11. Putar Balik
Mata Bella melihat ke arah kemeja yang terikat di pinggangnya. Ia sempat berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Alka. Hal yang terjadi padanya memang umum dialami oleh perempuan, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Alka.
"Ini tadi dipinjemin sama Zian." Bella menjawab cepat tanpa melihat Alka.
Mendengar jawaban Bella yang tidak percaya diri, membuat Alka curiga. Ia terus mengamati Bella yang malah kelihatan salah tingkah.
"Gue denger, lo jago masak, ya?" Bella berusaha mengalihkan pembicaraan.
Laki-laki berkacamata itu tersenyum. Ia tahu kalau Bella berusah menggati topik. "Lo mau makan malem di sini?"
Bella menggeleng cepat. "Gue makan malem di rumah aja, sama Ayah."
Dalam hati, Bella bertanya-tanya. Bagaimana bisa dua orang yang berbeda mengajukan pertanyaan yang sama? Kalau Alka bilang ia dan Zian bersaudara, pasti Bella akan percaya. Walau wajah mereka tidak mirip sama sekali, keduanya sering mengajukan pertanyaan serupa.
"Oke, hati-hati baliknya. Lain kali, lo harus makan di sini. Sebenernya Zian juga jago masak, lho. Lo harus cobain masakan dia."
Terjadi lagi. Kalimat yang Alka lontarkan barusan serupa dengan kalimat Zian. Untuk mengakhiri percakapan mereka dengan segera, Bella mengangguk dan berlalu dari sana. Alka mengantarnya hingga ke gerbang.
"Terima kasih." Bella tersenyum.
"Gue baru tahu kalau cewek dingin kayak lo bisa senyum selebar itu." Alka berbicara setelah tertawa kecil.
Wajah Bella kehilangan warna. Senyumnya menghilang. Ia sempat tertampar oleh kata-kata Alka, padahal biasanya ia tidak memikirkan kata-kata orang lain. "Gue manusia yang bisa ketawa dan nangis."
"Nah, muka yang begini yang gue kenal selama ini." Alka menyentuh puncak kepala Bella dan mengacaknya pelan.
Bella langsung menarik diri. Ia mundur dengan segera, meninggalkan tangan Alka yang menggantung di udara. Bella menatap laki-laki berambut lebat itu dengan tatapan tidak suka.
"Oh, maaf. Gue lancang. Kebiasaan ngelus Rara, sih." Alka mengusap tengkuknya canggung.
"Gue nggak suka orang lain nyentuh gue tanpa izin."
"Maaf, ya. Gue usahain nggak akan ngulangin ini."
Bella mengangguk dan benar-benar pergi dari sana. Selama perjalanan, kepala Bella dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Bukan tentang Alka yang mengacak rambutnya, tetapi tentang Zian yang menyebalkan.
Rasanya gue pengen nyakar, tuh, preman. Mulutnya nyebelin banget. Bisa kayak orang kerasukan gitu, tiba-tiba emosinya meluap-luap. Aneh banget. Bella menendang kerikil yang ada di jalan beraspal yang ia lalui. Tendangannya tidak terlalu kuat, sehingga kerikil itu tidak berpindah jauh. Gue bisa gila kayaknya, kalo ketemu preman itu tiap hari. Yang ada gue stress, bukannya bantu dia lulus, malah gue yang gagal lulus.
Pandangan Bella teralih pada kemeja yang melilit pinggangnya. Kemeja kotak-kotak itu bergerak karena tertiup angin. Tambah aneh lagi, bisa-bisanya preman itu ngasih kemejanya. Mana kemeja bekas pakai lagi. Kan gue jadi bisa cium bau dia sepanjang jalan. Suara hati Bella semakin menjadi ketika aroma parfum Zian tercium.
Tanpa terasa, Bella tiba di jalan raya. Gadis itu naik ke angkutan umum dan kembali melanjutkan gerutuannya dalam hati. Baru juga dua pertemuan, kayaknya gue udah mulai gila.
***
Makan malam yang tersaji di meja makan rumah keluarga Dwipiga, mampu membuat siapa saja yang melihat menjadi heran. Meja makan panjang yang memiliki dua belas kursi itu hanya diisi oleh dua piring nasi goreng dengan telur ceplok dan dua gelas air putih. Meski tinggal di rumah yang super besar, makanan yang tersaji di meja makan mewah itu sama saja dengan makanan mahasiswa yang tinggal di indekos.
"Besok, sarapan lo yang masak. Gue udah kebagian jatah masak malam ini." Alka berbicara sesaat setelah Zian duduk di sampingnya.
Laki-laki berambut cepak itu cemberut. Ia menjawab meski mulutnya masih dipenuhi makanan. "Langsung berasa nggak enak ini nasi goreng. Bisa nggak ngomongnya abis gue kelar makan aja?"
Alka jadi kesal karena Zian berbicara sambil mengunyah makanan. Laki-laki berkacamata itu melotot tajam, lalu ia menginjak kaki Zian. "Lo kebiasaan, jangan ngomong sambil ngunyah!"
"Ye, sensi amat ...." Belum juga kalimat Zian selesai, ia sudah tersedak karena ulahnya sendiri.
Alka tertawa, tetapi tangannya segera mendekatkan air minum milik Zian. Setelah laki-laki bertato itu berhenti batuk, barulah Alka kembali bicara, "makanya, dengerin kalo gue ngomong. Suka seenaknya, sih."
"Ye, gue lagi kena sial aja, kali." Zian melanjutkan kegiatan makannya seolah tidak ada yang terjadi.
Untuk beberapa saat, hanya suara piring dan sendok beradu yang terdengar, hingga Alka meletakkan sendoknya dengan posisi tertutup.
Laki-laki berkacamata itu menoleh. "Zi, menurut lo Bella itu gimana?"
"Cewek Uler?" Zian menjawab tanpa menoleh. Ia masih sibuk mengunyah makanannya. "Kenapa emangnya?"
"Namanya Bella, Zi. Ya, gue mau tahu aja. Gimana pendapat lo tentang dia?"
"Nyebelin." Zian menjawab asal.
Alka berdecak. "Lo kali yang nyebelin. Gue serius."
"Emang nyebelin. Lo aja nggak ngerasain berurusan sama, tuh, Cewek Uler." Zian sudah menghabiskan makanannya. Ia segera bangkit dan membawa piring serta gelasnya menuju wastafel.
"Gue liat, dia pake kemeja lo tadi."
Kalimat Alka berhasil membuat Zian menghentikan langkah. Laki-laki yang kini mengenakan kaus tanpa lengan itu berbalik dengan wajah tanpa ekspresi. "Maksud lo apa?"
"Lo bukan tipe orang yang gampang ngasih barang milik lo ke orang lain, bahkan gue nggak pernah berhasil buat pinjem barang lo. Ya, gue kaget aja, kemeja lo bisa ada sama Bella. Itu salah satu kemeja kesayangan lo, kan?" Alka langsung menghujani Zian dengan beberapa fakta.
"Suka-suka gue, dong." Zian kembali berbalik, ia melanjutkan langkahnya menuju wastapel.
"Zi, kalau lo mau akrab sama Bella, cara yang lo lakuin udah bener, tapi gue minta, jangan sampai lo sakitin dia dengan atau tanpa sengaja."
Zian diam. Ia mulai mencuci piringnya dan menghidupkan keran air dengan kecepatan penuh. Suara Alka yang sedang bicara, tenggelam karena suara keran. Kegiatannya hampir selesai ketika Alka berdiri di sampingnya.
"Gue rasa, Bella bisa bantu lo. Lo harus belajar bener-bener, biar kita bisa raih mimpi sama-sama."
Keran yang sedari tadi mengalir deras, dimatikan. Zian meninggalkan tempat itu sesegera mungkin. Satu kata yang disebutkan oleh Alka, membuatnya kehilangan mood untuk bicara. Mimpi. Apakah ia masih berhak untuk hal semewah itu?
Hampir setiap tahun, mimpi Zian berubah. Saat masih belum sekolah, ia bermimpi menjadi pilot atau dokter. Ketika melihat guru yang super keren, ia bermimpi menjadi seorang guru. Terus begitu, hingga ia berhenti punya mimpi. Papa memaksanya masuk ke Jurusan Teknik Sipil dengan alasan meneruskan perusahaan. Namun, kini semua usaha mereka sudah berakhir. Jadi, apa lagi yang bisa membuat Zian bermimpi setinggi langit? Mimpi menjadi salah satu hal yang paling mewah di hidupnya. Satu suara membuat Zian ditarik kembali dari lamunannya.
"Oy, Zi, jangan bilang lo mau ngapelin Rara?" Alka berseru dari dapur.
Aloha!
Hayo, Zian mulai perhatian, nih.
Alka udah sadar kalau Zian bersikap beda sama Bella.
Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.
"Tuh orang dua, kenapa bisa serumah, ya?" Bella masih kepikiran.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro