TS 15 - KEJUJURAN
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Tak ada yang bisa mengingkari takdir terlebih kematian yang sudah jelas-jelas sulit untuk dipungkir.
🍁TEMAN SEPELAMINAN🍁
kataria.byidria
Terlalu bergantung pada seseorang memang kurang dibenarkan, selain tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri kita juga jadi pribadi yang kurang begitu mandiri. Terbiasa dilayani, diperhatikan, diberi support secara utuh dan menyeluruh terkadang membuat kita sulit untuk bisa survive.
"Merasa sedih setelah ditinggalkan adalah hal paling mendasar dan itu wajar, tapi bukan untuk dijadikan sebagai alasan kita agar terus terpuruk. Harus bangkit!" ujar Ammar sembari menyodorkan secangkir kopi pada Cakra.
Sepulangnya dari tempat kerja, pria itu sengaja mampir ke rumah sang kakak untuk sejenak bercengkrama dan membunuh rasa bosan karena jika sudah sampai di rumah, rasa sepi langsung menyusup dalam diri.
Kosong dan hampa sekali rasanya. Terlebih selepas kepergian sang ibu satu minggu lalu, rumah sudah seperti tempat paling asing yang tak ingin dijajaki.
Cakra tak langsung menjawab, dia menyesap kopi terlebih dahulu lantas menaruhnya kembali di tempat semula. "Sebelumnya aku nggak begitu paham dengan konsep ikhlas yang Pak Ustaz bilang saat sebelum Mama disalatkan, tapi setelah Mama dimakamkan dan kita semua pergi meninggalkan pemakaman. Kaki yang terasa berat untuk dilangkahkan terasa sedikit ringan dengan hati yang mungkin bisa dibilang plong. Ada kelegaan, tapi aku nggak memungkiri kalau lebih didominasi dengan kekosongan. Dada yang terasa sesak seperti dihimpit batu besar, mendadak lapang, dan mungkin itu yang dinamakan dengan ikhlas yang kerap kali digaungkan orang-orang."
Cakra menoleh sekilas, ada senyum tipis yang terpatri apik di sana. "Tapi wajar, kan, Bang kalau masih keinget dan terbayang-bayang?"
Ammar mengangguk seraya menepuk lembut bahu sang adik. "Wajar, wajar banget malah. Asalkan jangan nangis tiap malam aja, kantung mata kamu nggak bisa bohong soalnya," kekehnya pelan.
Cakra tersenyum getir. Tak dapat dipungkiri, di kala malam tiba rasa sepi acap kali menyusup dalam hati. Air mata mengalir tanpa dapat dicegah, meluncur bebas begitu saja teringat akan momen kebersamaan dengan sang ibu.
Terlebih saat untuk terakhir kalinya dia membersihkan tubuh Mira. Dia yang tak lagi mendapati mata yang berbinar terang, dia yang tak lagi melihat mulut yang berceloteh riang, bahkan tangan yang biasanya membelai surai pun justru tergelak kaku.
Semua gambaran itu tak bisa menyingkir dalam ingatan, tapi satu hal yang membuat hatinya sedikit menghangat. Senyum sang ibu terukir indah, dan itu menjadi sesuatu yang manis untuk dikenang. Ibunya pulang dengan raut tenang dan damai, dan dia harap surga menjadi tempat kekal yang akan dihuni Mira.
"Kamu kalau perlu apa-apa bilang sama Abang, sering-sering juga main ke sini. Suntuk banget muka kamu, jaga kesehatan juga, kalau sakit bingung nggak ada ngurus nanti," peringat Ammar begitu perhatian.
Cakra hanya memberi anggukkan singkat.
"Ada yang mau Abang obrolin sama kamu, dan kebetulan kamu mampir ke sini. Waktu kamu luang, kan?"
"Ya sok silakan, Abang mau bahas apa emang?" sahut Cakra santai.
Ammar menarik napas dalam-dalam lantas berujar, "Sebelumnya Abang perlu menggaris bawahi ini terlebih dahulu, kepergian Mama atas dasar kehendak Allah terlepas dari apa pun yang mengantarkan takdir itu datang. Kamu paham?"
Anggukan kecil Cakra berikan. "Ya."
"Kamu tahu, kan kalau selepas menjalani operasi ada beberapa hal yang dilarang. Dalam hal ini Mama belum diperkenankan untuk makan sebelum beliau buang angin, dan kamu juga tahu itu, karena operasi yang Mama lakukan bukan yang pertama kali, melainkan sudah yang kesekian kalinya," jelas Ammar begitu hati-hati.
Lagi-lagi Cakra mengangguk pelan. "Terus?"
Ammar menarik napas dalam-dalam lalu berkata, "Abang nggak mau menyimpan ini sendirian, tapi Abang minta kamu untuk bisa lebih mengontrol diri dan ingat perkataan awal Abang tadi, kalau kepergian Mama emang atas dasar kehendak Allah."
"Kondisi Mama sangat amat baik selepas menjalani operasi, bahkan beliau juga nggak mengeluhkan sakit lagi. Hanya sedikit merengek minta makan karena rasa lapar, tapi Abang berusaha untuk memberi beliau pengertian, meminta Mama untuk sejenak bersabar, dan menjadikan tidur sebagai pengalihan dari rasa lapar."
"Kamu tahu, kan kalau Mama itu sangat amat penurut? Nggak mungkin Mama melakukan sesuatu yang jelas-jelas akan membahayakan dirinya. Tapi, Cak ini di luar dari kendali Abang dan Abang minta maaf karena telah lalai dalam mengawasi Mama pada saat itu." Ammar sejenak menjeda kalimatnya, dia melihat dengan saksama raut wajah sang adik yang seketika menegang.
"Abang pamit buat salat ashar waktu itu, sekembalinya Abang di ruang rawat inap Mama, Abang lihat Mama yang lagi makan disuapi Bapak. Detik itu juga Abang marah dan meminta penjelasan Bapak, tapi Bapak dengan santainya bilang kalau Mama sudah diperbolehkan makan. Padahal setahu Abang belum, tapi Abang nggak mau membuat kerusuhan, Abang cuma minta Mama buat nggak meneruskan kegiatannya dan Mama langsung menurut."
Rahang Cakra mengeras dengan kedua tangan yang mengepal hebat. Mata lelaki itu memerah tapi juga berair. "Kenapa Abang baru bilang sekarang?"
Ammar mengelus pelan punggung Cakra, bermaksud untuk menenangkan. "Ini di luar kendali Abang, Cak, karena setelah itu pun Mama nggak menunjukkan reaksi seperti mual-mual yang pernah dokter bilang. Tapi, malamnya kondisi Mama tiba-tiba drop dan memburuk, beliau harus dilarikan ke ruang ICU dan mendapat penanganan khusus, sampai akhirnya dinyatakan wafat."
Ammar meraup kasar wajahnya. "Abang nggak mau menyimpan ini sendirian terlalu lama dari kamu, tapi Abang juga nggak mau kalau penjelasan Abang buat kamu semakin marah dan benci sama Bapak. Lagi-lagi Abang ingatkan, kalau kepergian Mama atas dasar kehendak Allah. Tindakan yang Bapak ambil mungkin ikut andil, tapi itu nggak bisa disimpulkan sebagai penyebab utama. Ketidaktahuan Bapak dan juga kelalaian Abang yang seharusnya nggak meninggalkan Mama pada waktu itu mungkin jadi salah satu pemicu. Abang merasa bersalah, bahkan sampai sekarang Abang selalu merasa resah."
Cakra memukul-mukul kepalan tangannya ke atas lantai. Berulang kali dia membuang napas kasar untuk mengontrol emosi. "Bukan Abang yang salah, Tua Bangka itu yang terlalu sok tahu. Abang seharusnya bilang dari awal, bukan malah menutupi ini semua dari aku!"
"Kita lagi sama-sama kalut pada saat itu, dan Abang nggak mau semakin membebani pikiran kamu. Abang minta maaf, Abang seharusnya lebih berhati-hati dan mengantisipasi tapi ternyata Abang lalai."
Cakra berkawan geming dengan dada naik turun tak seirama. Pria yang seharusnya bertindak sebagai pelindung nyatanya tidak memerankan perannya dengan baik, bahkan menjadi dalang kekacauan.
Seharusnya dia bisa lebih peka, bisa lebih menyadari bahwa pada saat kepergian sang ibu, ayahnya itu seolah tak merasa kehilangan sama sekali. Malah berlagak seperti orang yang tengah merayakan sesuatu yang dengan santainya menyambut para pelayat yang mungkin dianggap sebagai tamu.
Cakra yang tak pernah pergi di sisi Mira dan tak pernah henti membacakan Yasin, sedangkan ayahnya itu asik mengobrol tanpa beban dengan orang-orang. Seharusnya Cakra menyadari hal tersebut, mungkin saja ayahnya itu memang sengaja melenyapkan nyawa sang ibu.
"Seharusnya Tua Bangka itu aku usir sejak setelah pemakaman Mama selesai, bukan malah membiarkan dia ongkang-ongkang kaki di rumah peninggalan Mama!" desisnya syarat akan emosi.
Ammar menahan tangan sang adik yang hendak berdiri. "Isi kepala kita mungkin sama sekarang, tapi, Cak luapan emosi kamu pun nggak akan mengembalikan Mama. Sekarang, hanya Bapak orang tua yang kita punya, meksipun dia nggak mampu memerankan perannya. Tapi, mau bagaimanapun dia tetaplah orang tua kandung kita."
Elusan pelan Ammar berikan tepat di puncak kepala Cakra. "Satu hal yang harus kita ingat, Mama pulang dalam keadaan tenang dan senyum lebar. Itu udah cukup untuk mengobati sakitnya rasa kehilangan. Entah karena kesengajaan ataupun ketidaksengajaan tapi ini memang sudah takdirnya. Mama udah nggak sakit lagi, kakinya sembuh sekarang, nggak lagi memerlukan perban, mungkin juga bisa bebas berjalan tanpa lagi memerlukan bantuan kita untuk memapahnya."
🍁BERSAMBUNG🍁
Padalarang, 03 Februari 2025
Adem banget, kan dengan interaksi sepasang adik dan kakak ini? 🥺🤗 ...
Mau dilanjuttt?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro