BENCANA
Ada sebuah kerajaan yang berdiri megah di kaki tebing yang curam, dikelilingi padang hijau yang luas dan pepohonan yang bergoyang lembut diterpa angin. Sungai jernih mengalir di sela bebatuan, gemerciknya berpadu dengan kicau burung yang menyambut matahari pagi. Selama beberapa generasi, rakyat hidup dalam ketenteraman di bawah pimpinan seorang raja yang adil. Mereka menikmati musim yang berganti dengan tertib serta panen yang senantiasa melimpah.
Namun, kedamaian bukanlah sesuatu yang abadi.
Pada suatu musim gugur, langit mendadak berubah. Awan-awan kelabu menggantung berat, seolah menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Burung-burung yang biasanya hinggap di menara istana kini terbang menjauh, meninggalkan sarang yang telah mereka bangun. Angin yang semula membawa kesejukan kini berdesir berisik, menggelitik kulit dengan hawa yang asing.
Para cenayang pun berbondong-bondong datang ke istana. Wajah mereka pasi, tatapan mereka gelisah ke sana kemari. "Malapetaka akan datang." Seorang di antara mereka berbisik. "Bukan sekadar hujan dan angin kencang, tetapi murka alam yang akan melahap seluruh daratan. Hanya mereka yang mendatangi matahari yang akan selamat."
Sang raja duduk dalam diam. Kata-kata itu menggema dalam benaknya, menanamkan benih keresahan yang tumbuh semakin lebat seiring waktu. Pikirannya berkelana ke satu tempat: gunung batu di puncak tebing. Satu-satunya tempat yang paling dekat dengan matahari. Namun, tempat itu nyaris mustahil dijangkau. Tebing itu menjulang tinggi ke langit. Dindingnya terjal dan tajam bak bilah jenawi. Mendakinya akan membutuhkan tenaga dan keterampilan yang teramat dahsyat.
Maka raja akhirnya mengumumkan sayembara besar: barang siapa yang mampu membangun tangga terbaik menuju puncak tebing, akan mendapatkan kehormatan, kekayaan, dan nama yang akan dikenang sepanjang masa.
Sayembara pun dimulai.
Dalam naungan awan yang semakin pekat, kerajaan dipenuhi suara palu yang berdentang, pahat yang mencacah batu, dan gergaji yang mencabik kayu. Dari berbagai penjuru negeri, para tukang dan pengrajin berkumpul, membawa gagasan terbaik yang mereka miliki.
Batu-batu besar mulai dipahat, diangkut, dan disusun ke atas. Namun, para pekerja mengeluh, keringat membasahi tubuh mereka. "Berat sekali! Apa kita punya waktu untuk menyelesaikannya?"
Di sisi lain tebing, tukang kayu bekerja lebih cepat. Mereka merangkai tangga raksasa dengan tali tambang. Seorang bocah dengan berani mencoba menaikinya. Namun, begitu ia mencapai pertengahan, tangga itu berderak.
"Ayah, tangganya bergoyang! Aku akan jatuh!" teriak anak itu.
Semakin tinggi kakinya menapak, tiupan angin semakin ganas. Tubuh mungil itu terayun-ayun hingga akhirnya terlepas jatuh menghantam tanah.
Melihat itu, peserta lain berusaha meyempurnakan tangga-tangga mereka. Dari bengkel pandai besi, tangga logam ditempa dan dipoles hingga berkilap. "Tangga ini akan menjadi tangga yang paling kuat!" kata mereka bangga. Di sisi lain, seorang bangsawan kaya datang dengan tawaran megah. "Tangga emas! Akan kudirikan tangga megah berkilauan. Sesuai dengan kemasyhuran raja!"
Hari demi hari berlalu. Langit di atas kerajaan semakin mencekam. Kini, bukan lagi kehormatan yang mereka buru, melainkan waktu. Rakyat pun semakin bekerja keras. Setiap orang ikut andil dalam pembuatan tangga. Dari yang belia hingga renta, dari yang kaya hingga papa. Hanya satu yang tak acuh: lelaki dekil yang meringkuk di sudut gua.
Di tepi kerajaan, tersembunyi sebuah gua kecil yang sunyi dan muram. Di dalamnya, seorang pemuda tinggal seorang diri. Kulitnya penuh kutil, pakaiannya compang-camping, dan tatapannya tak berisi. Ia dipanggil Makhluk Gua, sebuah simbol kegagalan sejati. Ia hanya makan dari belas kasih, berlindung di bawah bayangannya sendiri, dan tak lagi mengenal mimpi.
"Mengapa kau tak ikut membangun tangga? Semua orang berusaha menyelamatkan nyawa masing-masing." Suatu hari seorang ibu menasihati.
Makhluk Gua tidak menjawab. Baginya, bencana hanyalah dongeng yang dibuat untuk menakuti rakyat. Sekalipun terjadi, Makhluk Gua tetap bergeming. Hidup dan matinya hanyalah daun kering yang terbawa angin.
Hingga bencana itu datang.
Langit menghitam seperti tinta kematian. Angin meraung-raung, menyapu atap-atap rumah. Petir menyambar, menjadi satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Sang raja memerintahkan rakyat berkumpul di kaki tebing. Mereka bersiap-siap menaiki tangga.
Awalnya tangga batu. Ketika mereka menapaki anak tangga, bumi berguncang hebat. Gemuruh membuat tangga itu retak. Seketika bebatuan besar runtuh, menggilas apa pun yang ada di bawahnya.
Orang-orang yang waswas mulai memanjati tangga kayu. Tangan mereka menggenggam erat tiap anak tangga. Beberapa sudah mencapai ke pertengahan. Namun, ketika petir menghantam tajam, api menyambar puncaknya. Api menyebar cepat, membakar setiap anak tangga dalam hitungan detik. Yang tersisa hanyalah keputus-asaan.
Hujan semakin lebat. Rintiknya menyayat kulit. Orang-orang berpaling menuju tangga besi. Meski tak terlihat stabil, rakyat dan prajurit tergesa-gesa menaikinya. Namun, pijakan yang licin membuat mereka tergelincir. Satu per satu, tubuh mereka terguling-guling ke dasar tebing. Semua yang menyaksikan itu menjerit-jerit.
Tangga emas? Tangga itu tak mampu menahan beban. Begitu dihantam hujan batu, ia langsung ambruk tak menyisakan kilauan terakhir.
Panik melanda. Jeritan menggema di segala penjuru. Usaha mereka sia-sia. Tidak ada tangga yang bisa menyelamatkan mereka. Kengerian bencana mengubah manusia menjadi makhluk buas. Mereka yang ingin selamat mulai saling dorong, saling injak, saling tendang. Tangga yang tersisa hanyalah tangga manusia. Mereka memanjat satu sama lain, menjadikan tubuh sesama sebagai pijakan. Mereka yang berada di bawah remuk, mereka yang di atas jatuh kembali ke tanah. Tak hanya badai yang merenggut nyawa mereka, tetapi juga keserakahan.
Di tengah kekacauan itu, sang raja dan para pengawalnya mencari perlindungan. Mereka melarikan diri ke satu-satunya tempat yang tampaknya tak tersentuh badai: gua di sudut tebing.
Tak satu pun dari mereka pernah masuk ke gua itu. Pintu masuknya sempit dan tersembunyi. Begitu masuk, terkejutlah mereka. Ruangan luas terbentang di hadapan mereka.
"Pantas saja kau betah di sini," gumam salah seorang pengawal ketika menyadari Makhluk Gua yang meringkuk di sudut terdalam.
Makhluk Gua tidak mengatakan apa pun. Ia hanya memandang mereka dengan datar sambil meringkuk di sudut terdalam. Tubuhnya hampir menyatu dengan bayangan. Matanya yang suram menatap mereka tanpa amarah, tanpa harapan.
Gua itu awalnya memang melindungi mereka dari kekacauan luar. Udara di dalamnya sejuk dan tenang. Namun, lama kelamaan, gua itu seperti lubang tanpa dasar yang menelan waktu dan arah. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di luar sana. Tak terdengar suara apa pun. Tak ada juga yang tahu apakah hari telah berganti. Tak ada setitik cahaya pun yang masuk dari luar.
"Berapa lama kita harus bertahan di sini?" tanya seorang pengawal, suaranya dipenuhi kegelisahan.
"Sampai badai benar-benar reda," jawab raja, meski terdengar kurang yakin.
"Tapi kita tidak tahu apa yang terjadi di luar. Bisa saja kerajaan sudah hancur, atau badai telah berlalu."
Mereka saling bertukar pandang. Ketegangan menggantung di udara.
Akhirnya, raja menoleh pada Makhluk Gua. "Kau," katanya. "Pergi ke luar. Lihat apakah bencana telah reda. Jika sudah, kembali dan menghadap padaku."
Mendengar perintah raja, para pengawal memaksa Makhluk Gua untuk bergerak mengikuti arahan. Mereka mendorongnya menuju mulut gua. Makhluk Gua tidak memberontak. Dengan limbung, ia melangkah keluar.
Raja dan prajuritnya menanti dalam kegelapan.
Namun, tak ada suara. Tak ada tanda-tanda. Tak ada kabar.
Makhluk Gua tak pernah kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro