Hantu Musim Dingin
Seharian ini, Suma si semut sangat kesal.
Temannya, Suta, memakan kue buah miliknya tanpa izin tadi pagi. Padahal, kemarin malam, Suma sudah susah payah mengambilnya dari meja makan rumah manusia, dan membawanya menyeberangi halaman demi mencapai sarang mereka.
Suta memang langsung meminta maaf dan berjanji akan memberikan gantinya, tetapi Suma terlanjur kesal. Angan-angannya untuk menikmati sarapan kue buah lezat telah buyar.
Siang harinya, Sube, seekor semut nakal yang tinggi besar, jauh lebih besar dari Suma, merebut potongan permen yang sedang dibawanya. Tanpa bisa membela diri, Suma terpaksa mengikhlaskannya dan mencari makanan lain yang bisa dibawa pulang.
Kemudian, sore harinya, Suma sedang berjalan di tepian air ketika sepasang kakak beradik kembar Suke dan Sike menabraknya hingga ia oleng dan tercebur. Mereka beralasan bahwa mereka hanya bermain kejar-kejaran, dan bahwa mereka tidak sengaja. Namun, itu tidak mengubah fakta bahwa kini Suma harus pulang dengan tubuh basah dan kedinginan.
"Sudahlah, Suma," sang Ratu Semut berkata lembut saat Suma mengadukan pengalamannya. "Aku akan menegur Sube nanti, tetapi Suta, Suke, dan Sike tidak bermaksud jahat."
"Ini tidak adil!" Suma mengentak-entakkan kaki. "Aku yang dirugikan, tapi masalah beres hanya dengan mereka meminta maaf!"
"Suke dan Sike sungguh-sungguh tidak sengaja. Dan, bukannya Suta berjanji akan memberikan gantinya?"
"Tetap saja berbeda!" Suma berseru kesal. "Aku mau kue buah yang persis seperti itu dan di waktu itu! Sekarang aku sudah tidak ingin kue buah!"
Sang Ratu Semut menghela napas, tetapi Suma masih bersungut-sungut. "Memangnya Suta bisa mengganti waktu dan tenagaku ketika aku berlelah-lelah membawa kue itu? Sube bahkan tidak menyesal saat mengambil permen itu dariku! Dan, memangnya Suke dan Sike mengerti rasanya berjalan pulang dalam keadaan basah dan kedinginan? Mentang-mentang mereka masih kecil, mereka jadi bebas dari tanggung jawab!"
Ratu Semut menghela napas lagi.
"Suma, kau harus belajar mengikhlaskan. Tidak baik kau terus mendendam."
"Tidak mau!" Suma berteriak. "Ratu jahat! Kenapa Ratu malah membela mereka? Enak saja mereka dimaafkan begitu saja! Aku tidak mau bertemu mereka lagi!"
Ratu Semut terkesiap. "Hati-hati, Suma," ia berkata cemas. "Di mana ada kebencian, di situlah hantu musim dingin hadir."
"Biarkan saja!" Suma berderap meninggalkan ruang singgasana Ratu Semut. "Aku benci Suta! Aku benci Sube! Aku benci Suke dan Sike! Dan aku juga benci Ratu!"
Dengan marah, Suma berbaring di tempat tidurnya. Hatinya terasa panas. Ia menolak memandang Suta yang duduk di tempat tidurnya, di seberang tempat tidur Suma.
"Suma," kata Suta perlahan. "Maaf ... aku—"
Suma menutup telinga dengan bantal. Mendengar suara Suta saja sudah membuatnya ingin meledak marah. Kedongkolan hatinya sudah membludak, sehingga tanpa bisa menahan diri, ia menangis tersedu-sedu.
"Semua orang jahat," ia terisak. "Tidak ada yang membelaku."
Ia terus menangis hingga kelelahan, dan akhirnya ia jatuh tertidur.
Tengah malam, ia terbangun oleh embusan angin dingin. Udaranya sedingin es. Dengan kebingungan, ia memandang sekelilingnya. Tidak ada seorang pun di sekitarnya.
"Di mana semuanya?" Suma berlari menyusuri lorong, dan menabrak sesuatu yang keras.
"Aduh!" serunya. "Apa ini?"
Itu adalah Sube. Hanya saja, ia sudah keras dan dingin seperti es. Wajahnya tampak ketakutan, seakan melihat sesuatu yang mengerikan sebelum ia membeku. Di sepanjang lorong itu, beberapa semut lain juga dalam kondisi yang sama.
"Apa yang terjadi?" Suma ketakutan. "Tolong! Tolong!"
Ia berlari keluar sarang. Di luar, salju tebal menyelimuti tanah. Semua semut berlarian tanpa arah. Sesosok kabut abu-abu terbang di atas mereka, mengejar para semut itu. Jemari berkabutnya menjulur, menggapai seekor semut, dan semut itu seketika membeku dalam terornya.
Seketika Suma teringat perkataan sang Ratu Semut tadi sore.
"Hantu musim dingin!" jeritnya ketakutan. "Tidak!"
Hantu musim dingin itu berbelok, berbalik mengejar Suma.
"Tidak!" Suma berlari sekencang-kencangnya. "Jangan! Tolong!"
"Suma! Ke sini!"
Suta melambaikan tangannya dari sebuah lubang ke bawah tanah, yang adalah rumah Tiko si Tikus Tanah.
Suma berbelok ke arah lubang itu. Ia menoleh. Hantu musim dingin masih mengejarnya. Suma berlari sekuat yang ia bisa, tetapi ia mulai lelah. Dan, embusan angin sedingin es membuat kakinya mulai kaku.
Karena kurang berhati-hati, Suma tidak melihat sebongkah batu di depannya. Ia tersandung dan jatuh.
"Aduh!" teriaknya. "Tolong!"
Suta berlari keluar dari lubang. Ia menarik Suma hingga berdiri, lalu mendorongnya agar kembali berlari.
"Pergilah!" katanya. "Akan kutahan dia."
"Tidak! Suta!"
Namun, Suta sudah berlari mengadang si hantu musim dingin. Ia melempari hantu itu dengan batu-batu kecil.
"Pergi kau! Pergi dari sini! Jangan ganggu kami!" serunya, tanpa rasa takut.
Namun, segala serangan itu tak berarti sedikit pun. Dengan sapuan jarinya, embusan angin menerpa Suta, dan ia seketika berubah beku.
"Suta!" Suma berteriak. "Tidak!"
Suma menyesal. Ia menyesal mengatakan bahwa ia membenci Suta. Ia menyesal mengatakan bahwa ia membenci Suke, Sike, Ratu, dan bahkan juga Sube. Terlepas dari apa yang telah dilakukan Sube padanya, Suma tetap tidak menginginkan kematiannya. Namun, dengan membencinya, ia sama saja telah membunuhnya di dalam hatinya.
"Pergi kau!" Suta berteriak pada si hantu musim dingin. "Kau tidak boleh ada di sini! Aku tarik kembali semua perkataanku! Aku lepaskan pengampunan untuk Suta, Sube, dan semuanya! Aku lepaskan semua kebencianku! Karena itu, pergilah! Tidak ada lagi kebencian di sini!"
Hantu musim dingin itu memekik. Ia berbalik, lalu terbang menjauh, membawa serta hawa musim dingin yang melingkupi sarang semut mereka.
Udara perlahan menghangat. Langit kelabunya memudar, dan warna biru musim seminya kembali menampakkan diri. Lapisan salju pada tanah mulai mencair.
Semua semut yang tadinya keras dan keunguan pelan-pelan berubah merah. Satu demi satu mulai berkutik.
"Apa? Apa yang terjadi?"
"Aku ... bebas?"
"Aku bebas!"
"Langitnya cerah kembali!"
"Udaranya hangat!"
"Hantu itu sudah pergi!"
"Kita selamat!"
"Bagaimana bisa?"
Suta juga mulai berkutik. Kemudian, gumpalan salju terakhir di tanah mencair, dan akhirnya Suta juga terbebas.
"Suta!" Suma berlari menyambutnya dan memeluknya. Ia menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku!"
"Jangan konyol." Suta balas memeluknya. "Justru aku yang seharusnya meminta maaf."
"Seharusnya aku tidak membencimu." Suma terisak. "Aku tidak bermaksud mencelakakan kita semua!"
"Aku tahu." Suta menepuk-nepuk punggungnya. "Aku mengerti. Tidak mudah untuk memaafkan orang yang telah bersalah pada kita. Namun, kau mau melakukannya. Kau hebat, Suma!"
Suma mengesat air matanya. Ia memandangi semut-semut di sekitarnya, yang saling memeluk dan merangkul dalam kelegaan dan sukacita.
Akhirnya, ia mengerti. Untuk apa ia mempertahankan kepahitan dan kebencian yang ada kalau itu justru akan menghancurkan segalanya? Ia tidak perlu sungguh-sungguh melakukan suatu kejahatan untuk disebut jahat. Membunuh atau membenci, keduanya sama saja. Sama-sama tidak ada kasih di dalamnya.
Masih berangkulan dengan Suta, Suma memandangi teman-teman semutnya dengan senyuman.
Ya, akan jauh lebih baik jika semuanya saling mengasihi!
Fin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro