Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

extra | di jogja

warning: orang ciuman. si bayi. some innuendos. 




***

"Jogja?"

Itu respon pertama Jenar waktu dengar usul Rei soal tempat yang mungkin mereka kunjungi buat jalan-jalan. Nggak tau kenapa, menyebutnya honeymoon terasa kurang tepat. Mungkin karena ini sudah lewat tiga bulan dari hari pernikahan—soalnya kalau ngelihat orang-orang masa kini, yang namanya honeymoon tuh biasanya langsung gas nggak lama setelah sah, kan. Ditambah lagi, honeymoon biasanya berdua doang—baru pulangnya bisa jadi, yang nyaris bertiga, sebab kemungkinan besar, selama masa-masa bulan madu sudah terjadi pembibitan. Sedangkan teknisnya, sekarang tuh yah keluarga mereka sudah bertiga karena si bayi sudah meluncur duluan, sekarang lagi asyik rebahan dalam perut.

Tadinya, Rei sama Jenar nggak terlalu memikirkan soal jalan-jalan. Habisnya, nggak ada yang banyak berubah diantara mereka. Tinggal masih satu apartemen. Keranjang pakaian kotor masih barengan. Bobo di satu kasur pun sudah dilakukan sejak lama. Perbedaannya hanya, sekarang mereka sudah punya akta nikah. Cuma, orang tuanya Jenar yang ngotot, masa nggak ada honeymoon. Lagian, selama dua tahun ini, Rei dan Jenar belum pernah jalan-jalan khusus berdua saja gara-gara sibuk jadi budak korporat.

Akhirnya, mereka berdua mengalah, terus sama-sama saling berdiskusi soal tempat yang mungkin dijadikan destinasi.

"Emang kenapa kalau Jogja?"

"Nggak apa-apa, sih. Tapi—"

"Nggak apa-apa, tapi ada tapinya."

"Heran aja."

"Kenapa gitu?"

"Soalnya dari sekian banyak destinasi yang ditawarin Mama atau diusulin Kak Hyena, lo milihnya Jogja. I mean, of course, Jogja is also a wonderful placebut I thought Mama would want us to go somewhere more..."

"More apa?"

"Orangtua gue dulu honeymoonnya di Hawaii, Regina."

"Hm, terbukti tajir dari dulu ya. Dasar tukang pamer."

"Nggak gitu, maksud gue."

"Gue nggak mau ke Hawaii. Gue nggak suka pantai. Panas. Lo kan tau, gara-gara si bayi, gue jadi gampang gerah."

"Jogja panas loh."

"Tapi kan nggak main air."

"Ada Parangtritis."

"Still, nggak mesti main air."

"Di Hawaii juga nggak mesti main air."

"Tapi kedengaranya kayak sia-sia banget nggak, sih? Ke Hawaii, tapi nggak main air. Itu sama aja kayak ke Bali tapi nggak ke pantai."

"Emang di Jogja mau ngapain, sih?"

"Lihat candi."

Jenar berdecak. "Gitu doang?"

"Makan di angkringan." Rei mengangkat alis, disusul membuang napas pelan. "Oke, kalau nggak mau. Gue juga nggak maksa, kok. Lo kan nanya, kira-kira ada nggak tempat yang kepikiran sama gue. Jujur, yang kepikiran tuh Jogja. Tapi sekiranya lo mau ke tempat lain, yaudah, gue ngikut-ngikut aja. Nggak jalan-jalan pun gue nggak apa-apa kok."

Rei boleh saja bilang begitu, namun usai menyelesaikan ucapannya, dia beranjak dari duduk, langsung berjalan masuk kamar. Jenar menatap punggung perempuan itu. Benar-benar bukan Rei banget, main ngeloyor pergi begitu saja kayak remaja cewek lagi ngambek. Tapi ya, kalau Jenar perhatikan, memang semenjak bunting si bayi, Rei tuh jadi lebih sensitif.

Maka, selayaknya kepala rumah tangga yang berbudi luhur, Jenar meletakkan laptop yang sejak tadi berada di pangkuannya ke atas sofa, kemudian masuk kamar, menyusul Rei yang sekarang lagi berbaring di atas kasur dengan kedua kaki menjuntai ke bawah, menyentuh lantai. Matanya memandang langit-langit kamar yang penuh tempelan stiker glow in the dark bentuk bintang.

(Jenar menghabiskan setengah hari menempelkan stiker tersebut. Rei yang menginginkan stiker itu ditempel, tapi tentu saja, Jenar nggak mungkin membiarkan bininya manjat-manjat tangga hanya untuk menempelkan stiker di langit-langit).

Jenar duduk di sebelah Rei, lalu mengulurkan lengan untuk menempelkan telapak tangannya di atas perut Rei.

Otomatis, Rei menoleh. "Lo ngapain?"

"Kayaknya cewek, deh. Soalnya mamanya jadi gampang ngambek."

"Duh, please." Rei merengut, tapi nggak menyingkirkan tangan Jenar dari perutnya.

"Jangan ngambek, dong..."

"Nggak ngambek."

"Nggak ngambek tapi kabur dan masuk kamar..."

"Je, gue lagi nggak selera berdebat sama lo."

"Gue nggak maksud debat. Kan gue cuma ngerasa perlu memastikan. Makanya gue nanya, kenapa Jogja. Gue tau lo. Lo nggak akan memilih sesuatu tanpa punya alasan sendiri. Dan gue mau tau soal itu."

"Yah... nggak salah, sih..."

Jenar ikut merebahkan badannya, berbaring tepat di sebelah Rei. "Kenapa Jogja?"

"It's my happy place."

"Mm... really?"

Rei ganti berbaring menyamping, jadi dia bisa menatap Jenar. Jenar ikut melakukan tindakan yang sama, berbaring menyamping ke arah yang berlawanan sehingga mereka saling menghadapi.

"Dari semua tempat yang pernah gue datangi, yang sebenarnya nggak banyak-banyak amat, I felt happiest there."

"Kenapa?"

"Gue dua kali ke sana bareng orang yang gue sayang."

"Siapa?"

"Pertama, bokap gue."

"Terus?"

"Kedua... sama lo. Ingat, beberapa bulan setelah gue benar-benar sembuh, sehabis lo selesai sidang akhir? Lo ngajak gue ke Jogja buat nonton konser."

Jenar nggak segera menyahut, tetapi pandangan matanya masih terpaku pada Rei.

"Tapi kalau lo bosen dan mau ke tempat lain—"

"It's okay." Jenar memotong, kali ini menjulurkan tangannya dan menangkup salah satu sisi wajah Rei. Ibu jarinya menyapu pipi perempuan itu dalam sentuhan halus. "Gue ngerti. Then Jogja, it is."

*

Terus ujung-ujungnya... begitulah, mereka pun jalan-jalan berdua ke Jogja. Sengaja ambil flight sore, jadi begitu sampai, langsung check-in dan istirahat. Tadinya, Jenar kepingin ngajakkin Rei makan di luar sih, tapi nggak jadi saat perempuan itu mengeluhkan kakinya yang keram.

"Mau ke dokter?" Jenar sempat menawarkan.

"Nggak. Ini kaku doang. Kata Jella sih wajar kayak gini."

"Emangnya Jella dokter kandungan?"

"Dia kan udah berpengalaman duluan." Rei beranjak dari ranjang. Niatnya sih mau bongkar koper, nyari lotion buat mijat kaki. Tapi Jenar cepat menghentikannya.

"Mau kemana?"

"Ambil lotion."

"Gue aja." Jenar menyuruh Rei tetap duduk di kasur, justru dia yang bergerak membuka koper.

"Bukan koper yang itu. Satunya. Ada wadah gede—nah, iya, yang itu."

"Bawaan lo banyak banget."

"Namanya juga cewek. Kalau cowok kan, ibarat kata, kolor sama kaos dalam lo aja dijual di Indomaret. Nah, lo pernah nggak lihat Indomaret jual beha?"

"Emangnya lo ada niatan mau belanja beha di Indomaret?"

"Maksud gue, barang-barang cewek tuh emang lebih ribet karena biasanya nggak segampang kayak kalau nyari barang-barang cowok."

Jenar berdecak, melangkah menghampiri kasur dengan botol lotion di tangan.

"Sini."

"Gue aja."

"Kaki aja. Jangan yang lain."

Jenar nyengir. "Yang lain tuh maksudnya yang gimana?"

"Tangan lo naik ke tempat-tempat yang nggak semestinya."

"Halah, tapi lo demen juga, kan."

"Iya, sih. Tapi kira-kira dong, Je. Kita kan bukan kelinci."

"Emang bukan kelinci. Itu kan bagian dari quality time."

"Quality time masa lebih sering nggak pake baju daripada pake baju."

Kata-kata Rei bikin Jenar ngakak. Dia duduk di bagian lain kasur, meraih satu kaki Rei dan memijatnya dengan tangan yang telah licin gara-gara lotion.

"Ternyata lo jago juga mijit. Ada pengalaman?"

"Mijitin orang bunting? Kagak. Ini baru pertama."

"Kalau mijitin yang nggak bunting?"

"Sering."

"Dasar."

"Mijit lo, maksudnya. Jaman-jaman nyusun skripsi kan lo suka nyeri punggung. Gimana sih?"

"Selain gue?"

"Nggak ada."

"Beneran?"

"Beneran."

"Hehe."

"Kenapa senyam-senyum?"

"Seneng."

"Dasar."

Rei nggak menyahut, selama sejenak, dia hanya diam, menonton bagaimana tangan Jenar bergerak di kakinya, memijat mulai dari bawah lutut, kemudian ke betis, lalu ke telapak dan jari-jari kaki. Sehabis itu, dia melanjutkan ke kaki yang satu lagi.

"Capek banget ya?"

"Nggak. Kenapa?"

"Tiba-tiba diam."

"Lagi ngelihatin lo soalnya." Rei berkata. "Je,"

"Hm?"

"Kayaknya gue mau resign dari kantor."

Jenar berhenti sebentar karena kaget, namun tak lama, dia melanjutkan lagi memijat kaki Rei. "Kenapa?"

"Soalnya kan, emang seharusnya gitu. Gue kerja atau nggak, nggak ada bedanya untuk lo. Tapi kalau gue kerja juga, ntar yang ngurusin si bayi siapa?"

"Si bayi kan ngikut lo kemana-mana."

"Sekarang doang! Dia kan nggak akan rebahan dalam perut selamanya!"

"Terus kenapa resignnya sekarang?"

"Biar cepat terbiasa di rumah aja."

Jenar berdecak, lalu berujar. "Jujur, kayaknya bukan lo banget. Maksud gue, mau diam di rumah aja. Ngurusin anak. Dan bukannya lo suka sama kerjaan lo?"

"Suka. But I don't think it's worth it."

"Nggak worth it gimana?"

"Kalau udah sibuk, kita berdua aja suka lupa ngasih waktu buat satu sama lain. Gimana kalau nanti udah ada si bayi? Gue nggak mau si bayi nantinya ngerasa sendirian atau nggak diurusin."

"Yakin? Nanti lo mumet sendiri kalau di rumah aja, terus—"

"Kan nantinya gue bakal sibuk ngurusin si bayi."

"Terus kalau si bayi udah nggak perlu diurusin?"

"Soal itu... dipikir ntar aja. Atau gue bisa aja cari hobi baru—anyway, udah pijitnya nggak apa-apa. Udah nggak sakit."

Jenar menatap Rei sejenak, lalu katanya. "Gue tau, walau capek, sebenarnya lo happy di tempat lo kerja sekarang. Tapi gue juga paham, apa pertimbangan lo sampai lo mikir buat resign. Makanya, gue mau bilang makasih sekalian minta maaf."

"Kenapa makasih dan kenapa minta maaf?" Rei jadi heran.

"Secara sadar atau nggak, lo bakal ngorbanin pekerjaan lo karena berkeluarga sama gue."

"Nggak berarti gue terpaksa."

"But still—"

"Noo, you got the wrong idea." Rei menggeser duduknya di kasur sehingga jaraknya dengan Jenar jadi lebih dekat. "I am happy, really. Bukan berkorban, tapi lebih ke menukar satu kesenangan dengan kesenangan lain. Kayak, of course, gue nggak pernah berpikir kalau gue akan happy jadi ibu, tapi kita ada di titik ini sekarang dan gue sadar, jadi ibu nggak semengerikan yang dulu-dulu gue pikirkan. Truth be told, I am truly happy. Pengorbanan tuh kesannya kayak terpaksa banget." Rei berdecak. "Lagian, ibu rumah tangga itu juga profesi tau!"

"Really?"

"Mm-hm." Rei mengangguk.

"Tetap aja, gue harus bilang makasih." Jenar berkata. "Gue tau gue udah sering banget bilang ini, tapi makasih buat semuanya. Makasih karena udah ada di hidup gue. Makasih karena mau bekerja sama dengan gue, you know, to make things work. Makasih sudah berada di sini. Makasih karena dari sekian banyak pilihan yang lo punya, lo memilih untuk tetap sama-sama dengan gue."

"Oke..."

"Cuma oke?" Jenar jadi merengut, soalnya dia sudah serius banget ngomongnya dan hanya dibalas dengan sepotong 'oke'.

"Gue nungguin bagian dipeluknya sih."

Jenar memutar bola matanya, namun dia mengikuti apa kata-kata Rei. Kedua tangannya merengkuh Rei ke dalam pelukannya. Rei balik melingkarkan lengannya di pinggang Jenar, menarik senyum lebar ketika dia merasakan bibir Jenar menghujani puncak kepalanya dengan kecupan-kecupan.

*

Jika melihat dari bagaimana Rei mengeluh soal betis yang keram semalam, Jenar nggak menyangka perempuan itu bakal membangunkannya di pagi buta. Betulan pagi buta, soalnya langit bahkan masih gelap ketika Rei mengguncang pundaknya agar dia segera tertarik keluar dari alam mimpi. Jenar bukan morning person. Dia selalu bangun setelah langit betul-betul terang, termasuk di hari-hari biasa waktu dia mesti pergi bekerja.

"Jenardickssssssss, bangun dong!!!" Rei masih nggak menyerah menggoyangkan bahu Jenar.

"... masih ngantuk."

"Sayang,"

"Taktik lo nggak ngaruh, Regina."

Rei manyun. "Ayo, dong! Ini kedua kali kita ke Jogja bareng dan kita belom pernah lihat sunrisenya Jogja loh! Nggak usah jauh-jauh, dari rooftop hotel ini pun nggak apa-apa!"

"Gue ngantuk banget..." Jenar membalas dengan suara raspy dan dalam, khas orang yang belum benar-benar terjaga dari tidurnya.

"Yaudah, kalau gitu." Rei bergerak turun dari kasur, ganti mendekati koper untuk mengambil tas berisi kamera dan kamera polaroid. "Gue sendiri aja ke atas."

Dengar kata-kata Rei, mata Jenar lekas terbuka. Kata ke atas, berarti Rei akan pergi ke tempat yang tinggi. Fakta tambahan lainnya, perempuan itu mau pergi sendirian. Sudah pasti, Jenar nggak akan membiarkan itu terjadi. Akhirnya, dia memaksa dirinya bangun, memandang Rei dengan mata yang sayu dalam posisi setengah berbaring di atas kasur.

"Emang mau ngapain sih, mesti lihat sunrise segala?"

"Ambil foto. Dokumentasi. Polaroid buat kenang-kenangan—loh, kok bangun? Katanya masih ngantuk?" Rei mengerutkan dahi ketika Jenar benar-benar meninggalkan kasur, melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membasuh wajah.

"Gue nggak mungkin lah biarin lo pergi-pergi sendirian."

"Yailah..."

"You're lucky that I love you, Young Lady."

"Hehe."

Saat Jenar keluar dari kamar mandi, Rei telah menunggu di luar pintu dengan handuk kecil di tangannya.

"Mau ngapain?"

"Ngurus suami."

Sehabis bilang begitu, Rei mengeringkan wajah Jenar yang basah dengan handuk di tangannya. Jenar masih berusaha menunjukkan muka datar, soalnya rada bete juga, masih gelap begini sudah dibangunin demi sunrise. Tapi ujung-ujungnya, dia juga nggak mampu terus-terusan berpura-pura. Senyumnya muncul, mencetak lesung pipi yang dalam di kedua sisi wajahnya.

"Kalau gini caranya, gue nggak bisa ngambek deh sama lo."

"Emang niatnya begitu."

"Come here, then." Kedua telapak tangan Jenar membingkai wajah Rei, kemudian dia menunduk untuk mencium perempuan yang ada di depannya.

"Semriwing." Rei berkomentar habis Jenar melepaskan ciumannya.

"Apanya?"

"Ciumannya."

"Kan abis sikat gigi."

"Iya, makanya rasa odol." Rei berbalik, meraih tasnya dan memeriksa ulang barang-barang yang ada di sana, terus dia melangkah menuju pintu. "Yuk, ke atas. Cuma liat sunrise doang, kan. Abis itu kita balik lagi ke kamar atau kalau mau langsung sarapan, gue sih oke-oke aja."

Jenar menyentakkan kepala, tapi menuruti kemauan Rei. Dia meraih ponsel dan dompetnya, memasukkan ponsel dan dompet itu ke saku celana panjang longgar yang dia pakai sebelum mengikuti langkah Rei. Pagi-pagi begini, hotel masih sepi. Kayaknya sih hanya sebagian kecil dari turis yang merasa melihat sunrise itu sepadan dengan turun dari kasur di pagi buta.

*

"Bentar, lo mau apa tadi?"

"Naik sepeda onthel!"

Jenar menghela napas pada perempuan yang sedang tersenyum lebar di depannya. "Regina, yang bener aja..."

"Loh, bagian mananya yang nggak bener soal naik sepeda onthel?" Rei melipat tangan di dada. "Tadi gue lihat, ada couple yang naik sepeda onthel! Mereka nyewa! Gue juga mau!"

"Regina—"

"Atau jangan-jangan, lo nggak bisa naik sepeda ya?"

"Bisa, elah. Kalau gue nggak bisa naik sepeda, ya gue juga nggak bisa naik motor!"

"Atau takut keberatan pas bonceng gue? Tenang, gue belum segendut itu kok—"

"Rei, inget si bayi yang lagi rebahan dalam perut."

"Inget kok!"

"Kalau inget, ya kali, masa naik sepeda onthel..."

"Gue nggak ngerti deh." Rei memiringkan wajahnya. "Emang ada masalah apa sama sepeda onthel?"

"Kalau lo kenapa-napa gimana?"

"Je, gue tuh hamil, bukan penyakitan!"

"Kalau jatoh gimana?"

"Ke bawah."

"Regina, gue tuh serius!"

"Jangan sampe jatoh dong, kan lo yang bawa sepedanya. Terus, kayaknya gue belom pernah dengar ada orang keguguran gara-gara jatoh dari sepeda!"

"Regina—"

"Sayang, please?"

Duh, mana sanggup Jenar bilang 'nggak' kalau kartu AS-nya Rei sudah keluar. Terus apa pemirsa? Sesuai terkaan massa, Jenar menyerah. Dia mengalah, jadi deh nyewa sepeda onthel seperti keinginan Rei.

Mulanya sih lancar-lancar saja. Mereka keliling-keliling. Jenar yang gowes, Rei duduk menyamping di boncengannya. Sudah macam muda-mudi pacaran yang lagi dimabuk asmara di jaman pra-kemerdekaan. Kurang baju jadul sama orang-orang Belandanya saja. Namun ya begitulah, sepertinya nggak lengkap saja kalau Jenar dan Rei nggak membikin masalah.

Di sebuah persimpangan, Jenar dikejutkan oleh kehadiran sebuah delman dari salah satu arah. Dia mencoba menghindar, tapi usahanya sia-sia. Selain karena kusir yang beraksi nggak cukup cepat untuk bikin kudanya berhenti, juga karena Jenar belum sejago itu mengendalikan sepeda onthel. Singkat cerita, mereka tabrakan sama delman.

Jenar lecet. Rei juga lecet. Tapi untungnya, kata Rei, kudanya nggak kenapa-napa. Mungkin rada shock dikit. Jenar yang stress melihat Rei yang lutut sama sikunya berdarah, tapi malah sibuk ngajak ngobrol si kuda.

Rei bilangnya dia cuma lecet saja, yang menurutnya bakal sembuh dalam hitungan hari. Nggak ada luka bocor. Nggak ada bekas memar. Tapi namanya Jenar, pada dasarnya memang sudah lebay, ditambah jadi over protective mikirin si bayi yang lagi rebahan dalam perut. Lelaki itu ngotot membawa Rei ke klinik terdekat, takut calon ibu sama bayinya kenapa-napa. Bisa berabe kalau sampai betulan kenapa-napa, soalnya kan baru banget tuh ibu dan anak dibawa fresh from the altar.

"Gue nggak gegar otak. Nggak pusing atau sejenisnya. Jadi nggak usah lebay gini dong, Je..." Rei mengomel ketika mereka terduduk di ruang tunggu. Lagi menunggu dokter memanggil mereka untuk masuk ke ruang periksa. Untungnya, kliniknya tergolong lengang. Kalau lagi banyak orang, kayaknya Rei bakal tambah stress.

"Siapa juga yang takut lo gegar otak?!" Jenar malah sewot. "Lagian kan udah gue bilang ya, ngapain amat kita sewa-sewa sepeda onthel! Kalau si bayi dalam perut kenapa-napa gimana?"

"Si bayi baik-baik aja."

"Tau dari mana?"

"Gue kan nyokapnya."

"Idih."

"Barusan si bayi salto, Je."

"Terserah. Pokoknya tetap harus periksa!"

Kadang, Rei suka capek menghadapi Jenar... tapi ya mau bagaimana lagi, namanya juga suami.

Mereka menunggu selama setidaknya seperempat jam berikutnya, hingga keduanya dipanggil masuk ke ruangan. Setelah diperiksa, ternyata betulan nggak apa-apa. Hanya lecet-lecet saja. Luka lecetnya pun bukan luka berat yang mesti dijahit. Jadilah, luka-luka Rei cuma dibersihkan, terus dikasih betadine tanpa diperban atau sejenisnya.

Kebetulan, dokternya laki-laki. Kentara sekali, dokternya menahan rasa geli, walau kekhawatiran Jenar soal si bayi dianggap beralasan. Cuma, hebohnya Jenar nggak nanggung-nanggung. Apalagi ketika Jenar cerita, mereka habis tabrakan sama delman. Asisten dokternya cewek, sesekali cengar-cengir sekalian melongo takjub setiap dia melihat ke arah Jenar lebih dari tiga detik.

Waktu Jenar lagi ngurus administrasi, asisten dokternya iseng nanya ke Rei.

"Mbak, itu suami?"

"Iya, Mbak."

"Suaminya ganteng amat..." mbak-mbak asisten berdecak kagum. "Nemu di mana tuh, Mbak?"

"Rawa-rawa."

"Ah, Mbak-nya bisa aja."

Rei nyengir. "Di halaman rektorat."

"Oh, sekampus dulunya?"

"Iya."

"Kok pas saya kuliah nggak ada yang bentukannya kayak suami Mbak ya..."

"Belom nemu aja kali, Mbak."

Obrolan mereka nggak berlanjut, sebab Jenar telah kembali lagi bersama sejumlah obat—yang banyakannya sih vitamin—dalam kantung plastik putih. Rei tersenyum sopan pada mbak asisten, terus berlalu dari klinik itu bareng lakinya tercinta. Sebetulnya, agenda jalan-jalan mereka hari itu masih panjang. Tapi gara-gara insiden sepeda onthel versus delman dan kuda yang syukurnya nggak kenapa-napa, mereka memutuskan balik ke hotel lebih awal.

Nyampe di hotel, Rei langsung mandi. Sakit sih, cuma karena habis dari luar, rasanya kayak badan tuh penuh kotoran. Tadinya, Jenar mau join. Masuk di tengah-tengah permandian istrinya gitu, tapi berhubung Rei adalah pawang buaya yang sudah kenyang pengalaman, dia telah lebih dulu mengantisipasi langkah liar Jenar dengan mengunci pintu.

Selesai mandi, perempuan itu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan tubuh berbalut bathrobe.

"Sini." Jenar menarik tangan Rei, membimbingnya untuk duduk di sofa kamar. Dia mengeluarkan obat merah, terus berjongkok di depan Rei dan meraih kakinya untuk mengoleskan obat merah pada bagian yang luka. Ngolesinnya gampang, soalnya Rei nggak pakai apa-apa selain bathrobe sama underwear di bawahnya.

"Suami ngambek nggak nih?"

"Nggak."

"Tapi kok manyun?"

"Abis jatoh, masa mau senyum?"

"Suami mau diolesin obat merah juga?"

"Udah ngolesin sendiri." Jenar mengembalikan botol obat merah ke dalam kantungnya. "Lo sengaja ya?"

"Sengaja apa?"

"Keluar kamar mandi nggak pake apa-apa. Gue jadi lupa mau ngomel apa aja."

"Gue nggak telanjang, Je." Rei memutar bola matanya. "Lagian nggak sengaja juga. Baju gue kan dalam koper."

"Mau pake baju apa?"

"Kenapa nanya-nanya?"

"Mau gue ambilin."

"Wow, apa yang terjadi hari ini sehingga suamiku jadi full-service banget kayak paket data BlackBerry?"

"Serius."

"Daster aja. Biar gampang kalau mau dibuka."

"Nggak usah mancing."

"Iseng. Siapa tau dapet ikan besar."

Jenar nggak bisa menahan tawanya. Dia membuka koper, menarik keluar sehelai daster dan membawanya kembali mendekati Rei.

"Buka aja bathrobenya."

"Nggak ah, malu."

"Najis. Nggak usah sok polos. Buka."

Rei terkekeh, membuka bathrobenya. Jenar nggak melakukan tindakan ekstrem, dengan santai memasukkan bagian leher daster melewati kepala Rei, memasukkan lengannya ke lubang lengan yang tersedia dan menurunkan bagian bawah dasternya hingga menutup sampai ke batas betis.

"Oh, jadi gini ya buaya kalau lagi puasa."

"Nggak puasa."

"Tumben nggak ada aksi-aksi mesum yang dilancarkan."

"Ntar. Laper. Mau makan dulu."

"Makan apa?"

"Tadi gue udah pesen makanan via delivery waktu lo mandi. Paling nanti nyampe."

"Pesen apa?"

"Yang pedes-pedes. Lo sendiri yang bilang tadi siang, kalau lagi kepingin makan yang pedes-pedes."

"Peka banget. Sayang, deh."

"Gue lebih butuh bukti daripada omongan." Jenar mencondongkan badannya, terus mengetuk pipinya pakai jari telunjuk. "Mau cium."

"Alright, alright, anything for suami." Rei manggut-manggut sebelum menjatuhkan ciuman di pipi Jenar.

*

Sehabis makan malam, tadinya mereka cuma cuddling sambil nonton televisi. Tapi nggak tau Rei mendapat ilham dari mana, nggak sampai setengah jam kemudian, mereka sudah sibuk main salon-salonan. Well, nggak tepat juga sih dibilang main salon-salonan, soalnya lebih mirip kayak Rei mainan makeup dengan menjadikan wajah Jenar sebagai kanvasnya. Meski demikian, malam ini, Rei lagi nggak tergerak mengisengi Jenar dengan mendandaninya jadi badut.

"Lo nih kalau udah kumat emang bener-bener yah... gue suka bingung kudu gimana..." Jenar berkata sambil memejamkan mata saat Rei membubuhkan foundation cair ke wajahnya pakai spons makeup yang sudah dilembabkan.

"Gue nggak iseng, kok."

"Ngomongnya gitu, tapi ntar begitu gue buka mata, gue udah jadi badut."

"Nggak. Ini gue lagi mau bikin lo ganteng."

"Emang udah ganteng."

"Maksudnya, ganteng yang beda." Rei mengabaikan protes Jenar, beralih menggunakan produk makeup lainnya. "Sekalian, biar rada estetik gimanaaaaa gitu nanti polaroidnya. Jadi nanti kalau anak lo udah gede, dia nggak malu majang foto masa muda bapaknya di medsos."

Jenar membuka mata, berdeham ketika dia sadar sedekat apa wajah Rei dengan wajahnya. Mata Rei tampak berkonsentrasi menyapukan kuas di wajah Jenar—entah tujuannya untuk apa. Jenar diam saja, mengamati Rei dari dekat. Perempuan itu terlihat lebih indah dari jarak yang minim. Jenar bisa melihat jelas lengkung bulu matanya, bulu-bulu halus berwarna pucat di tepi wajah di dekat telinganya, lekuk hidungnya. Lalu, tatapan mata Jenar jatuh ke bibirnya.

"Makeupnya udah mau selesai, jadi kalau lo coba melakukan sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian gue sekarang—"

"Sesuatu apa maksudnya, hm?"

Rei balik menatap Jenar, masih dalam jarak yang amat sempit. "You're looking at my lips, don't lie."

"Cuma mengagumi ciptaan Tuhan."

"Hadeh."

"Not gonna lie, they look kissable."

"Oh, shut up." Rei mengambil wadah concealer berwarna gelap dan menggunakannya untuk mencipta bercak-bercak kecokelatan di wajah Jenar—pada area di bawah pipi dan hidungnya.

"Lo ngapain?"

"Bikin freckles. Kelihatan sih lo punya dikit... dikit banget... tapi udah ketutupan foundation. Anyway—" Rei mengambil produk yang lain lagi. "Syukurnya, karena suami sudah ganteng, jadi buat lip product, kita pakai lipbalm aja. By the way, ini lipbalm peach. Sekarang bibirnya diam dulu—nah—" Jenar membiarkan Rei mengoleskan lipbalm ke bibirnya, "Sekarang mmm-mmm muach gitu bibirnya, biar lipbalmnya rata."

Lagi-lagi, Jenar mengikuti instruksi Rei.

"Nah kan, ganteng." Rei bertepuk tangan pada hasil karyanya sendiri, kemudian dia bangun dari kasur buat meraih kamera polaroid. Perempuan itu mengambil beberapa foto Jenar. "Wanna see the makeup?"

"Gue kayak badut apa nggak?"

"Nggak, ih!" Rei meletakkan kamera polaroidnya, ganti meraih cermin dan menunjukkan cermin tersebut pada Jenar supaya lelaki itu bisa berkaca. "Ganteng, kan!"

"Not bad."

"Ganteng." Rei kembali ke atas kasur, duduk di depan Jenar. "Tapi kalau pake look kayak gini, lo kelihatan polos. Pure gitu, kayak sad boy. Jadi pengen puk-puk. Tapi seksi juga. Jadi pengen cium."

"Then do it."

"Hm?"

"Kiss me."

"Je—"

Ucapan Rei terputus ketika Jenar menariknya mendekat, membungkam ucapannya dengan ciuman yang dalam dan sensual. Rei membiarkan dirinya meleleh dalam sentuhan lelaki itu, merasakan Jenar sesekali tersenyum di bibirnya, membuat lesung pipinya kembali terlihat jelas. Perlahan namun pasti, dia meletakkan kepala Rei di atas salah satu bantal. Gerakannya halus sementara dia memposisikan dirinya sendiri berada di atas Rei, salah satu sikunya menahan bobot tubuhnya agar tidak menimpa perempuan itu, sementara tangannya yang lain masih berada di pipi Rei.

"It tastes like peach, isn't it?"

Rei mengerjap. ".. apanya?"

"Lipbalm."

Rei mengangguk. "My favorite."

"May I touch you?"

Anggukan Rei serupa komando yang dipatuhi ketika tangan Jenar bergerak menelusuri lekuk samping tubuh Rei, berhenti sejenak pada pinggulnya. Jenar merunduk, menjemput bibir Rei dengan bibirnya. Ciuman mereka berlanjut, membuat genggaman tangan Jenar pada pinggul Rei mengerat.

"Je—ow."

Jenar mengernyit, langsung melepaskan ciuman mereka. "Something wrong?"

"... si bayi—"

"Si bayi kenapa?"

"... barusan... kayaknya nendang..."

"HAH?! DIA BENERAN BISA NENDANG?!" Jenar ternganga.

"Yailah, emang bisa! Cuma ini pertama kalinya, benar-benar kerasa..."

"Di mana?!" Jenar memburu.

"Di sini—" Rei meraih salah satu tangan Jenar yang berada di pinggulnya, menempatkan telapak tangan Jenar di perutnya. "—tadi di situ dan---"

Rei nggak meneruskan kata-katanya ketika mereka berdua sama-sama merasakan tendangan berikutnya, kali ini lebih keras dari sebelumnya.

"God," Jenar mengerjap berkali-kali. Dia nggak tau kenapa, tapi matanya berkaca-kaca begitu saja. "I guess someone is jealous."

"Jealous?"

"Jealous karena papanya mau quality time sama mamanya." Jenar tertawa, mengusap pelan pada bagian di mana sebelumnya dia merasakan ada tendangan. "Oy, bayi—"

"Je, masa manggilnya gitu?!"

"Emang bayi, kan? Belom ada nama. Wajar kalau dipanggil bayi. Selama ini kita juga nyebut dia 'si bayi'."

"Masa pake 'oy'?!"

"Biar dia tau kalau bokapnya gaul." Jenar ngeles. "Oy, bayi, cemburu ya?"

"Jenar, ih." Rei menepuk pelan lengan Jenar sambil tertawa.

"Kayaknya dia jealous sama gue sih."

"Katanya kemarin-kemarin cewek..."

"Kan masih tebakan. Atau jangan-jangan cowok ya?"

"Kalau cowok kenapa?"

"Wah, saingan gue nambah dong!"

"Masa sama anak sendiri saingan?!"

"Regina, udah hukum alam, cowok-cowok kalau sayang sama cewek yang sama, mau itu sedekat apa pun, pasti bakal jadi saingan. Kalau dia cowok, kita otomatis sayang sama cewek yang sama!"

"Kalau cewek, gue yang dapat saingan."

"Benar juga." Jenar berdecak, akhirnya batal melanjutkan rencana quality time mereka dan malah berbaring di kasur. Dia menarik Rei mendekat, membiarkan perempuan itu merebahkan kepala di bahunya. Lengannya merangkul Rei, sedangkan salah satu telapak tangannya masih setia melekat di perut istrinya. "Apa pun itu, mau cowok atau cewek, nggak apa-apa, sih. Asal jangan rese sama aku aja."

"Kalau pakai 'jangan', biasanya anak kecil tuh jadi tergerak melakukan, Je."

"Oh ya?"

"Jangan-jangan nanti si bayi jadi rese sama kamu."

"Masa iya, bayi?!" Jenar bicara sambil mengusap perut Rei, yang mencipta tendangan lainnya, meski nggak sekuat tadi. "Yaudah kalau gitu."

"Yaudah gimana?"

"Kalau dia rese, aku bakal balik ledekin dia. Terus kubilang aja—"

"—bilang apa?"

"Bayi, kamu sebenarnya bukan anak Papa sama Mama. Dulu kamu dapet nemu di bawah pohon toge."

"JENAR, JAHAT BANGET!" Rei berseru sambil tertawa. "But thankyou, anyway."

"Mm-hm, tiba-tiba banget?"

"Lagi-lagi, di sini, gue merasa betul-betul happy."

"As you deserved, babe." Jenar menepuk-nepuk pundak Rei.

Rei menengadah, mencium bagian bawah rahang Jenar. "Anyway, happy birthday."

"Happy—what?!"

"Ulang tahun lo tuh lusa. Lo lupa?"

"Wait—whatheck, gue beneran lupa!"

"Wah, harusnya gue nggak bilang sekarang ya."

"Nggak. Justru bagus lo bilang sekarang. Gue jadi inget, berarti lusa juga Valentine."

"Em-hm. Anything you want for your birthday... and Valentine's day."

"Anything?"

"Anything."

"How about a dinner?"

"Okay."

"And... special cake?"

"What kind of cake?" Rei balik bertanya, sengaja menggunakan nada menggoda.

"That kind of cake."

"Yang mana?" Rei masih pura-pura nggak tahu.

"Donut with jam in the middle."

"Okay."





***

a/n: 

PERTAMA KALINYA GUE NULIS BIRTHDAY FIC KHUSUS. 

tapi yaudalahya, johnny, maafkan aku. 

happy birthday, jaehyun. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro