TS 1 - KESEPADANAN
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Untuk menjadikannya sebagai teman biasa masih oke-oke saja, tapi untuk menjadikannya sebagai teman menua sepertinya tidak.
🍁TEMAN SEPELAMINAN🍁
kataria.byidria
Zayna Adria Respati, perempuan berusia 23 tahun yang tengah dihantui dengan banyak pertanyaan berawalan kata 'kapan'. Semula cukup terganggu, terlebih jika pertanyaan tersebut muncul dari orang-orang terdekat.
Namun lambat laun, seiring dengan bertambahnya usia dia tak lagi mengambil pusingnya. Lebih baik fokus pada karier dan mencoba untuk meningkatkan value, berbenah jauh lebih dia prioritaskan ketimbang sibuk mencari pasangan—yang dianggap sebagai sebuah keharusan di mata orang-orang—.
Zayna bukanlah penganut paham 'nikah muda untuk menghindari zina' karena puasa sunnah adalah sebaik-baiknya opsi. Bukan pula penganut paham 'nikah supaya ada yang menafkahi' karena dia masih cukup mampu untuk mencari uang sendiri.
Bukan juga penganut paham 'nikah adalah solusi agar tidak hidup sendiri' karena menikah merupakan ibadah terlama, di mana surga menjadi tujuan utama, dan untuk mencapainya dia membutuhkan nahkoda yang paham jalurnya.
Jadi, tidak ada alasan yang lebih kuat mengapa dia harus segera berakad. Karena untuk perkara satu ini bukan tentang cepat, melainkan tepat.
Terlahir sebagai anak pertama perempuan membuat dia terbiasa hidup mandiri, hanya bertopang pada kakinya sendiri. Pekerja keras dan agak sedikit keras kepala. Cukup ambisius, lebih mengutamakan akal ketimbang perasaan. Logikanya jauh lebih dominan.
"Lagi salat nggak? Kalau nggak mending pesenin makanan dulu aja, aku tinggal ke mushola bentar. Waktu magrib mepet, kan," katanya saat baru saja mendapati tempat duduk.
"Salat," jawab Zayna singkat.
Cakra malah menyerahkan buku menu serta secarik notes dan bolpoin lantas berkata, "Kamu yang order, Zay, aku salat duluan."
Zayna hanya mampu menanggapi dengan acungan jempol. Percuma juga menyela, toh kerabatnya sudah lebih dulu mengambil keputusan sepihak. Akhirnya dia memilih untuk melihat-lihat buku menu dan memesan makanan serta minuman yang sekiranya sesuai dengan selera mereka.
Cakra bukan tipikal pria yang senantiasa bergegas menunaikan ibadah kala azan berkumandang, dia cenderung lalai dan suka menunda-nunda. Tepat waktunya hanya pada waktu subuh dan magrib saja, selain itu dia lebih suka mengerjakan salat di akhir waktu.
Berbanding terbalik dengan Zayna yang sebisa mungkin menunaikan kewajibannya di awal waktu, bahkan dia bersiap sebelum panggilan terdengar. Karena dia memiliki mindset bahwa tidak ada jaminan pasti bahwa di detik yang akan datang, nyawanya masih bersemayam dalam raga. Bukan termasuk dalam golongan taat, karena nyatanya masih sering melakukan maksiat. Namun untuk perkara satu ini, sebisa mungkin harus on time.
Sekembalinya Cakra, dengan segera Zayna bergegas menuju mushola dan menunaikan ibadah tiga raka'at tersebut. Setelah selesai barulah dia menempati kursi yang semula diduduki.
"Kirain lagi nggak salat, Zay, karena tumben pake tas kecil. Biasanya, kan kalau lagi salat bawa tas yang agak lumayan supaya muat mukena travel," ujarnya saat Zayna baru saja duduk di samping kursi kosong yang ditempati Cakra.
Nilai plus dari seorang Cakrawala Mahesa Airawan ialah selalu notice terhadap hal-hal kecil. Sesederhana tas saja misalnya, dia sampai sedetail itu. Jika pria lain mungkin tidak terlalu 'ngeh'.
Kelewat peka memang!
"Lupa, asal ngambil aja yang ada depan mata. Lagian, kebiasaan banget kalau ngajak ngopi dadakan mulu," terangnya sembari sedikit mengeluh.
Cakra sejenak meneguk minumannya sebelum akhirnya berujar, "Biasalah gabut."
Zayna sudah tak asing dengan jawaban template tersebut. Mereka memang dua manusia gabut yang sama-sama mati rasa, keluar ya hanya untuk sekadar mencari angin dan menghilangkan penat. Tanpa, pernah berpikir bahwa salah satu di antara mereka ada yang menaruh perhatian ataupun perasaan yang tidak sesuai tempatnya.
Terlalu mustahil. Karena Zayna bukanlah tipe Cakra, begitupun sebaliknya Cakra bukanlah tipe Zayna. Murni hanya sebatas pertemanan. Sudah jadi hal biasa juga bagi Zayna yang lebih berperan sebagai pendengar, dan Cakra yang cenderung dominan dalam berkoar. Sedikit berbeda dari kebanyakan pria memang, Cakra termasuk dalam golongan pria yang senang bercerita.
Menikmati city light kota Bandung dari ketinggian adalah sesuatu yang indah, kafe yang saat ini mereka kunjungi memang menjual view walaupun harus menempuh jarak yang lumayan dengan akses jalan yang bisa dibilang tidak terlalu mulus itu.
Namun, cukup sepadan dengan apa yang kini terpampang, juga hidangannya pun worth to buy dengan rasa yang masih fine-fine saja di lidah.
"Kenapa?" tanya Zayna saat mendengar helaan napas dari arah sampingnya.
"Kamu tahu, kan kondisi kesehatan Mama aku lagi nggak baik-baik aja. Yang biasanya nagih mantu, sekarang justru mendadak diam membisu. Nggak pernah lagi bahas soal kapan nikah ataupun nanya mana calonnya."
"Baru beres operasi, kan? Aman-aman aja, kan? Bagus dong kalau nggak dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang itu-itu mulu. Kenapa jadi dipermasalahin?"
Cakra memiringkan posisi duduknya agar bisa lebih leluasa bercerita. Dia memang tipikal orang yang jika berbicara harus saling beradu kontak mata, tapi tak suka jika duduk berhadapan, lebih nyaman samping-sampingan.
"Alhamdulilah agak mendingan, walaupun luka di kaki belum kering sepenuhnya. Harusnya lega, tapi aku malah ngerasa ada yang kurang. Hati berasa nggak enak aja rasanya, nggak tahu kenapa," akunya begitu blak-blakan.
Kelemahan Cakra memang ada pada ibunya, dia begitu amat menyayangi sang ibu yang divonis menderita diabetes dengan kondisi luka di kaki yang bisa dibilang cukup mengkhawatirkan, terlebih di bagian jari-jarinya yang sulit disembuhkan, sekarang malah merembet ke bagian betis. Luka menganga itu terpampang nyata di sana.
"Nggak minat gitu buat ngikutin saran aku?"
Cakra berdecak dibuatnya. "Nggak worth it sarannya."
Zayna berdecih pelan. "Iya ..., iya ..., si paling worth it ceunah. Kepedean banget!"
Dengan puas Cakra pun tertawa. "Seenggak worth it itu emang aku di mata kamu, Zay?"
"Ya jelas nggak, lah!"
"Busettt tuh mulut ringan banget ngatain orang."
Zayna melirik sekilas. "Ya iyalah. Untuk menjadikan A Cakra teman biasa masih oke-oke aja, tapi nggak dengan menjadikan A Cakra sebagai teman menua."
Pria berusia 28 tahun itu berdecak. "Pede gila, kamu juga nggak wort it buat aku!"
Zayna menunjukkan dua jempolnya. "Bagus. Mantap!"
Hening seketika sampai akhirnya Cakra bersuara, "Sebat dulu nggak papa, kan?"
Zayna membalas dengan deheman. Dia kurang suka dengan asap rokok, dan dia selalu terang-terangan mengatakan rasa tidak sukanya pada Cakra. Maka dari itu Cakra selalu meminta izin terlebih dahulu, jika memang diberi lampu hijau dia akan menyesapnya, jika tidak ya menepi untuk sekadar menghabiskan satu batang saja.
Pria itu bukan seorang pecandu, hanya sesekali saja. Satu bungkus bahkan bisa habis dalam tiga sampai lima hari. Tidak seperti kebanyakan pria lainnya yang sudah seperti kereta api yang terus-menerus mengepulkan asap.
"Terkait pembahasan kita tadi, saran kamu itu nggak banget, Zay. Aku cukup sadar diri dengan nggak masuk terlalu dalam ke hubungan orang lain, walau sebetulnya hubungan mereka emang nggak sehat. Tapi, aku cowok berprinsip kalau memang perempuan itu udah terikat, aku nggak akan berani buat merusak."
Zayna manggut-manggut paham. "Tahu kok, tahu banget malah."
Cakra menyesap sejenak rokok dengan aroma khas yang manis dan wangi itu ke arah lain, agar asapnya tidak mengganggu Zayna lantas berkata, "Terus kenapa kamu dengan entengnya malah nyuruh aku buat deketin Shaqeena? Udah tahu, dia ada pawang."
"Latar belakang kalian cukup sama, dan aku rasa kalian bisa saling support dan survive. Teh Shaqeena yang berusaha keras sebagai tulang punggung keluarga, menghidupi ayah dan adik-adiknya, juga mencukupi biaya rumah sakit ibunya yang divonis mengalami stroke. Struggle kalian hampir mirip-mirip, umur juga nggak jauh beda walau Teh Shaqeena satu tahun di atas A Cakra, tapi ya udah, nggak usah dipermasalahin."
"Teh Shaqeena lolos verifikasi dari segi rupa dan fisik, tipe A Cakra banget, kan? Apa salahnya dicoba, lagian hubungan Teh Shaqeena sama tunangannya itu kayak cuma sebatas ikatan tanpa perasaan, yang bertahan hanya karena merasa terikat balas budi."
Cakra mematikan rokoknya. "Nggak sesederhana itu, Zayna. Kuliah Shaqeena bisa tuntas karena dibiayai tunangannya, itu adalah point penting yang harus digaris bawahi. Semati rasa apa pun Shaqeena sama tunangannya, dia masih tahu cara berterima kasih."
"Lagi pula aku nggak selayak itu buat Shaqeena yang sekarang. Dia berhak buat dapet yang lebih baik, aku hanya empati karena merasakan apa yang dia rasakan. Perhatian-perhatian yang aku kasih murni sebatas peduli sebagai teman, masa iya cuma karena aku suka nemenin dia kalau lagi di rumah sakit dan sekadar bawain makanan bisa kamu jadikan sebagai tolak ukur, kalau ada kemungkinan kita bisa bersama. Kamu salah besar!"
"Ya terus yang bener apa?"
🍁BERSAMBUNG🍁
Padalarang, 06 Januari 2025
Part 1 nya gimana nih? Sudah kepincut belum sama Cakra dan Zayna? 🤔😜 ... Menurut kalian emang ada ya pertemanan murni di antara laki-laki dan perempuan? Seprinsip sama Zayna atau justru sebaliknya nih? 🤭😅
Mau lanjuttt???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro