5. Pertemuan Tak Terduga
Sambil berusaha menyingkirkan semua pikiran tidak enak dari kepalanya, Bella membuka pintu rumah. Ia merasa hampir lupa cara bernapas ketika melihat Ayah tergeletak di lantai dengan kondisi ruangan yang gelap. Tangan gadis itu meraba tembok untuk mencari sakelar lampu. Seketika ruang tamu menjadi terang.
Bella membeku di tempat. Terang dari lampu membuat wajah pucat Ayah terlihat jelas. Namun, kesadaran Bella cepat kembali. Gadis itu segera berlari keluar untuk mengetuk pintu rumah tetangganya.
"Iya, ada apa?" Tetangga Bella yang juga merupakan ketua RT menjawab dengan senyum ramah, tetapi beliau jadi khawatir karena melihat wajah Bella pucat dan matanya berkaca-kaca.
"Bapak bisa tolong bantu saya bawa Ayah ke klinik? Ayah pingsan di rumah." Suara Bella sudah bergetar. Hal itu dilengkapi dengan tangan yang juga gemetar.
Pria bertubuh gemuk itu langsung memanggil anaknya dan mengambil kunci mobil. Segera setelah mereka tiba di rumah, Pak RT dibantu anak laki-lakinya langsung mengangkat Ayah ke mobil.
Bella cukup lega karena Ayah sadar ketika mereka tiba di klinik. Gadis itu menyentuh tangan Ayah. Dingin. Dinginnya sama ketika Bella menyentuh tangan Ayah yang pulang dengan kondisi basah kuyup tempo hari.
"Ayah nggak apa-apa, Bella." Ayah berbicara sambil tersenyum.
Bukannya membalas senyum, Bella malah menangis. "Ayah jangan bikin aku takut."
"Maafin Ayah, ya."
Bella melanjutkan tangisnya meski tanpa suara.
"Malu, lho, diliat Pak RT." Ayah berusaha bercanda untuk mencairkan suasana, tetapi Bella tidak bisa menahan tangisnya. Apalagi ketika ia mengingat kata-kata dokter sebelumnya, umur Ayah yang sudah senja membuatnya tidak boleh terlalu lelah, apalagi riwayat darah rendah yang dimiliki oleh Ayah bisa memperburuk semuanya.
"Aku yang minta maaf. Gara-gara aku, Ayah harus kerja mati-matian." Bella memeluk Ayah sambil terus menangis.
Mereka kembali ke rumah setelah Ayah menghabiskan satu botol infus. Bella sudah memastikan kepada dokter kalau Ayah tidak perlu rawat inap.
Malam itu adalah salah satu malam paling mengerikan di hidup Bella. Ia sudah memikirkan banyak kemungkinan terburuk, untung Ayah baik-baik saja. Gadis itu memilih untuk terjaga ketika Ayah tertidur.
Bella sengaja meminta Ayah untuk membuka pintu kamar supaya ia bisa memeriksa kondisi Ayah setiap setengah jam. Tangan dan kaki Ayah dingin, tetapi dahinya tetap demam. Saking takutnya, Bella terus mengamati Ayah yang tertidur untuk memastikan kalau pria kesayangannya itu masih bernapas.
Bella terbangun setelah mendengar suara ayam berkokok. Tanpa sadar, ia tidur dengan posisi duduk di samping Ayah. Dengan sigap, ia langsung memeriksa suhu tubuh Ayah. Gadis berambut panjang itu langsung mengembuskan napas lega ketika tangannya mendarat di dahi Ayah.
Sentuhan Bella membuat Ayah terbangun.
"Bella, kamu tidur di sini?" Ayah bisa tahu kalau anak gadisnya tidur di sana dari jejak garis di wajah, bekas lipatan pada seprai.
"Iya. Ayah udah enakan?" Bella menjawab dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
Ayah mengangguk.
"Aku buatin sarapan dulu." Bella segera beranjak dari sana dan menyiapkan sarapan.
***
Suara piano memenuhi ruang tengah rumah Zian. Pria berambut cepak itu tengah memainkan sebuah lagu favoritnya. Seperti biasa Alka berada tidak jauh dari tempat Zian. Pria berkacamata itu kini tengah membaca buku ditemani teh hangat.
Tiba-tiba gerakan tangan Zian di atas tuts piano berhenti. Laki-laki yang mengenakan kaus tanpa lengan dan celana bokser super pendek itu langsung menoleh pada Alka. "Lo denger sesuatu nggak?"
Alka menutup buku dan melepas kacamatanya. Ia mengerjap beberapa kali dan meletakkan tangan di belakang telinga untuk menyiagakan diri mendengar suara yang disebutkan oleh Zian tadi. "Lo jangan bikin gue takut."
"Idih, pengawal macam apa yang penakut kayak lo!" Zian bangkit dari duduknya. Kemudian ia berjalan menuju pintu depan. Tidak lupa ia menjulurkan lidah pada Alka.
Alka kembali mengenakan kacamatanya. Kemudian ia melanjutkan kegiatan membaca buku.
Zian sempat takjub karena melihat Alka yang tenang dan kembali membaca buku seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. "Dasar orang aneh."
Laki-laki bermata sipit itu membuka pintu dengan kasar, tetapi ia hanya membuka separuh pintu. Ia menoleh ke kiri dan tidak mendapati seseorang di sana. Namun, begitu Zian berniat menutup pintu, gerakannya tertahan oleh sebuah sepatu berwarna putih yang mengganjal.
Bukannya mendorong pintu, Zian malah menjulurkan kepalanya untuk melihat orang yang ada di balik pintu. Ia sempat tercengang karena mendapati Gadis Ular ada di hadapannya. Hal itu membuat Zian kehilangan fokus sejenak.
Pintu besar tersebut dibuka dengan paksa. Zian bisa melihat kalau gadis itu membelalak dan langsung mundur satu langkah.
Lupa kalau ia hanya mengenakan kaus tanpa lengan dan celana bokser super pendek, dengan percaya diri Zian melipat tangan di dada, lalu menyeringai. "Ngapain lo di sini?"
Gadis yang mengenakan kaus abu-abu itu tidak langsung menjawab. Ia terlalu terkejut karena bertemu dengan Zian. Terlebih lagi tampilan pria itu kini mampu membuat Bella bergidik.
"Gue tanya, ngapain lo di sini? Nyasar? Atau lo cari gue?"
Bella menarik napas panjang. Ia berusaha tidak terintimidasi. Gadis berambut terikat itu terus berseru dalam hati tentang tujuannya ke sini. Ia harus memberi pelajaran pada anak nakal yang membuat Ayah sakit. Namun, ia langsung batal bicara ketika melihat sebuah tato di lengan Zian.
"Lo emang nggak bisa ngomong? Atau nggak berani ngomong?"
Tatapan mata Zian yang tajam, membuat Bella harus menelan saliva. Dengan susah payah, akhirnya gadis bermata besar itu berani bicara. "Gue dateng buat jadi tutor lo."
Zian jelas terkejut. Ia berusaha mengingat jadwal belajarnya dengan Pak Jaya. Benar juga, hari ini adalah jadwalnya belajar, tetapi mengapa Gadis Ular ini yang muncul?
"Gue gantiin Ayah, maksud gue Pak Jaya." Bella berbicara sambil mengepalkan tangan. Ia juga berusaha fokus melihat mata Zian agar tidak terlihat takut.
Zian melihat Bella dari kepala hingga kaki. Kemudian ia langsung mempersilakan Bella masuk.
"Gue beneran boleh masuk?" Bella bertanya karena tidak percaya. Ayahnya sudah menghabiskan waktu tiga bulan untuk menghadapi laki-laki di hadapannya kini, tetapi ia berhasil diterima dengan mudah.
"Kalau lo nggak mau, boleh pulang." Zian kembali menyeringai.
Bella langsung menahan pintu dan melenggang masuk. Gadis berponi itu sangat takjub melihat penampakan rumah Zian. Ruang tamunya saja sama besar dengan luas rumah Bella. Baru juga melangkah lebih jauh, ia langsung tepana pada penampakan yang ada di depannya. "Kalian tinggal bareng?"
Alka langsung menutup buku dan menatap Zian tidak percaya. Pandangannya langsung teralih pada Bella. "Lo ngapain di sini?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro