12. Rara Si Kesayangan
Dugaan Alka tentang tujuan Zian, benar adanya. Laki-laki yang terlihat cukup menyeramkan karena minimnya pencahayaan itu menuju tempat Rara. Rara adalah salah satu pelarian terbaik milik Zian. Baru-baru ini, Alka juga jadi jatuh cinta pada Rara, padahal sebelumnya laki-laki berkacamata itu selalu menjaga jarak untuk menghormati Zian.
Kadang, tingkah Alka mampu membuat Zian cemburu. Rara pernah menolak bertemu dengannya karena Alka sudah lebih dulu ngapelin. Namun, sekarang Rara sudah bersikap cukup adil. Ia tidak lagi memilih salah satu dari mereka, kadang mereka bertiga suka bermain bersama.
Zian sempat mengambil hadiah untuk makhluk mungil itu. Begitu Zian menggerakkan tempat makanan yang ada di tangannya, seekor kucing berwarna putih dengan mata cokelat muda muncul dari antara pepohonan yang ada di belakang rumah.
Makhluk berambut yang biasa disapa Rara itu mendekat dan mengeong. Ia menggosokkan tubuhnya pada kaki Zian. Hal itu membuat laki-laki bertindik itu semringah. Seketika ia lupa kalau hampir bertengkar dengan Alka.
Zian mengubah posisinya menjadi berjongkok. Ia mengusap kepala Rara dan segera memberikan makanan kucing yang ada di tangannya. Rara menghabiskan makanan itu dengan cepat. Setelahnya mereka bermain bersama.
Alka tertarik ikut ke halaman belakang setelah mendengar tawa lepas Zian. Ketika tiba, ia bisa melihat kalau laki-laki bermata sipit itu sudah berbaring di rumput.
"Wah, nggak ngajak-ngajak, nih, mainnya." Alka bergabung dengan duduk di samping Zian.
Begitu menyadari kehadiran pelayan lain, Rara buru-buru melompat ke pangkuan Alka dan menggosokkan badannya ke tangan laki-laki berkacamata itu.
Tingkah Rara membuat Zian kecewa. Ia cemberut dan mengubah posisinya menjadi duduk. "Rara, kita, kan, udah buat perjanjian kalau kamu nggak boleh pilih kasih! Jangan pindah seenaknya gitu, dong."
Seolah mengerti, Rara duduk dan mendengarkan Zian. Setelah kalimat Zian selesai, Rara menjawab dengan satu ngeongan.
"Lho, kamu nggak terima?"
Rara kembali mengeong dan tidak beranjak dari pangkuan Alka.
"Emangnya yang kasih kamu makan siapa? Coba jawab."
Bukannya menjawab, Rara malah mendongak dan melihat Alka seolah meminta bantuan.
Alka tertawa. Jika melihat tingkah Zian yang satu ini, orang-orang tidak akan percaya kalau itu adalah Zian yang sama dengan preman kampus Jatayu. "Iya, yang kasih makan, itu Zian, bukan aku."
Rara mengeong lirih, kemudian ia berjalan pelan dan melompat ke pangkuan Zian.
Merasa sudah menang telak, Zian tersenyum dan mengelus Rara sampai puas.
Alka memperhatikan sahabatnya yang tersenyum lebar. "Zi, kalo lo kasih seperempat aja perhatian lo ke Rara, buat Bella, gue yakin, Bella bakalan berhasil selesaiin tiga bulan tutorial sama lo."
Zian menghentikan gerakannya. Ia menghela napas dan meluruskan kaki. Rara masih ada di pangkuannya. "Cewek Uler itu bilang, gue nggak punya perasaan."
Alka tersenyum. Sangat tipis. Alka paham kalau Zian kelihatan cukup bingung. Jarang-jarang ia melihat sahabatnya yang mirip preman itu mau curhat layaknya abg pada umumnya. "Terus?"
"Ya, dia marah-marah sampe nangis." Zian kembali mengelus Rara yang sudah tertidur di pangkuannya.
"Lo emang nyebelin, sih. Wajar dia marah."
Zian berdecak. "Jadi males gue ngelanjutinnya."
"Lo, mah, ngambekan banget. Gimana Bella nggak marah-marah coba?"
Zian menyerah. Ia memang sudah kepalang bingung. "Dia bilang gue terlalu tega buat biarin ayahnya di luar pas ujan. Ya, kan, hak gue, dong buat nolak. Kok, dia marah-marah kayak gue penjahat."
Alka menepuk pundak Zian. "Gue tahu, lo ngerasa bersalah. Kalo minta maaf susah, lo bisa bales dia pake sikap baik. Senyum. Lo bisa mulai dari senyum."
Zian menyeringai. "Gini?"
Alka mengembuskan napas kasar, nyaris frustrasi. "Senyum kayak waktu lo main sama Rara. Senyum yang beneran senyum, bukan senyum nyeremin kayak tadi."
Laki-laki bertindik itu hampir kelihatan seperti orang gila karena berusaha mengganti tipe senyumnya berkali-kali.
"Nih, ya. Lo diem aja udah serem, apalagi kalo lo seringai kayak tadi. Ditambah itu tindik, tato, plus kaos rombeng yang doyan banget lo pake. Pantes anak-anak kampus ngira lo preman pasar yang cosplay jadi mahasiswa. Satu lagi, nama dia Bella, bukan Cewek Uler. Kurang-kurangin deh, lo panggil dia gitu." Alka berbicara sambil menatap Zian.
Tatapan Alka membuat mata cokelat Zian turut mengikuti arah pandangan sahabatnya. "Kenapa gue harus berubah buat dia?"
"Siapa yang bilang buat Bella? Ini buat lo. Cuma lo yang bisa nolong diri lo sendiri. Apa salahnya kasih senyum buat Bella? Gue nggak nyuruh lo copat semua tindik, hapus tato atau pensiunin kaos rombeng lo, kan?"
Zian meringis. "Iya, sih."
"Gue mau kita lulus sama-sama, Zi. Kita bisa mulai mimpi itu kalo berdua."
***
Kelas Zian selesai lebih cepat dari biasanya. Hari ini ia sama sekali tidak punya niat untuk bolos. Ia berhasil masuk di semua kelasnya meski beberapa kali harus dibangunkan oleh Alka karena ia tertidur di kelas. Laki-laki bertindik dengan kemeja hitam dan celana jeans sobek di bagian lutut itu duduk di salah satu bangku kantin. Alka baru saja pamit untuk pergi ke kamar mandi.
Zian tengah menyedot es tehnya dengan semangat ketika satu kata menarik perhatiannya.
"Lo tau Bella, kan? Anak bimbingannya Pak Sopar itu. Katanya dia mau seminar hasil minggu depan. Kok bisa, ya?"
Setelah mendengar pembicaraan dua gadis di meja sebelah, Zian menyiagakan telinganya untuk mendengar lebih banyak. Sepertinya, Bella yang mereka bicarakan adalah Bella yang Zian kenal.
"Emang, Cewek Uler itu pinter banget cari perhatian."
Satu alis Zian terangkat. Ia sudah bertemu Bella beberapa kali, yang ia tahu, gadis itu tidak suka terlibat dengan hal-hal yang membuatnya diperhatikan. Selama di kampus, Zian juga mengenal Bella sebagai gadis pendiam yang tidak banyak tingkah. Malah ia lebih sering sendirian, mungkin karena wajah dinginnya.
"Gue sih, lebih suka panggil Cewek Rubah. Lo tahu, kan? Denger-denger dia ada main sama dosen makanya skripsinya lancar jaya kayak jalan tol."
Tangan Zian sudah terkepal. Ia memang tidak mengenal Bella sebaik itu, tetapi satu hal yang ia tahu pasti, Bella bukan gadis murahan seperti kata mereka.
"Masa, sih? Emang, ya, kalo cewek pendiem itu bahaya banget."
"Eh, itu dia. Gayanya kayak cewek baik-baik, ternyata amit-amit."
Napas Zian sudah menderu, tetapi ia menahan amarahnya karena kalau ia meluapkan emosinya sekarang, ia bisa menjamin kalau satu meja di sana akan porak-poranda.
"Zi, udah pesen baksonya?" Alka muncul setelah dua gadis di meja sebelah mengganti topik pembicaraan mereka.
"Udah."
"Ini titipan dari Bella." Alka menyodorkan kertas yang sudah distabilo dan ada klip di ujungnya. "Katanya dia izin ngajar hari ini karena harus urus berkas seminar."
"Beneran mau seminar ternyata." Zian bergumam. Sangat pelan.
"Bella, tuh, pinter banget. Lo tau, IPKnya 4.0. Kalo gue dapet IPK segitu, kayaknya kepala gue udah berasep." Alka melepaskan kacamatanya dan mengusap dua bulatan kaca itu dengan ujung bajunya.
Zian malah teringat sesuatu. "Lo ketemu Bella di mana?"
Alka kembali mengenakan kacamatanya. Ia sempat mengusap tengkuk sebelum menjawab. "Di depan kamar mandi."
"Kok, bisa ketemu?" Zian jadi curiga.
"Dia chat gue. Soalnya males dapet perhatian dari orang-orang kalo ketemu lo langsung."
Benar. Bella yang dikenal Zian adalah gadis yang tidak suka perhatian dari banyak orang.
"Jadi, lo punya nomornya?" Zian berbicara, setengah berbisik.
"Emang lo nggak punya?"
Pertanyaan Alka membuat Zian merasa kalah telak. Ia merasa kalau Bella sudah pilih kasih. Bagaimana bisa Alka punya nomor ponsel Bella, sedangkan ia tidak?
Aloha!
Niatnya mau posting pagi, apalah daya, di rl perlu diberesin dulu.
Ada yang panas, tapi bukan kompor?
Hati Zian kebakaran.
Zian sama Rara yang lagi ngambek.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro