan full.

🍁BERSAMBUNG🍁

Padalarang, 08 Januari 2025

Adakah yang mengalami kesulitan serupa dengan apa yang Cakra alami? Semangat untuk para anak yang memperjuangkan orang tuanya. Semoga Allah mudahkan dan lancarkan ya ☺️🤲

Mau dilanjutttt?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro