TS 14 - KESEDIAAN
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Keputusan haruslah diambil dalam kondisi kepala dingin, bukan dalam situasi yang terdesak keadaan.
🍁TEMAN SEPELAMINAN🍁
kataria.byidria
"Siapnya kapan? Mau ditunda seberapa lama lagi?"
Pertanyaan beruntun itu dilayangkan Khrisna pada Shaqeena yang sedari tadi diam seribu bahasa. Raganya memang ada, tapi jiwanya melayang pergi entah ke mana.
"Neng?" panggilnya lagi karena tak kunjung mendapat jawaban apa pun.
Shaqeena tersentak dan gelagapan seketika. "Ahh ..., iya apa?"
Khrisna menatap lekat wajah sang tunangan yang duduk di hadapannya. "Mikirin apa atuh? Ada sesuatu yang mengganggu? Kurang nyaman, kah tempatnya?"
Shaqeena menggeleng pelan. "Nggak ada, tanya apa tadi?"
Fokus perempuan itu jelas terbagi-bagi, dia memikirkan Cakra setelah kemarin dirinya mendapat kabar ihwal kematian dari ibu sang sahabat.
Kemarin dirinya tidak bisa datang karena banyaknya pekerjaan. Berencana untuk melayat di hari ini, tapi juga batal karena sang tunangan yang mengabari ingin bertemu sebab tengah berada di Bandung.
Khrisna menarik tangan Shaqeena yang berada di atas meja untuk dia genggam. "Orang tua kita udah sama-sama restu, sama-sama rida, sekarang Aa tanya sama Neng udah siap kalau seandainya nikah dalam waktu dekat?"
Refleks Shaqeena pun menarik tangannya, dia menelan ludah dengan susah payah. "Kesannya buru-buru banget nggak sih?"
Khrisna menggeleng pelan. "Bukannya niat baik harusnya disegerakan ya?"
Shaqeena menghela napas berat. "Nggak semua hal harus kayak gitu, kan."
"Satu setengah tahun belum cukup buat Neng yakin sama Aa?" tanyanya diakhiri senyum tipis.
Shaqeena sejenak menegakkan tubuh terlebih dahulu. "Bukan nggak yakin, mungkin akunya aja yang belum siap."
"Terus harus nunggu berapa lama? Kapan siapnya?"
Perempuan yang saat ini sudah berusia 30 tahun itu berkawan geming. Tak sedikit pun memiliki jawaban dari pertanyaan yang Khrisna layangkan.
"Katanya Neng keberatan kalau harus LDR-an, solusinya ya nikah supaya kita bisa tinggal bareng. Neng bisa ikut Aa ke Jakarta, kita tinggal sama-sama di sana."
Shaqeena menggeleng cepat. "Aku nggak bisa, kamu tahu sendiri kondisi ibu aku kayak gimana. Aku tulang punggung keluarga, siapa yang akan mencukupi kebutuhan orang tua dan adik-adik aku, kalau seandainya aku ikut sama kamu. Aku bukan nggak mau nikah sama kamu, tapi ada banyak kepala yang bergantung di kaki aku."
"Aa tahu, Aa juga nggak keberatan kalau seandainya kamu masih mau bekerja setelah kita menikah. Tapi untuk menjalani LDM Aa nggak bisa, Neng," terang Khrisna.
"Ya udah kalau kayak gitu, nikahnya ditunda dulu," putus Shaqeena kemudian.
"Sampai kapan?"
"Sampai kita menemukan titik terang yang nggak memberatkan salah satu pihak. Aku nggak bisa pindah ikut kamu karena pekerjaan aku di sini, dan aku juga ada tanggungan di tempat ini. Aku pun tahu kamu nggak akan mungkin mau mengorbankan pekerjaan kamu di Jakarta hanya untuk menikahi aku, kan?"
Menjadi anak perempuan pertama dan sekarang jadi satu-satunya provider di keluarga jelas membuat Shaqeena harus mempertimbangkan banyak hal. Dia tak bisa egois hingga melupakan ihwal kehidupan orang tua dan adik-adiknya nanti jika dia benar-benar sudah menikah. Sekadar membayangkannya saja tidak mampu, apalagi jika benar-benar terealisasi.
Mengemban titel sebagai sandwich generation tidaklah mudah, sesekali dia pun merasa lelah dan ingin seperti kebanyakan orang yang bekerja untuk dirinya sendiri, tapi itu tak bertahan lama sebab dia pun sadar bahwa dirinya bisa bertahan hingga sekarang ya tak lepas dari kontribusi sang orang tua.
Dia memang pernah merantau, tapi pada saat itu kondisi sang ibu masih dalam kondisi baik-baik saja tidak mengalami stroke seperti sekarang. Ayahnya memang tidak angkat tangan, beliau ikut campur dalam mengurusi semua hal yang berkaitan dengan ibunya. Namun, umur sang ayah yang tidak lagi muda membuat Shaqeena berpikir ribuan kali jika harus membiarkan ayahnya mengambil peran terlalu banyak.
"Kalau aku mau, apa kamu bersedia menikah dalam waktu dekat?"
Shaqeena membulatkan matanya tak percaya, dia sedikit tertawa garing. "Pekerjaan itu mimpi kamu, nggak mungkin semudah itu kamu lepaskan setelah susah payah kamu dapatkan."
"Kenapa nggak mungkin? Menikahi kamu juga bagian dari mimpi aku."
"Nggak usah bercanda deh Khrisna."
Khrisna menggeleng tegas. "Buat apa sih aku bercanda hal seserius ini? Aku nggak mau pernikahan membatasi ruang gerak kamu, mau tetap berkarir silakan, mau mencukupi kebutuhan keluarga kamu pun aku nggak keberatan, bahkan aku dengan senang hati akan ikut membantu kamu. Aku nggak akan menghalangi kamu dalam berbakti pada kedua orang tua kamu, terlebih aku juga tahu akan kondisi ibu kamu yang sedang sakit."
"Sha ..., kita udah sama-sama matang dalam segi usia, sudah sepantasnya untuk menikah. Setengah tahun kamu aku kasih waktu untuk memikirkan ini semua, dan sekarang aku mengajukan pertanyaan yang sama tapi jawaban kamu sama sekali belum berubah. Nikah nunggu siap mau sampai kapan atuh?" jelas Khrisna terlihat cukup frustrasi.
"Ini terlalu cepat buat aku Khrisna."
Khrisna menggeleng tak setuju. "Ini udah sangat cukup buat aku, Shaqeena. Oke, kamu terbiasa dengan rentang waktu pacaran yang lama, tapi aku nggak. Apa sampai sekarang hati kamu masih di orang lama? Di dia yang memacari kamu hampir tujuh tahun itu."
"Kesiapan aku nggak ada hubungannya sama dia," tukas Shaqeena tegas.
"Lalu apa?"
Shaqeena merapatkan matanya beberapa saat. "Aku belum siap. Ngerti, kan?"
"Apa ada pria lain di hati kamu? Keraguan tergambar jelas di kedua mata kamu, Shaqeena. Ini bukan tentang siap atau nggak, tapi kayaknya kamu nggak menaruh ekspektasi lebih ke hubungan kita. Kamu nggak mau aku nikahi."
"Kamu terlalu asal menyimpulkan Khrisna," sanggah Shaqeena tak terima.
Alis Khrisna terangkat satu. "Dari apa yang baru aja kamu bilang, itu udah sangat jelas kalau emang kamu membenarkan apa yang aku paparkan. Siapa orangnya?"
"Nggak ada!"
Krishna menarik napas panjang lantas membuangnya kasar. "Ternyata aku terlalu percaya diri, aku kira aku bisa menggantikan posisi mantan kamu, ternyata nggak, bahkan setelah kita berpacaran selama satu tahun setengah ini. Bodohnya aku selalu menutup mata dan beranggapan kalau lambat laun kamu akan membalas perasaan aku, nyatanya nggak juga. Sekarang justru ada pria lain yang bertahta di hati kamu. Satu tahun setengah ternyata nggak ada apa-apanya bagi kamu ya."
"Nggak kayak gitu, Khrisna."
"Terus gimana, Shaqeena?!"
Perempuan itu terdiam dengan kepala sedikit menunduk. Matanya berkeliaran ke sana-kemari dengan tangan yang bergerak resah di bawah meja. Membuang napas kasar lalu kembali mendongak dan menatap wajah Khrisna. "Okee, aku mau nikah sama kamu. Kapan?"
Kerutan di dahi Khrisna tergambar jelas. "Semudah itu kamu berubah pikiran?"
"Sebenarnya mau kamu apa sih? Aku jawab belum siap salah, sekarang aku bersedia pun masih dipertanyakan."
"Seberat itu kamu menjawab pertanyaan aku sampai kamu alihkan dengan kesediaan kamu untuk aku nikahi. Ini aneh, Shaqeena!"
"Nggak ada yang aneh. Mau kapan? Besok? Lusa? Minggu depan? Bulan depan? Silakan."
Bukannya menjawab, Khrisna justru menelisik lebih dalam kedua mata Shaqeena, hal itu membuat Shaqeena spontan memalingkan wajah.
"Yakin?"
Terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.
🍁BERSAMBUNG🍁
Padalarang, 01 Februari 2025
Seandainya kalian ada di posisi Shaqeena, kira-kira akan memutuskan apa? Menerima ajakan dari pria yang nggak dicintai, atau menunggu pria yang belum pasti. 😅😬
Mau dilanjuttt?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro