Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Jatuh Tertimpa Tangga

Ada dua jenis kenyamanan, nyaman karena sayang dan nyaman karena terbiasa. Kalau disuruh memilih, Bella akan lebih suka yang pertama. Terbiasa terlalu sulit untuk seseorang yang selalu mendapat lingkungan baru setiap dua tahun. Hingga usianya dua puluh tahun, Bella masih tidak tahu alasan Ayah sering membuat mereka pindah rumah. Setiap ditanya, Ayah hanya akan menjawab dengan senyuman.

Bella tidak pernah punya teman dekat. Ia pernah berpikir keras untuk mendapatkan jawaban dari masalah tersebut, tetapi ia merasa tidak ada yang salah dengan dirinya. Memang, ia tidak bicara sebanyak gadis lain, ia juga jarang tersenyum, apalagi tertawa karena hal remeh. Namun, apa salahnya menjadi berbeda?

Mungkin bukan berbeda. Bella hanya tidak bisa melakukan sebanyak gadis pada umumnya. Saat anak gadis lain nongkrong cantik di kafe populer, Bella malah sibuk dengan urusan rumah tangga. Ia mencuci pakaian, membersihkan rumah dan menyiapkan makan malam.

Jarum jam sudah menunjuk pukul tujuh, tetapi Ayah belum juga pulang. Bella sempat melihat ke luar untuk memastikan kalau hujan sudah berhenti. Gadis berambut panjang itu mulai mengetuk meja karena gelisah.

Sudah lewat lima belas menit dari waktu kepulangan Ayah. Bella merogoh saku dan mengambil ponselnya dengan cepat. Ia melakukan panggilan ke nomor yang disimpan dengan kontak My Hero.

Belum juga panggilan itu dijawab, suara motor yang Bella kenali terdengar. Ia langsung melonjak dari tempatnya dan bergerak ke pintu depan.

"Ayah, kok, basah? Hujannya sudah reda, lho." Dengan sigap, Bella mengambil tas selempang Ayah.

Ayah tersenyum. "Iya, tadi keujanan di jalan."

Dahi Bella berkerut. Ia mengamati penampilan Ayah yang sudah basah kuyup dengan tangan yang keriput dan gemetar. Sebuah kecurigaan muncul di kepalanya. "Ayah, privat ke rumah itu lagi?"

Ayah tertawa kecil dan bergerak masuk ke rumah. "Kamu sudah kayak dukun. Bisa tahu tanpa Ayah bilang."

"Anak itu ngapain lagi?" Bella bertanya sambil mengekor masuk.

"Nggak ngapa-ngapain. Ayah mandi dulu, ya. Baru kita makan bareng."

"Jangan bilang, Ayah nggak dibolehin masuk lagi? Terus malah ujan-ujanan sampe waktu ngajarnya selesai?"

Pertanyaan putri semata wayangnya itu mampu membuat Ayah menghentikan gerakan. Pria beruban itu berbalik dan menyentuh pundak Bella. "Bella, Ayah cuma menjalankan tugas. Kamu nggak boleh marah-marah gitu, dong."

"Yah, aku, kan, udah bilang, nggak usah dateng lagi ke rumah itu kalo memang anaknya nggak mau diajarin. Ngapain Ayah ngabisin waktu buat nunggu di depan rumah?" Bella berbicara sambil mengepalkan tangannya. Gadis bermata besar itu memang tidak mudah marah, tetapi jika hal itu berhubungan dengan Ayah maka ia bisa jadi sangat kesal. "Ini udah bulan ketiga Ayah ngelakuin hal kayak gini. Sekarang udah masuk musim hujan, Yah. Aku nggak mau Ayah sakit gara-gara nungguin orang nggak jelas kayak gitu!"

Ayah batal melangkah ke kamar mandi. Pria bertubuh tinggi itu malah menarik kursi dan duduk. "Bella, semuanya nggak semudah yang kamu bilang. Ayah enggak apa-apa, kok."

"Udahlah, Yah. Mending Ayah berenti dateng ke rumah itu. Demi aku." Gadis berhidung mancung itu sempat mendengkus sebelum mengajukan bujuk rayu.

Ayah tersenyum. Ia menatap mata Bella lebih lama dari biasanya. "Ayah tetap dateng ke sana, itu demi kamu."

"Kenapa, sih, Ayah tetap ngotot dateng ke rumah itu buat ngelesin anak yang nggak mau ikut les?"

"Ayah melaksanakan tugas. Anak itu memang agak spesial, tapi orang tuanya sudah bayar jasa Ayah untuk 1 tahun."

Bella masih memegang tas selempang milik Ayah, ketika ia menghentakkan kaki sebal. "Ya udah, balikin aja uangnya."

Ayah tertawa kecil. Wajah Bella yang tengah protes, terlihat menggemaskan baginya. "Nggak semudah itu, dong, Sayang. Uangnya, kan, sudah dipakai untuk bayar uang kuliah kamu."

Bella terdiam. Kepalan tangannya terurai dengan gerakan lambat. Napasnya mulai menderu. Gadis itu berusaha keras untuk menahan tubuhnya agar tetap bisa berdiri tegak. "Jadi, Ayah bakal tetap bolak-balik ke rumah itu walau ditolak sampe 1 tahun ke depan?"

Pria beruban itu mengangguk sambil tersenyum.

Melihat senyum Ayah membuat Bella kehilangan kekuatan kakinya. Kini ia berdiri sambil menopang tubuh dengan memegang meja makan. "Maafin aku karena udah ngerepotin Ayah."

Ayah bangkit dari duduknya, kemudian memeluk Bella dan menepuk pundak gadis berambut panjang itu.

***

Saat matahari masih belum terbit, Bella sudah dibuat sibuk dengan menyiapkan sarapan. Ia bersenandung sambil menata beberapa jenis lauk yang dimasak olehnya. Gadis itu menyiapkan meja makan dengan cepat. Setelah makanan siap, ia mengetuk pintu kamar Ayah.

Sebenarnya, sejak mulai memasak Bella sudah bertanya-tanya ke mana perginya Ayah karena pria itu biasa bangun lebih pagi dari Bella dan menyeduh kopi, kemudian membaca koran di ruang depan.

"Yah, sarapannya udah siap." Bella berbicara sambil mengetuk pintu. Meski sudah tinggal bersama selama 20 tahun tanpa anggota keluarga lain, Bella dan Ayah tetap menghargai privasi masing-masing, sehingga Bella tidak mudah segera membuka pintu kamar Ayah yang masih tertutup.

"Ayah, sarapannya udah siap." Bella berbicara dengan volume suara yang lebih keras dari sebelumnya.

Namun, tak kunjung ada jawaban dari ruangan tersebut. Bella sempat mondar-mandir di depan pintu kamar Ayah sebelum akhirnya ia menggedor pintu tersebut dengan keras. "Ayah!"

Setelah teriakan tersebut, akhirnya ada satu suara sahutan dari dalam kamar. "Masuk."

Mendengar suara serak Ayah membuat Bella sempat menghentikan niatnya untuk membuka pintu. Suara Ayah terdengar lemah tanpa semangat.

Begitu melihat Ayah yang masih berbaring di atas kasur, Bella langsung menghampirinya dengan cepat. Gadis itu menyentuh dahi Ayah, dan segera menarik tangannya karena kini Ayah demam.

"Ayah nggak apa-apa." Pria beruban itu tersenyum ketika berbicara.

"Ayah demam tinggi. Kita harus ke dokter."

"Nggak usah, Bella. Ayah cuma butuh istirahat."

Mata cokelat Bella mulai berkaca-kaca. "Ayah! Bisa dengerin aku nggak, sih? Ayah harus istirahat. Kita ke dokter setelah sarapan. Semua kerjaan Ayah, biar aku yang gantiin."

"Bella." Ayah berbicara sambil menyentuh tangan putrinya.

"Aku bisa, Yah. Aku cuma butuh Ayah percaya sama aku. Oke?" Bella berbicara penuh keyakinan. Namun, dalam hati ia cukup khawatir. Ia mempertanyakan kemampuannya untuk mengajar menggantikan Ayah.

"Kamu bisa gantiin Ayah untuk kelas, tapi enggak dengan satu privat. Ayah nggak akan biarin kamu pergi ke rumah itu. Rumah Mas Zian."

Mendengar nama itu, Bella sempat membelalak. Nama itu sungguh tidak asing baginya. Ia hanya bisa berharap kalau Zian yang dimaksud Ayah adalah orang yang berbeda dengan Zian yang ia kenal. "Malah aku paling semangat buat ketemu sama orang yang sudah bikin Ayah sakit."

Aloha!

Terima kasih sudah membaca dan berkenan memberi vote

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro