Si-Apa-Ya?
Berkubanglah Bibi si Babi bersama sekumpulan teman baiknya. Kicau lembut Cicit si Burung Gereja meramaikan suasana pagi itu. Ah, apa kalian sangka aku akan bercerita tentang Bibi atau Cicit? Tidak, aku akan bercerita tentang diriku, hanya saja aku tidak punya impresi yang menyenangkan untuk membuka cerita dengan deskripsi diriku sendiri.
Berebahlah kamu, sambil mengernyit membaca ceritaku, heran, ini mau dibawa ke mana dongengnya. Kamu menggerakkan kepala tanpa sadar ketika membaca paragraf keduaku.
Jadi sebenernya aku apa? Bukan apa-apa.
"Sisi," Cicit terbang ke arahku kali ini. Menyebut namaku, ya, namaku. Namaku Sisi. "Hari yang cerah, manusia tidak bekerja di hari ini, bagaimana denganmu? Ada rencana jalan-jalan?"
Ah, hari yang cerah hanya ilusi. Kamu saja, di hari yang cerah sekali pun tidak pernah berjalan-jalan, atau sekadar keluar rumah menyapu halaman juga tidak pernah, bukan?
"Tidak ada hari yang cerah," ujarku.
"Ah, salah aku bertanya padamu," cicitnya.
Hari yang cerah hanya ilusi, kuulangi. Beberapa menit setelah Cicit mengepakkan sayapnya, gemuruh petir mulai terdengar. Aku berdecak.
"Kamu merusak pagi kami, Sisi," decak Bibi.
"Bukan aku," ujarku. "Itu Wawa si Awan sedang berkelahi dengan Aan si Awan."
"Mereka tidak akan berkelahi kalau kamu diam saja," ujar Bibi.
Aku mengernyitkan dahi. Bukankah aku memang diam saja? Mereka saja yang terlalu percaya pada ilusi hari yang cerah.
Sudah kutebak ekspresimu akan begitu, kamu pasti akan bilang dalam hati, "Ah, sang pendongeng kehabisan ide, hanya mengetik sekenanya." Bohong sih, otakmu pasti tidak sebaku itu dalam menyusun kalimat. Namun aku tahu, kamu pasti sudah mulai meremehkan tulisanku, mau diberi nilai berapa? 60? Wah, aku tidak peduli.
"Kamu bisa membuat Wawa dan Aan berkelahi," ujar Bibi kesal. "Namun kamu tidak bisa menyentuh penilaian Juju si Jurig, Ujur si Jurig, dan Riri si Jurig, berapa pun nilai yang mereka beri, tidak akan dipengaruhi kata-katamu!"
Kenapa tidak? Aku bisa menuliskan dongeng yang terkonsep dengan baik sehingga aku bisa mengatur kehidupan bulan depan, dan aku juga bisa berpura-pura lupa bahwa Juju, Ujur, dan Riri hidup sehingga poinku berkurang, atau aku juga bisa asal bertingkah, hanya agar aku tetap hadir di sini.
Ah baiklah, sudah cukup pembukaannya, mari kita ceritakan dongengnya ...
Alkisah di suatu tempat antah berantah, hiduplah Uul si Ulat yang jatuh cinta pada Tata si Matahari. Setiap hari Uul akan selalu memandang Matahari, berdoa semoga suatu saat ia menemukan pohon yang setinggi matahari.
Sebulan, dua bulan, Uul berjalan mencari pohon yang tinggi, dia tetap tidak menjangkau matahari. Para burung meledeknya, mengatakan dia bagaikan pungguk yang merindukan bulan. Menurut Uul dalam hati, justru dia lebih parah, karena Pungguk saja masih bisa terbang.
Tiga bulan, empat bulan, Uul pernah nebeng pada burung-burung untuk menjangkau Tata. Namun, tak sedikit pun dia bisa terbang mendekat, semakin atas mereka semakin tinggi tekanan udaranya, semakin beku langitnya, semakin keras anginnya. Uul tidak ingin membunuh para burung yang berbaik hati menebenginya.
"Aku bisa meninggalkanmu pada roket," saran Cicit. Menurut Uul itu ide yang bagus.
Datanglah Uul dan Cicit pada suatu roket buatan manusia. Naasnya belum ada yang menuju matahari, tidak ada yang menuju merkurius, tidak ada yang menuju venus. Jadilah mereka hanya ikut roket yang menuju bulan.
Bulan selanjutnya Uul menyerah, malah Pupung si Pungguk yang ikut ekspedisi ke bulan. Lucu ya, Uul malah makin miris. Pungguk yang merindukan bulan, nyaman dengan ilusi sementaranya, dia akan sadar kalau bumi lebih menyenangkan.
Cicit sudah berusaha semaksimal mungkin menolong Uul. Uul galau. Sangat galau.
Suatu saat ketika Pupung kembali, dia bercerita pada Uul bahwasanya apa yang kita cintai terlalu berlebihan dan ekspektasi kita yang terlalu tinggi tidak sebanding dengan apa yang kita dapatkan ketika kita benar-benar menggapainya.
"Kamu tapi pernah ketemu," gerutu Uul. Pupung diam saja. Pupung tahu, galaunya Uul memang luar biasa. Uul kembali melangkahkan kaki mungilnya menjauhi Pupung. Satu demi satu pohon tinggi dia panjati, demi menjangkau sang pujaan hati.
Pupung menemui Cicit, bercerita keadaan Uul yang semakin menjadi. Cicit hanya bisa menghela napas, Cicit tahu mereka tidak bisa berbuat banyak.
Kali ini datanglah Bibi mencari Uul, mengajaknya diskusi.
"Kamu tahu, Tata terlalu panas untukmu," ujar Bibi. Uul menggerutu mendengarnya, ia sudah sangat teramat jengah mendengar kalimat itu. Bibi bergumam, "Kamu tahu kisah sayap Icarus, 'kan?"
Siapa yang tidak tahu? Kamu tidak tahu? Maka aku sarankan kamu buka penulusuran di internet. Cari sendiri! Sudah besar, 'kan?
"Lantas aku harus mencari sosok yang lebih kuat dari Icarus, yang bisa terbang tanpa meleleh," timpal Uul dingin.
"Siapa?" tanya Bibi.
Uul mengedikkan bahu. Uul sendiri dalam hati tahu, dia tidak akan menemukan sosok itu.
"Ikutlah denganku, berkubang, kita menikmati matahari dari jauh ..."
Uul tertawa hambar.
"Mencintai dengan ikhlas, tetap merasakan kehangatannya ..."
"Ironis," desis Uul sambil menggertakkan gigi.
"Ayolah Uul, cinta tidak harus memiliki, biarkan dia tetap bersinar di sana, tanpa harus kau gapai," ujar Bibi.
"Kamu tahu, Bibi, kamu sangat menyebalkan," ujar Uul. "Sama dengan semua yang ada di sini, mereka semua menyebalkan."
Cicit terbang mendekat mendengar suara melengking Uul. "Kamu dipengaruhi emosi Uul, Uul si Ulat yang kukenal tidaklah seperti ini."
"Maka jangan kenal aku lagi."
"Tata bukannya menghangatkan hatimu, tapi mendidihkan kepalamu dan membakar amarahmu," ledek Bibi.
"Dan kita bertiga tahu ini sebenarnya bukan ulah Tata. Kamu butuh bersemedi Uul," saran Cicit. Uul menghela napas.
"Tidak ada salahnya kan mendengarkan nasehat yang lain?" tanya Bibi. Uul akhirnya mengalah, lalu dia berpamitan dengan keduanya dan mencari daun yang nyaman untuk berdiam diri.
Uul melapisi tubuhnya dengan kepompong. Uul bersemedi sendirian di dalam kepompongnya.
Seminggu, dua minggu, akhirnya ia merobek kepompongnya sendiri mendapati dirinya kini memiliki dua sayap. Uul tertawa riang.
"Wah, aku benar-benar menjadi dewasa!"
Uul langsung mencari Bibi dan Cicit, menemukan mereka, dan memamerka sepasang sayap barunya. Mereka turut senang dengan kebahagiaan Uul.
"Kamu tahu Uul, cinta Tata, tanpa perlu kau kejar, membuatmu menjadi dewasa," ujar Cicit.
"Oh tidak, kita semua tahu, aku akan terbang menujunya."
Bibi dan Cicit saling pandang lelah. Uul memang sangat keras kepala.
Seketika Uul melesat terbang ke atas, memaksa terbang, dan aku tahu kalian semua tahu apa yang akan terjadi selanjutnya tanpa perlu kujelaskan.
Bibi dan Cicit menatapku geram.
"Kau tahu Sisi, kaulah yang paling menyebalkan!"
Ah ya, kita telah berada di penghujung cerita, dengan aku, Sisi. Kalian tahu, cerita ini sangat menyebalkan, semua orang tahu aku yang paling menyebalkan. Kalau kalian kesal dengan cerita ini tentu saja karena aku berhasil. Kenapa berhasil?
Karena aku ...
Adalah ...
Sisi si Ilusi Menyebalkan.
Jadi kalau kalian kesal membacanya dan merasa "Ini dongeng apaan anjir?".
Itu karena, aku, sengaja.
Menciptakan Ilusi yang Menyebalkan. Apa? Nggak ada amanatnya? Ah, kamu tidak memakai otakmu, amanatnya sudah aku hint dari awal, aku bercerita tentang diriku, aku hidup di karakterku sendiri, jadi amanatnya adalah jadilah diri sendiri walaupun bagi orang itu ilusi yang menyebalkan. Selamat sebal oleh ilusiku!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro