8. Luka
Ada yang bilang kalau luka akan sembuh dengan sendirinya. Hal yang dibutuhkan hanya waktu. Namun, Zian tidak percaya pada kata-kata itu. Ia hanya berusaha terbiasa dengan lukanya yang tak mungkin sembuh. Menurutnya, waktu tidak akan pernah menyembuhkan luka. Orang-orang yang ada di sekitarnya, bisa membantunya terbiasa dengan luka itu.
Sejak jecil, Zian sudah banyak terluka. Hal itu berpengaruh pada caranya memperlakukan orang lain. Ia lebih mudah curiga dan sulit mempercayai orang lain. Hanya satu orang yang selalu Zian percayai, yaitu Alka. Laki-laki yang sering mengenakan kacamata itu, selalu jadi orang pertama yang muncul saat ia terluka, tetapi kadang Zian merasa kalau ia sering merepotkan Alka.
Zian dan Alka tumbuh bersama layaknya saudara. Mereka tertawa dan menangis bersama. Kadang pertengkaran juga menghampiri keduanya. Alka menjadi sosok sahabat, saudara dan orang tua di saat yang sama. Ada saat ketika Zian tidak mampu membantah dan hanya bisa menurut pada Alka, tetapi ia lebih sering melawan dan menolak kata-kata laki-laki itu.
Ketika sedang marah, Zian seringkali menyakiti Alka dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya, tetapi ia jadi semakin merasa bersalah karena Alka tidak pernah pergi dari sisinya. Sama seperti saat ini, meski ia melontarkan ceramah panjang lebar, tetapi ia tetap di sana dan malah berusaha menghiburnya setelah marah besar.
Laki-laki yang mengenakan kaus tanpa lengan itu memandang Alka yang kelihatan tengah melamun. "Menurut lo, gue orangnya gimana, sih?"
Alka menggeleng. Laki-laki berkaca mata itu terdiam. Ia sempat mengerjap dan menatap sahabatnya dengan tatapan heran. Biasanya, Zian akan memutuskan semua hal sesukanya. Jarang sekali ia meminta pendapat Alka. Terlalu banyak berpikir membuat Alka tidak sempat menjawab.
Zian menyerigai. "Emang pertanyaan gue susah banget buat dijawab?"
Alka mengerutkan dahi. Kemudian ia menjawab setelah melangkah mendekat. Setelah tiba dan hanya meninggalkan jarak dua langkah, laki-laki berkacamata itu melipat tangan di dada. "Pertanyaan lo nggak susah, cuma aneh."
"Ya udah, batal pertanyaannya." Perhatian Zian teralih pada kertas yang berisi angka dan rumus yang sudah ditandai warna-warni. "Lo bisa tinggalin gue."
Melihat Zian yang sudah tidak memperhatikan, Alka menghela napas. "Zi, gue boleh kasih saran?"
Tersangka yang diajak bicara malah buang muka. Zian pura-pura sibuk dengan kertas yang ada di tangannya, padahal Alka tahu kalau laki-laki bertindik itu sama sekali tidak tertarik dengan kertas itu.
"Lo harus bisa tahan emosi, dikit aja. Tahan sepuluh detik sebelum lo marah. Kalau lo nggak bisa percaya sama orang lain, gimana lo bisa dipercaya?" Alka berbicara dengan nada serius. Ia menutup kalimatnya dengan menepuk pundak Zian. "Nanti gue kabarin kalau makan malam sudah siap."
Kata-kata Alka sempat membuat Zian berpikir keras. Ia tahu kalau emosinya memang meledak-ledak, tetapi ia sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti. Setelah Alka pergi, mata Zian terpaku pada kertas di tangannya.
***
Bella masuk ke rumah diam-diam. Ia takut mengganggu Ayah yang mungkin sedang tertidur. Ia langsung menuju dapur setelah meletakkan tasnya di kamar. Ia berniat menyiapkan makan malam dengan tenang, tetapi Ayah malah mucul tepat setelah Bella membuka kulkas.
"Gimana ngajarnya?" Ayah menarik kursi yang ada di meja makan dan duduk di sana sambil melihat putrinya yang mengambil beberapa wadah dari rak piring.
"Lancar, Yah." Bella menjawab singkat.
Dahi Ayah mengkerut. Mata cokelatnya menatap curiga pada putri semata wayangnya. Ia berusaha menelusuri senyum yang muncul di wajah Bella.
Bella menyadari tatapan tidak percaya dari Ayah. Ia kembali tersenyum dan menatap Ayah yang kelihatan masih pucat. "Aku berhasil masuk ke rumah itu. Ternyata Zian itu teman sekampusku. Dia kuliah di Jatayu, Jurusan Teknik Sipil. Kami satu fakultas, makanya aku tahu dia. Kenapa Ayah nggak bilang dari kemaren-kemaren, sih? Tahu gitu, biar aku aja yang ngadepin anak nakal itu. Emang gayanya kayak preman gitu, sih. Di kampus juga suka malakin anak-anak kalem."
Bukannya antusias, Ayah malah semakin khawatir setelah mendengar kata-kata Bella. "Bella. Kamu nggak apa-apa?"
Gadis yang sibuk memotong sayuran itu tertawa. Ia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. "Nggak apa-apa, Ayah. Nih, liat, aku bisa pulang ke rumah dengan selamat, kan?"
"Mas Zian nggak marah atau usir kamu?"
Bella tidak langsung menjawab. Ia sempat memindahkan sayur yang sudah dipotong ke dalam mangkuk. Ia mengambil jeda sambil berpikir sebelum menjawab. "Enggak, kok."
"Syukurlah." Ayah mengembuskan napas lega. "Ada yang bisa Ayah bantu?"
Mendengar hal itu membuat Bella langsung berbalik. Ia harus segera mengambil kesempatan ini untuk membujuk Ayah. "Yah, izinin aku yang ngajar Zian untuk seterusnya, ya."
Senyuman di wajah Ayah menghilang sepenuhnya. Mata cokelatnya bergetar. Tangannya mengepal kuat.
"Aku yang bakal ngajar Zian, Yah. Boleh, ya?" Bella mengangguk dan menatap Ayah dengan tatapan memohon.
Pertanyaan Bella membawa ingatan lama yang terputar layaknya film lama.
Pak Jaya tiba di rumah keluarga Dwipiga, tepat dua puluh menit sebelum waktu mengajarnya. Sebelumnya, pria berusia hampir enam puluh tahun itu sudah menandatangani kontrak untuk mengajar Zian selama 1 tahun.
Pak Jaya mengira, Zian adalah anak laki-laki biasa yang kurang bisa memahami pelajaran, tetapi pria beruban itu malah mendapati anak laki-laki yang kelihatan sangat berbeda. Anak itu memiliki rambut cepak dan telinganya dipenuhi tindik. Setelah mengamati beberapa saat, Ayah juga bisa melihat kalau ada tato di lengan anak laki-laki yang sebelumnya dikenalkan sebagai Zian Putra Dwipiga. Anak tunggal dari orang yang sudah membayar jasa tutornya.
"Perkenalkan, saya Jaya. Kamu bisa panggil saya Pak Jaya."
"Anda kelihatan cukup menyebalkan." Zian mengangkat kakinya ke kursi layaknya sedang makan di warkop. Ia mengambil sebungkus camilan dan mengunyahnya dengan mulut yang mengecap. Namun, matanya memerah dan terus menatap Pak Jaya dengan sinis.
"Saya dengar, kamu sudah kuliah. Di Universita Jatayu, ya?" Pak Jaya bertanya dengan senyum mengembang. Ia menduga kalau Zian seumur dengan putrinya.
Anak laki-laki yang mengenakan kaus lengan pendek itu malah menyeringai. "Kalau sudah tahu, kenapa nanya?"
Pak Jaya menelan saliva karena melihat seringai Zian yang cukup membuatnya takut. Ada aura gelap yang dipancarkan anak laki-laki itu. Pak Jaya menyampaikan materinya dengan semangat, sesekali ia menoleh untuk melihat Zian. Awalnya, anak laki-laki itu memperhatikan, tetapi setelah sepuluh menit ia malah melenggang keluar. Tanpa pamit.
Setelah keluar dari ruang belajar, Pak Jaya mendapati Zian tengah duduk di sofa sambil memainkan gitar. Ia hanya melirik melihat kedatangan Pak Jaya.
"Waktu belajarmu belum selesai. Apa ada masalah?" Pak Jaya bertanya seramah mungkin.
Zian mendengkus dan memainkan gitarnya dengan kasar. Suara yang ditimbulkan mampu membuat sakit telinga.
"Mas Zian."
"Jangan panggil nama saya!"
Suara Zian yang membentak membuat Pak Jaya mundur. Ia menatap ke mata anak laki-laki itu dan mendapati amarah dan kebencian di matanya.
"Boleh, ya, Yah? Pokoknya, aku nggak bakal biarin Ayah ke sana. Biar aku aja."
Pertanyaan Bella membuyarkan lamunan Ayah. Pria beruban itu menggeleng dengan cepat. "Enggak, untuk Mas Zian, itu urusan Ayah."
Aloha!
Terima kasih sudah membaca dan berkenan memberi vote.
Bella yang siap baku hantam sama Zian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro