extra: rossa | helm
warning: helm. orang mabok.
***
Jika Jaka mesti jujur, di awal dia kenal sama Rossa, dia nggak pernah punya bayangan kalau dia bakal naksir berat sama cewek itu—kalau kata Eno sih, bukan lagi naksir berat, tapi sudah sampai ke tahap tergila-gila sampai jatuhnya jadi norak. Jaka nggak menyangkal itu. Tapi ya, menurutnya wajar, namanya juga orang jatuh cinta. Nggak ada orang jenius yang bisa tetap jenius ketika dia jatuh cinta. Perkara ngasih tau orang lain tentang gimana cara jatuh cinta yang 'benar' sih gampang, tapi kalau sudah mesti diterapkan ke diri sendiri? Tentu nggak semudah gimana congornya Eno bercocot.
Nggak ada yang istimewa dari pertemuan pertama mereka. Justru bisa dibilang, klasik banget. Sehabis ospek fakultas, anak-anak FT yang sempat kenalan semasa ospek (biasanya gara-gara barisan mereka berdekatan atau mereka sekelompok) pada ketemuan buat bakar-bakaran di kosannya Tigra. Waktu itu sih masih meriah banget, karena Alfa masih berstatus sebagai senior dan belum lulus. Perlu diketahui, Alfa ini anak hits kampus banget. Kepopuleran Jenar saja kalah telak sama dia. Jaka datang, soalnya dia teman sedepartemennya Milan. Di sana, dia ketemu sama Rossa, yang ternyata teman satu kosannya Jella. Jella sendiri kenal Dhaka dan Tigra melalui Rei.
Waktu itu, kosannya Tigra benar-benar ramai. Tapi diantara mereka yang saling kenalan sampai bertukar nomor ponsel, Rei sama Rossa jadi cukup mencolok sebab keduanya lebih banyak duduk di pinggir. Sesekali mengobrol dengan Tigra, namun selebihnya, keduanya banyak diam. Terus seperti itu, sampai tiba-tiba, Yumna berseru.
"Es batunya abis nih!"
"Di kulkas nggak ada?" Tigra bereaksi.
"Kagak. Beneran abis."
"Yaudah, nggak usah pake es!"
"Nggak dingin, mana enak?" Yumna berdecak. "Di kosan kayaknya ada es batu. Kalau nggak salah."
"Kalau nggak salah, berarti bener." Dhaka menimpali.
"Hadeh." Yumna memutar bola matanya, berpaling pada Rossa dan Rei. "Diantara kalian, ada yang bisa ke kosan nggak? Gue sama Jella mau ngadon bakwan abis ini. Tau sendiri, lanang-lanang di sini kalau nyedot makanan udah kayak vaccum cleaner nyedot debu!"
"Eits, Rei nggak bisa." Dhaka meraih lengan Rei. "Dia udah gue booking."
"Booking ngapain?"
"Asik-asik."
"Oke, gue aja." Rossa mengajukan diri secara sukarela.
"Cowok, satu ada yang anter Rossa dong ke Sadewo!"
"Wah, kalau nganter tuan putri sih kudu siapin kereta kencana dulu!" Alfa nyeletuk, yang bikin Devan ngakak.
"Kalau nggak punya kereta kencana dan punyanya cuma motor supra gimana, Bang?" Eno menanggapi.
"Mending lo jadi tukang ojek aja dah!"
"Buruan, anjer, malah bacot!" Yumna berkacak pinggang, tetap galak meski statusnya dia masih mahasiswa baru. Prinsipnya Yumna, di kampus boleh saja dia junior. Tapi di sini, diantara para jantan yang nggak bisa bikin gorengan seenak buatannya ini, Yumna selayaknya titisan dewa matahari yang sudah sepatutnya mereka sembah.
"Oke, gue aja." Jaka pun mengajukan diri sambil memandang ke arah Rossa. Sejenak, tatapan mata mereka bertemu. Lalu Rossa menunduk dengan pipi merona. Dia tersipu malu.
Walau begitu, tetap nggak ada yang spesial sih dari pertemuan pertama itu. Menurut Jaka saja begitu, apalagi menurut Rossa—yang dari awal, tampaknya sudah menaruh hati pada Milan. Mereka berboncengan naik motor ke kosan Sadewo buat ambil es batu sesuai amanat Yumna, namun sepanjang jalan, keduanya lebih banyak diam. Rasanya cukup canggung, apalagi sewaktu mereka tiba di kosan Sadewo dan disambut keheningan kosan yang lagi sepi. Penghuni kosan yang lagi nggak kemana-mana pun sepertinya lebih nyaman ngedeprok di kamar masing-masing.
"Gue, Yumna sama Rei kosnya di lantai dua." Rossa berujar ketika dia memimpin jalan menapaki tangga, sengaja biar nggak sepi-sepi amat.
"Oh..."
"Iya." Rossa menyahut sekenanya. Mereka langsung bergerak menuju kulkas di dapur, mengeluarkan beberapa bongkah besar es batu dari freezer dan memasukkannya ke plastik. "Nama lo... Jaka kan?"
"Yoi." Jaka menjawab, berusaha luwes, yang sayangnya, entah kenapa justru membuatnya merasa jadi terkesan sok asik. "Well, sorry. Iya. Nama gue Jaka tapi nggak pake Tarub. Hehe."
Rossa akhirnya nyengir dan sumpah, Jaka lega banget. Candaannya memang garing, tapi seenggaknya cukup mampu bikin Rossa tersenyum sampai kelihatan gigi. "Nama gue Rossa."
"Rosalinda?"
"Roseanne."
"Roshan?"
"Itu nama aktor India." Rossa nyengir lagi.
"Ocha?"
"Itu bahasa Jepang-nya teh."
"Sayang?"
"Itu panggilan untuk orang yang pacaran."
"Oh ya, lupa. Kita kan nggak pacaran."
Rossa terkekeh mendengar gurauan Jaka. Suasana canggung diantara mereka mencair. Lalu tahu-tahu, Rossa bertanya. "Lo anak Arsi ya? Berarti satu departemen sama Milan..."
"Iya."
"Oh..." Rossa manggut-manggut.
"Ros,"
"Iya?"
"Mau tukeran WhatsApp nggak? Kali aja nanti-nanti butuh. Apalagi temen-temen lo banyak yang juga temen-temen gue."
"Oke."
Terus ya sudah, segampang itu, mereka saling bertukar nomor WhatsApp.
Jaka nggak punya pikiran macam-macam, termasuk untuk naksir Rossa. Di awal, dia malah lebih condong ke Jella. Nggak ke Yumna, sebab Yumna terlalu barbar dan kalau ngakak, warga satu dusun bisa dengar. Lagian, Jaka sudah jiper duluan sama gelarnya Yumna. Gitu-gitu, dia masih turunan bangsawan. Meski tampangnya sering dibilang cocok jadi pangeran, Jaka masih lebih menikmati jadi rakyat jelata. Nggak ke Regina, soalnya tuh orang kayak untouchable banget. Bukan untouchable karena Jaka ngerasa insecure, tapi Regina kelihatan seperti tipe orang yang punya 'dunia'nya sendiri—yang mana nggak bisa dimasuki sembarang orang. Terus, mukanya lebih sering datar. Kalau ketawa pun irit banget. Jaka sudah ngerasa serem duluan, macam mau deketin nisan kuburan. Sedangkan Rossa... cewek itu tuh terlalu 'tuan putri' buat dia. Nah kalau Jella, kayak paket lengkap. Ibarat kata, diajak duduk dengan satu kaki terangkat di warteg bisa, disuruh dandan jadi incess pun pantas. Mana anaknya kelihatan easy going, terus ceplas-ceplosnya sering barbar, tapi lucu.
Namun, Jaka patah hati sewaktu suatu kali, dia lagi main game sama Eno dan Johnny, terus tau-tau Eno bilang, "Bang John, tau nggak?"
"Kagak. Kan lo belom ngasih tau."
"Si Jeykey katanya naksir Jella."
Jaka langsung protes. "HEH!"
"Santai, bro. Ini Bang Johnny. Bang Johnny mana dekat sama anak Sadewo hingga ke tahap bisa ghibah bareng. Terus Bang Johnny juga bukan tipe orang yang suka cepu."
"Beneran tuh?" Johnny berpaling ke Jaka.
"Dikit, Bang. Tapi siapa juga yang nggak naksir Jella? Anaknya cakep... mana baik... terus asik.."
"Mending mundur aja."
"Hah, emang kenapa, Bang? Jangan bilang lo juga naksir sama si Jella?" Oknum yang kaget malah Eno.
"Ini kita ngomongin Jella yang satu kosan sama Regina temennya Tigra sama Dhaka, kan?"
"Iya, Bang."
"Lagi dipepet Jenar tuh kayaknya."
"Anjayyyy, si Jenar emang bener-bener dah." Eno geleng-geleng kepala. "Ganteng doang, tapi mata keranjang."
"Justru karena dia ganteng, makanya dia mata keranjang."
"Berarti udah kelar beneran sama si Celia? Eh tapi bukannya dia sempat ada apa-apa sama Sierra? Ada tuh, mahasiswa fakultas sebelah yang cakep banget itu!"
"Pengetahuan lo soal cewek cakep emang nggak main-main ya, No."
"Ah, pengetahuan doang sih nggak apa-apa, yang penting kan gue istiqomah di jalan Gilsha."
"Gilsha siapa?" Johnny mengangkat alis.
"Anak Metalurgi, Bang. Pedekate-annya si Eno yang paling baru."
"Direspon nggak tuh?"
"Direspon lah! Gue kan ganteng!" Eno pede, terus berpaling ke Jaka. "Gimana, Jeykey? Perkara si Jella. Lo mau nyerah apa terobos aja? Saingannya Jenar sih. Tapi masa iya lo jiper? Gini-gini kan lo masih tergolong bertampang bagus..."
"Udah cipokan, njir." Johnny makin lanjut ghibah
"Siapa yang cipokan?"
"Jenar sama Jella."
"Edan! Skandal kakak pembimbing ospek dengan maba bimbingannya sih ini namanya!"
"Jangan ember, No." Johnny mengingatkan. "Cuma gue doang yang tau, itu pun nggak sengaja lihat sih. Suruh siapa si Jenar keasyikan."
Jaka manyun, namun bisa dipastikan, hari itu, dia menghapus Jella sebagai crushnya. Bukan karena dia minder sama Jenar. Jenar memang lebih populer darinya di kampus—pertama, karena Jenar anak Mesin dan kalau dikomparasi, nggak tau kenapa ya cewek-cewek kayak lebih 'wow' dengar kata Teknik Mesin daripada Arsitektur dan yang kedua, Jenar punya lesung pipi sedangkan Jaka tidak. Perkara perlesung-pipi-an, Jaka juga nggak ngerti. Tapi banyak yang bilang, cowok ganteng kalau punya lesung pipi, derajat kegantengannya nambah. Namun seperti apa yang sebelumnya dibilang Eno, Jaka juga ganteng kali.
Tapi kalau sudah sampai ke tahap ciuman sih...
Bukan apa-apa ya, kalau cowoknya tipikal yang kayak Jenar, wah, besar kemungkinan Jella sudah tergarap oleh yang bersangkutan.
Jaka nggak mau bercocok tanam di atas hasil garapan orang lain.
"Gimana, Key?" Eno mengusik lagi.
"Gimana apanya?"
"Nyerah lo sama si Jella?"
"Mulai aja belom." Jaka berdecak. "Nggak, deh, makasih. Buat Jenar aja. Tapi yah, gue berharap all the best buat si Jella. Soalnya tipe-tipe kayak Jenar tuh... gitu..."
"Gitu gimana?"
"Mau taruhan nggak, menurut lo, dia hamilin anak orang dulu apa nikahin anak orang dulu?"
Pertanyaan Jaka disambut tawa ngakak oleh Johnny dan Eno.
*
Sebulan setelah Jaka melupakan rasa tertariknya pada Jella yang sempat muncul (tapi belum direalisasikan sama sekali) dia nongkrong sama Tigra dan Alfa di sebuah bar. Ceritanya, Alfa lagi happy sih, soalnya video cover Youtube dia bareng bandnya-nya baru tembus satu juta viewers. Makanya, dia ngajak Tigra nongkrong dan berhubung Dhaka maupun Milan lagi nggak bisa ikutan, Tigra ngajak Jaka. Biar nggak sendirian-sendirian amat, masa bareng Alfa doang.
Namanya manusia, kalau lagi ditraktir tuh suka lupa diri. Apalagi cowok-cowok ini, kalau sudah ketemu, terus ngobrol, lalu minum sambil main kartu, suka pada lupa diri. Asal tenggak saja, tau-tau tepar. Dan itu yang terjadi pada Tigra, Alfa dan Jaka. Belum sepenuhnya terkapar sih, cuma, buat jalan saja sudah pada mesti dibantu.
Akhirnya orang bar berinisiatif ambil ponselnya Tigra—Tigra sendiri sudah mengantisipasi, bilang kalau misalnya dia sampai drunk banget, tolong telponin yang namanya Regina terus share location via WhatsApp. Sesuai instruksi Tigra, orang bar-nya nelepon Rei. Tadinya, Rei berniat ngejemput Tigra sendiri, namun dia minta ditemani sama Rossa ketika tau kalau yang sudah terkapar bukan hanya satu, tapi tiga orang.
Soalnya nggak mungkin banget dong, Rei nge-handle tiga orang sendirian.
Begitu sampai, dua-duanya sempat bingung, gimana caranya mengantarkan para pria ini ke kosan masing-masing secara aman dan efektif. Setelah sibuk mikir, akhirnya bagi tugas deh. Rei bawa Tigra dan Alfa, berhubung dua cowok itu satu kosan. Perkara menaikkan mereka ke taksi, gampang, bisa dibantu sama mas-mas bar. Nah, bagian Rossa adalah ngebawa Jaka ke kosannya. Nanti kalau sudah sampai, Rei bisa dibantu Milan atau siapapun yang ada di kosan buat menurunkan Tigra dan Alfa. Begitu juga Rossa yang bisa minta bantuan Eno atau mungkin Kun.
Rossa sempat ragu sih, namun setelah melihat kalau kosan Jaka nggak jauh dari kosan Sadewo—berdasar alamat kosan yang dia dapatkan dari Eno—dia setuju mengantar Jaka.
Untungnya, Jaka masih bisa jalan sendiri meski rada sempoyongan. Jadi tugas Rossa nggak berat-berat amat. Mereka naik taksi berdua—bertiga, kalau abang supir taksinya dihitung—menuju kosan Jaka. Di jalan, tiba-tiba saja Jaka meracau.
"Roshan?"
Rossa menoleh, refleks terkekeh. "Rossa."
"Nama lo Roshan."
"Roseanne."
"Iya, Roshan."
"Jangan dipanggil Roshan!" Rossa mendelik. "Gue bukan aktor film India."
"Terus dipanggil apa?"
"Apa aja asal jangan Roshan."
"Sayang?"
"Nggak bisa sayang, kan bukan pacar."
"Yaudah, ayo jadi pacar."
Rossa menyentuh rambut di bagian kening Jaka yang sempat berantakan. "You're drunk."
"Katanya, in vino, veritas."
"Artinya?"
"In wine, there's truth."
"Lo nggak minum wine tadi." Rossa berujar, terdengar geli.
Dengan mata yang sayu, dalam keremangan dari sorot lampu di tepi jalanan yang mereka lalui, Jaka memandang Rossa. Rossa balik menoleh. Selama sesaat, tatapan mata mereka beradu. Rossa berdeham, merasa salah tingkah dan buru-buru membuang pandang ke arah yang lain. Namun nggak dengan Jaka. Dia justru mengulurkan tangannya ke arah Rossa... lalu... jemarinya membetulkan cardigan Rossa yang agak melorot di bagian bahu.
"... melorot."
Rossa terkesiap, nggak menerka Jaka akan bersikap begitu. Namun setelahnya, gadis itu menarik senyum. "... thanks."
"Dingin?"
"Dikit."
"Bentar." Jaka mengerjap, membuatnya kelihatan mengantuk. Lantas, dia melepas jaketnya dan mencondongkan badan, menghamparkan jaket itu di bagian depan badan Rossa. "... sekarang... udah nggak dingin?"
"Jaka, you're so sweet."
"Em-hm." Habis bilang begitu, Jaka menggeser duduknya, lalu perlahan, merebahkan kepalanya di bahu Rossa. "You too. You smell sweet."
"Iya. Soalnya pake parfum."
"Parfum lo... enak..."
Setelahnya, Jaka nggak ingat lagi apa yang terjadi malam itu.
Satu-satunya yang dia ketahui adalah, keesokan paginya, dia terbangun di atas kasurnya sendiri, dalam posisi tubuh yang berantakan. Kakinya menjuntai ke lantai. Di lantai kamarnya yang terlapisi karpet, Eno berbaring menyamping, memeluk salah satu gulingnya dan masih terlelap dengan mulut sedikit terbuka. Jaka mengernyit karena nyeri yang menyengat kepalanya. Dia baru terpikir beranjak dari kasur untuk mengambil segelas air minum ketika dia dikejutkan oleh getar dari ponselnya.
Ada chat baru yang masuk, dan itu dari Rossa.
rossa:
kalo udah bangun, ketika tit.
jaka:
titit.
rossa:
udah bangun, tapi kayaknya belom sober.
jaka:
typo.
rossa:
daisy by marc jacobs.
jaka:
apanya?
rossa:
parfum yang gue pake semalam.
jaka:
adidas.
rossa:
wkwk apanya?
jaka:
jaket yang gue pake semalem.
Rossa membalas pesannya pakai emoji orang ketawa sampai nangis serenteng, yang menulari Jaka. Refleks, dia tersenyum sembari memandang layar ponselnya. Hari itu, sepertinya rasa suka kembali menyelinap dalam hati Jaka. Bukan untuk Jella, melainkan untuk Rossa.
*
Mereka berdua punya awal hubungan pertemanan yang manis, hingga keduanya tiba pada sebuah persimpangan yang tidak lagi searah. Jaka menyukai Rossa lebih dari teman. Tapi nggak dengan Rossa, yang malah menyimpan perasaan untuk Milan. Sebagai lelaki pemberani yang pantang jadi sad boy dengan memendam rasa seorang diri selama bertahun-tahun, Jaka menyatakan perasaannya. Sudah bisa diterka, Rossa menolak.
Sungguh, tadinya Jaka merasa nggak apa-apa. Memang hatinya potek banyak, tapi nggak sampai pecah berkeping-keping seperti gelas yang baru saja menghantam lantai. Namun, ketegarannya porak-poranda ketika Rossa menjauhinya. Jaka nggak mewajibkan perasaannya berbalas, tetapi, dengan Rossa menjauhinya... itu cukup menghancurkan hatinya.
Jadi bagaimana caranya Jaka bisa menjaga Rossa agar tetap dekat?
Satu-satunya cara yang terpikir oleh Jaka adalah dengan mencintai cewek itu secara membabi-buta.
Maka dia membiarkan seluruh dunia tahu seberapa besar perasaannya buat Rossa. Seberapa lama dia bisa bertahan tanpa menyerah. Seberapa sabar dia menunggu Rossa berpaling, lalu menerima hatinya.
Sayangnya, usaha Jaka justru bermuara pada sebuah tragedi.
Well, mungkin nggak semua orang sepakat dengan istilah tragedi. Rossa, jelas menganggap malam perayaan ulang tahun Yumna adalah malam terburuk sepanjang hidupnya. Mungkin Wirya juga. Tetapi buat Jaka... tak peduli semua orang menganggapnya brengsek... Jaka nggak pernah menyesali malam itu. Iya, dia menyesal sebab sudah membuat Rossa merasa terluka, namun seluruh yang terjadi... Jaka nggak pernah menyesalinya sama sekali.
Usai Wirya memberitahunya tentang Rossa dan pertemuan nggak terduga mereka di rumah sakit dengan seorang gadis bernama Kalya, Jaka buru-buru menyempatkan diri buat datang ke kos Sadewo. Mungkin, Rossa bakal mengusirnya, kayak kemarin-kemarin. Kecil kemungkinan cewek itu mau menemuinya, walau keadaannya sedang seperti sekarang. Tapi Jaka sudah berjanji, nggak peduli mau sekeras apa Rossa menolaknya, dia akan tetap ada buat cewek itu ketika Rossa membutuhkannya.
Pertama datang, Jaka sengaja bareng Milan, biar nggak awkward-awkward amat—meski ujung-ujungnya Milan malah asyik sendiri mepet-mepet Jella. Hari ini, dia datang lagi. Tapi sendirian doang, dan nggak pakai laporan dulu ke Jella maupun Yumna.
Jella kontan dibikin berdecak ketika dia dan Jaka berpapasan di mulut tangga. "Apa-apaan, anjir?"
"Jaga-jaga."
"Pengecut."
"Biarin. Lo nggak tau aja, kemaren gue hampir tewas."
"Tapi kok kagak ada ribut-ribut?"
"Silent killer."
"Karepmu."
"Kalo ada apa-apa, siap-siap telpon ambulans ya."
"Iye."
Sehabis Jella berlalu, Jaka pun melangkah menuju kamar Rossa. Sepertinya, masa-masa Rossa meneteskan air mata sudah kelar kemarin, soalnya hari ini, kamarnya tampak tenang. Jaka menyiapkan tekad, lalu mengetuk pintu.
"Masuk aja." Rossa membalas, membuat Jaka mendorong pintu dengan hati-hati.
Rossa menoleh, lalu bukannya murka, dia justru mengernyit. "What the hell?"
"Selamat siang. Selamat datang di Indomaret. Selamat belanja." Jaka mengangkat tangan kanannya yang menenteng kresek Indomaret berisi beragam makanan.
"Lo ngapain?"
"Ngapain apanya?"
"Ngapain pake helm?!" Rossa beranjak dari kasur, berkacak pinggang.
"Demi keselamatan diri."
"Lo kira gue apa?! Ikan yang lagi kecelup minyak panas di penggorengan?!"
"Masalahnya..." Jaka mendorong kaca helmnya ke atas, menunjukkan luka lecet pas di bawah matanya. Hasil dari kebar-bar-an Rossa kemarin-kemarin. "... gue takut nih. Kalau lo ngamuk lagi, terus tau-tau meleset agak lebih ke atas. Gue belum siap jadi Si Buta dari Arsitektur."
Rossa membuang napas, perlahan duduk kembali di tepi ranjang. Dia tertunduk, berbisik pelan dengan suara kecil yang nggak bisa Jaka dengar.
"Apa?"
"... gue bilang, gue minta maaf."
"Buat apa?"
"Soal yang kemarin." Rossa mengangkat wajah, menatap pada Jaka dengan dua garis lecet di bawah matanya. "Sori... udah lempar lo pake garpu... kemarin-kemarin."
"Nggak apa-apa. Gue paham, hormon ibu hamil memang nggak stabil. Sekarang... apa udah aman buat gue... mendekat?"
"Gue nggak mau dideketin lo."
"Kalau gue tetap ngedekat, apa lo bakal lempar gue pake garpu lagi?"
"... nggak."
"Hehe."
"Mungkin pake sendok."
"Roshan,"
Rossa terperangah, jelas kaget ketika Jaka menggunakan nama pendek yang dulu sempat mereka obrolkan di awal perkenalan mereka. "... ck."
"Sekarang udah terima dipanggil Roshan?"
"Nggak."
Jaka mengambil beberapa langkah mendekat, merasa lega karena Rossa nggak bereaksi sekasar kemarin-kemarin.
"Jadinya mau dipanggil apa?"
"Rossa."
"Ocha?"
"Rossa."
"Sayang?"
"Jaka!"
Jaka tertawa, akhirnya berhasil duduk di tepi kasur Rossa, tepat di dekat cewek itu. "Itu nama gue, dan di sini gue mau nemenin lo."
"Lo disuruh Wirya?"
"Nggak. Ini kemauan gue sendiri. Gue kan bukan Milan."
"Apa hubungannya sama Milan?"
"Milan, kalo dateng nemuin lo, mesti disuruh. Gue nggak mesti disuruh. Karena nggak kayak Milan, gue sayang dan beneran peduli sama lo."
"Gue sayangnya sama Wirya."
"Gue tau, kok."
"Sakit nggak dengernya?"
"Sakit."
"Terus kenapa masih di sini?"
"Soalnya gue sayang sama lo, di luar kewajiban gue untuk bertanggung jawab."
Rossa menarik napas. "Soal Wirya—"
"Gue nggak di sini untuk ngingetin lo sama sesuatu yang sedih. Gue di sini buat bikin perasaan lo lebih baik. Jadi, kalau ngomongin Wirya bikin lo sedih, jangan ngomongin dia."
Rossa batal bicara, akhirnya terdiam.
"Gue takut."
"Silakan."
"Kok gitu?"
"Wajar kalau lo takut akan apa yang mungkin terjadi ke depannya. Nggak apa-apa. Soalnya ada gue."
"Emangnya lo berani?"
"... takut, sih."
"Ck."
"Tapi buat lo, gue akan memaksa diri gue jadi berani."
"..."
"Kedengaran bullshit banget, tapi gue jujur, Rossa."
"Jaka,"
"... ya?"
"Lo bisa buka helm lo."
Gantian Jaka yang terdiam.
"Gue nggak akan ngamuk lagi. Lo bisa buka helm lo."
Dan kata-kata itu sudah cukup membuat Jaka membuka helmnya.
to be continued.
***
a/n:
yak. apakah yang akan terjadi.
apakah rose mini akan lahir ke dunia.
atawa tidak.
dan siapakah yang akan menikah dengan rossa nantinya?
jreng-jreng-jreng
jaka
wirya
milan
eno
***
February 18th 2021 | 18.00
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro